36

49.1K 5K 89
                                    

Lorong-lorong yang sepi dilalui Maira dengan langkah lambat. Pandangannya kosong dan wajahnya tak berekspresi.

Sejak sore itu, ketika dirinya kembali bertemu bajingan bernama Anfal, dia tidak bisa lagi bersikap seolah baik-baik saja.

Maira sudah mencoba menyakinkan diri jika setelah hari itu dia tidak akan lagi bertemu dengan Anfal, dan kenyataannya memang begitu. Cowok itu tidak pernah muncul lagi. Namun, ketakutan itu masih memenuhi hati Maira, bahkan kian hari terasa makin nyata.

Maira tidak mengerti kenapa dirinya bisa begini. Apakah dia takut jika Anfal akan mengambil Haidar? Tapi bukankah dia juga tahu kalau Anfal tidak pernah menginginkan kehadiran bayi itu? Atau, dia takut Anfal akan membunuh Haidar? Apa mungkin Anfal akan sekejam itu?

Bagaimanapun, Haidar adalah anak Anfal. Meski Anfal tidak menginginkan, tapi anak itu tetap memiliki ikatan darah dengannya. Atau mungkin, sebenarnya Maira takut jika suatu saat nanti Haidar akan bertanya siapa ayahnya? Jika iya, lalu Maira harus menjawab apa?

Sungguh, Maira tidak mau Haidar memanggil Anfal dengan sebutan 'Ayah'. Anfal tidak layak menjadi ayah Haidar. Dia tidak layak bahkan untuk sekedar menyentuh Haidar. Tidak! Maira tidak akan membiarkan cowok itu datang lagi dalam hidupnya.

"Maira," panggil Abbas.

Maira tersentak mendengar namanya dipanggil. Ketika melihat seorang cowok yang baru keluar dari ruangan OSIS itu, Maira segera mempercepat langkahnya. Heran, apa sekolah ini begitu sempit, sampai Maira harus terus-menerus bertemu Abbas?

Tanpa menunggu jeda, Abbas berlari mengejar langkah Maira. Setelah berhasil mensejajarkan langkahnya, dia pun berjalan mundur, agar bisa berhadapan dengan Maira.

"Kok pulang terlambat, kenapa?" tanya Abbas begitu ingin tahu, karena murid lain sudah pulang. Sementara dirinya harus terlambat pulang karena ada beberapa urusan keorganisasian yang harus dikerjakan, mengingat sebentar lagi semua tugasnya akan dialihkan pada adik kelas.

Sebenarnya Maira sangat malas untuk bicara, tapi rasanya akan terkesan sangat jahat jika dia diam saja sementara kakak kelasnya ini terus bertanya dengan senyuman hangatnya.

"Sengaja."

"Kenapa sengaja?"

Akh! Maira ingin menjerit sekarang! Kenapa sih cowok di depannya ini selalu ingin tahu tentangnya? Apa hidup Abbas setidak menarik itu?

"Kenapa nanya terus? Bukan urusan kamu juga 'kan?"

"Sekedar informasi, aku masih kakak kelas kamu loh, Mai."

Baik, sepertinya cowok ini mulai tidak nyaman karena Maira tidak pernah memanggilnya kakak. Ya mau bagaimana lagi, Maira ini kan mengulang kelas, jadi dia merasa kalau Abbas itu seumuran dengannya. Itulah sebabnya Maira tidak pernah memanggil Abbas dengan sebutan kakak.

"Sekedar informasi, aku sudah tahu."

Tidak ada angin, tidak ada petir, Abbas tiba-tiba terkekeh mendengar ucapan Maira. Maira menatapnya heran.

"Kamu lucu," kata Abbas.

"Bagian mananya?"

"Semuanya. Nada bicara kamu, wajah kamu, terlalu menggemaskan."

Apa sih? Enggak jelas banget!

Mungkin sekarang Abbas bisa bersikap begini pada Maira. Sok akrab, dan bilang ingin menjadi temannya. Namun Maira tidak yakin, apakah setelah Abbas tahu semua hal tentangnya, cowok itu masih mau berteman dengan dia? Baik Abbas atau cowok lainnya, mereka semua pasti akan mengatakan hal yang sama, yaitu tidak.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now