28

55.3K 6K 76
                                    

Suasana di depan sekolah sudah sepi, bel pulang telah berbunyi lima belas menit lalu. Maira mondar-mandir di depan gerbang sekolah dengan wajah gelisah. Kenapa Pak Adi belum juga datang? Tidak mungkin kan jika dia lupa jalan?

Maira ingin segera pulang, hatinya sudah sangat tidak tenang. Wajah Haidar semakin memenuhi pikirannya. Bagiamana keadaannya sekarang? Maira yakin, bayinya pasti terus menangis karena lapar.

Mata Maira sudah terasa panas, dan akhirnya dia menangis juga.

"Hae, maafin Mama, Sayang ...." gumamnya sambil terisak, masih setia memandang jalanan di sebelah kanan, berharap mobil merah milik Bu Nur segera muncul.

Maira berdecak kesal, ke mana sih Pak Adi ini? Kenapa lama sekali? Maira sudah tidak bisa lagi menunggu.

"Ish, Pak Adi ke mana dulu sih?" katanya sambil menghentakkan sebelah kaki dengan napas yang sudah terasa sesak.

"Belum dijemput ya, Neng?"

Tersentak bahu Maira ketika mendengar suara berat dari belakangnya. Maira memutar tubuhnya menghadap lelaki itu, semakin kesal lah hatinya ketika melihat siapa dia. Hish! Kenapa sih lelaki ini lagi?

Maira tidak menjawab, pandangannya di buang saja ke samping, enggan memandang lelaki itu.

Ibnu Abbas, nama cowok itu. Cowok yang terus saja dibicarakan oleh Sindi dan Anisa, apalagi setelah kejadian di lapangan. Kedua teman baru Maira itu tidak habis pikir dengan sikap Maira yang malah memilih pergi begitu saja ketika Abbas minta tolong untuk dilemparkan bolanya kembali ke lapangan. Ketika ditanya apa alasannya, Maira malah menjawab dengan cuek kalo cowok itu bisa mengambilnya sendiri, jadi untuk apa dia dan Sindi harus membantu? Dan akhirnya memang cowok itu yang mengambilnya sendiri karena setelah Maira pergi, dengan cepat Sindi mengejarnya.

Sejak pagi pikiran Maira memang sudah kacau, dia tidak nyaman dan ingin segera pulang. Itulah sebabnya sikapnya agak lain.

"Hoi," tegur Abbas sambil menggoyangkan sebelah tangannya di depan wajah Maira, karena sejak tadi cewek itu diam saja dengan air mata menggenang.

Sekali lagi Maira tersentak kaget. Setelah sadar jika dirinya baru saja melamun, Maira menatap mata kelam cowok itu dengan pandangan tidak bersahabat. Dia tidak ingin diganggu, dia hanya ingin Pak Adi segera datang menjemputnya!

Sebuah senyuman hangat muncul dari bibir cowok itu, kemudian membalas tatapan Maira dengan alis bertaut.

"Kenapa liatin aku kayak gitu?" tanya Abbas, lalu menjentikkan jarinya. "Ah, aku tahu, pasti di dalam hati kamu sekarang, kamu lagi bilang kan kalo lelaki di depan kamu ini ganteng?" lanjut cowok itu begitu percaya diri.

Maira kian kesal bukan main, kedua tangannya sudah mengepal kuat. Apa semua cowok di dunia ini memang sama? Begitu senang membanggakan diri sendiri! Bersikap manis diawal-awal, lalu menjadi iblis setelahnya. Cewek itu sudah bermunajat dalam hati, semoga saja Haidar tidak seperti itu jika sudah dewasa nanti.

"Liat deh, pohon beringin besar di depan," tiba-tiba Abbas kembali membuka suara, lalu menunjuk sebuah pohon yang berdiri kokoh di seberang jalan, berhadapan tepat dengan gerbang sekolah.

Dengan polosnya, Maira mengikuti saja perintah cowok itu. Dia memandang pohon yang menjulang tinggi dengan akar-akar tua serta ranting-ranting yang dipenuhi lumut itu dengan pandangan penuh tanya.

"Menurut mitos yang beredar, pohon itu ada penunggunya. Perempuan, matanya merah, rambutnya panjang, pake baju putih, dan lebih seremnya ...." Abbas sengaja menggantung kalimatnya, berharap cewek yang belum dia ketahui namanya itu merasa penasaran dengan cerita rekaannya.

"Kenapa?"

Yes! Maira berhasil dibuat penasaran.

Abbas berdeham, mengatur suaranya agar terdengar sedikit lebih menyeramkan.

"Wajahnya rusak parah." balas Abbas, datar.

Maira mendongak penuh tanya. "Rusak gimana?" tanyanya begitu ingin tahu.

Mendengar pertanyaan disertai wajah polos cewek itu, sekuat mungkin Abbas mencoba menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Ya rusak. Bibirnya hitam, hidungnya mirip terompet, mukanya baret-baret, dan alisnya kayak ... kayak gitu deh," Abbas kehabisan ide untuk merangkai ceritanya.

Maira terdiam, mencoba membayangkan wajah perempuan yang dijelaskan Abbas. Tidak terbayangkan, sebegitu rusaknya kah? Ah! Kenapa dia jadi memikirkan hal begitu? Sial.

"Terus, apa ada hubungannya sama aku?"

"Ya jelas ada lah. Nih ya, penunggu di pohon itu sering merhatiin sekolah kita, dan dia gak suka liat orang nangis."

Nangis? Siapa yang nangis sih? Maira menunduk, baru sadar jika dirinya tadi menangis, segera dia menepis sisa-sisa air matanya.

Abbas terkekeh, lucu juga cewek di depannya ini.

"Ibnu Abbas," cowok itu mengulurkan tangannya pada Maira dengan senyum manis.

Maira mundur satu langkah, sama sekali tidak tertarik untuk menerima uluran tangan Abbas.

"Sudah tahu." ujarnya dingin, dengan pandangan ke samping.

Abbas menjadi kikuk, dengan sedikit kecewa dia kembali menurunkan tangannya.

"Oh, tapi aku gak pernah liat wajah kamu waktu MOS, murid pindahan?"

Abbas salah satu panitia yang mengurus jalannya MOS, jadi dia hafal wajah-wajah adik kelasnya. Dan untuk gadis di hadapannya ini, baru tadi siang Abbas melihatnya.

Maira mengangguk saja.

"Nama?" tanya Abbas, dia tidak bisa membaca name tag di seragam Maira karena terhalang kerudung besar yang dikenakan cewek itu.

"Maira."

Abbas mengangguk-angguk paham. "Mau aku antar pulang?" tawar cowok itu, lalu menunjuk motor di belakangnya.

Maira menggeleng cepat, bersamaan dengan itu akhirnya mobil Bu Nur muncul juga. Maira membuang napas lega.

"Duh, Neng maaf ya Bapak telat, banyak pesanan yang harus dikirim dulu tadi," kata Pak Adi yang baru saja keluar dari mobil itu, dengan memasang wajah bersalah.

Harusnya Maira paham jika Pak Adi memang sibuk, masih untung dia ingat untuk menjemput Maira.

Maira hanya tersenyum dengan gelengan pelan pada Pak Adi. Pak Adi berlari membukakan pintu belakang untuk Maira.

"Ibu ada di ruko?" tanya Maira sebelum masuk ke mobil.

"Iya, ada Neng."

"Kita langsung ke sana ya?"

"Siap!"

Maira masuk dan menutup pintu mobil, dari balik kaca yang setengah terbuka, dia melihat Abbas masih berdiri di sana sambil tersenyum padanya.

"Hati-hati, Maira!"

Maira segera membuang pandangannya ke depan, menutup kaca mobil, lalu menggeleng tidak peduli. Perlahan Pak Adi kembali mengemudikan mobil itu.

Setelah mobil itu meninggalkan area sekolah, wajah Maira kembali gelisah.

"Pak, masih jauh ya?" tanya Maira pada Pak Adi yang tengah asyik mengikuti nyanyian di radio dengan kedua tangan yang begitu lihai mengendalikan setir.

Pak Adi mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan aneh Maira. Bagaimana tidak aneh, Maira baru saja masuk ke dalam mobil sepuluh menit lalu, apa dia lupa jalan?

"Ya jelas Neng, satu jam-an lagi."

Maira membuang napas gusar. Perjalanan satu jam terasa satu hari karena dia rindu sekali pada Haidar. ~

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now