43

43.1K 5.2K 61
                                    

Semakin hari Abbas semakin merasa iba pada nasib sepupunya. Bagiamana tidak? Anfal sudah lah sibuk dengan kuliahnya yang mulai aktif sejak seminggu lalu, dan kesibukannya makin menjadi karena pekerjaan yang amat banyak di Jakarta.

Seperti Jumat malam ini, Anfal baru pulang dari kampus sore tadi, dan supir pribadinya sudah menjemput ia agar segera pulang ke Jakarta. Dengan wajah yang terlihat sangat lelah, Anfal pulang ke rumahnya tanpa makan atau berganti pakaian dulu, saking padatnya jadwal yang harus dia jalani besok.

Ajaibnya, meski se-kacau apapun anak itu, dia tidak pernah mengeluh. Malah, cowok itu selalu memasang wajah serta sikap yang hangat dan manis kepada Abbas dan kakeknya. Dia selalu bangun subuh, melaksanakan ibadah setelah itu membantu Abbas membuat sarapan. Tidak jarang jika pulang dari kampus lebih awal, dia akan membantu Kakek Ahmad mengurus burung-burungnya. Setiap sore kakek dan cucu itu akan berbincang hangat di beranda rumah, ditemani kepulan asap dari dua gelas kopi hitam tanpa gula.

Hubungan Anfal dan Kakek Ahmad kian akrab, terlihat sekali jika Anfal sangat menyayangi kakeknya. Dia tidak pernah menunda waktu jika kakeknya memerintah, meski sedang sangat sibuk sekalipun. Dia bahkan banyak mengajarkan kakeknya tentang berbisnis, dan tidak hanya itu, yang membuat Abbas dan Kakek Ahmad semakin takjub adalah; bahwa Anfal ternyata tahu banyak spesies burung peliharaan beserta makanan apa saja yang baik untuk tiap jenis burung. Hal itu membuat Kakek Ahmad kian bangga dan sayang padanya.

Abbas tidak iri jika kakeknya kini lebih dekat dengan Anfal daripada dirinya. Dia malah senang, sebab dia berpikir jika Anfal berhak mendapatkan perhatian juga dari kakeknya. Selama ini kan anak itu tinggal jauh dari sang kakek, jadi hubungan mereka juga dulu kurang dekat, dan itu membuat Abbas lebih banyak mendapatkan perhatian dari kakeknya daripada Anfal.

"Fal, gue masuk ke kamar lo ya? Mau main game di komputer lo, hehehe."

"Iya Bas, masuk aja, pintunya gak dikunci kok!"

Percayalah, pertanyaan dan jawaban itu berasal dari orang yang sama. Abbas terkekeh sendiri ketika merasa jika jawaban barusan mirip dengan suara Anfal, agak-agak berat gitu suaranya.

Abbas memutar kenop pintu kamar Anfal, lalu masuk ke dalamnya. Cowok itu selalu berhasil tertegun dan menggelengkan kepala tiap kali masuk ke kamar belakang yang telah di renovasi oleh Anfal ini.

Dinding kamar dicat dengan warna hitam dan putih, hampir semua furniture bertema gelap. Beberapa bingkai foto yang menghiasi dinding pun tidak berwarna. Abbas jadi heran, ini sebenarnya kamar, apa tempat pesugihan? Jika Abbas orang yang penakut, bisa dipastikan dia tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di tempat ini.

"Ya Allah, Fal ... hidup lo gak berwarna banget deh." gumam Abbas sambil menarik kursi di depan meja belajar, lalu melabuhkan punggungnya di sana dengan sebelah tangan yang sudah menggenggam mouse.

Layar komputer itu sudah menyala, menampilkan background yang lagi-lagi bertema gelap. Abbas menggeleng berusaha mengabaikan.

Ketika sedang asyik mengotak-atik keyboard, tiba-tiba Abbas merasa penasaran ingin tahu berkas-berkas apa saja yang ada dalam komputer Anfal selain tumpukan tugas dan pekerjaannya.

Abbas men-scroll file-file yang ada di komputer Anfal, tidak ada yang menarik. Gila! Pekerjaan Anfal banyak sekali, belum lagi e-mail yang terus berdatangan membuat Abbas pusing sendiri.

Abbas makin heran, bagaimana bisa Anfal terlihat tenang-tenang saja ditimpa beban amat berat begini? Kalau Abbas ada diposisi Anfal, mungkin dia sudah panas dingin dan otaknya akan meledak.

Cowok itu kemudian membuang napas lega. Merasa bersyukur karena tidak terlahir dari keluarga kaya raya.

"Memang ya, Allah Maha Adil."

Baru saja Abbas akan mengklik x yang ada dipojok kanan atas, karena baru ingat tujuan awalnya ke mari. Namun, pergerakannya terhenti saat matanya tidak sengaja menangkap file dengan nama 'crush' di antara rentetan file-file lain.

Abbas tersenyum miring. Inikah yang membuat Anfal selalu tenang menjalani hari-harinya? Rupanya anak itu punya pacar? Sialan. Kenapa coba tidak pernah cerita pada Abbas?

"Udah gue duga sih, cowok idaman kaum hawa kayak lo mana mungkin gak punya pacar. Sori, Fal. Gue penasaran, boleh 'kan liat wajah cewek lo?"

"Boleh, Bas. Liat aja, tapi lo gak boleh naksir sama dia."

Abbas kembali terbahak, mendengar perkataannya sendiri.

Klik kanan, dan mata Abbas langsung melebar kala melihat foto-foto dalam file itu.

"Ma-maira?" gumamnya begitu terkejut.

Abbas kemudian meng-klik salah satu foto itu. Dilihatnya dengan jelas seorang gadis berseragam SMA, rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai ditiup angin hingga terlihat sangat cantik. Gadis itu tengah memanyunkan bibir ranumnya dengan tangan terlipat di dada, duduk di kursi putih berlatar rerumputan hijau yang asri.

Benarkah Maira? Merasa belum percaya, Abbas men-zoom foto itu.

"Enggak mungkin," gumamnya sambil menggelengkan kepala.

Abbas terus melihat foto-foto lainnya. Semua foto dalam file itu hanya berisi satu gadis yang sama; Maira. Oh tidak, kini Abbas menemukan beberapa foto Maira dan Anfal. Dua manusia itu terlihat sangat dekat, bahkan ada satu foto yang menampilkan ekspresi konyol disertai rangkulan Anfal pada bahu Maira. Abbas tidak percaya, tapi ini nyata. Entah kenapa, dia merasa tidak suka melihat semua ini. Hatinya terasa sempit dan bergejolak panas.

Jadi, inikah alasan Maira selalu bersikap dingin padanya? Inikah yang membuat Maira selalu enggan bahkan untuk sekedar tersenyum padanya?

Kenapa harus Maira? Kenapa dari sekian banyaknya gadis cantik di Jakarta, harus Maira yang menjadi kekasih sepupunya? Dan kenapa coba, Abbas harus merasakan perasaan tidak nyaman begini?

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now