53

46K 4.4K 64
                                    

Maira mulai nyaman dengan rutinitas barunya. Meski telinganya tidak pernah absen mendengarkan omongan tidak baik dari para tetangga, tapi dia sudah terbiasa akan hal itu.

Dia menikmati hidupnya yang kini sudah sibuk bekerja. Minggu lalu dia mendapatkan gaji pertama, memang jauh dari kata besar. Namun, dia merasa amat bersyukur karena di gaji pertama itu dia bisa membelikan ayahnya baju baru.

Haidar kian akrab dengan kakeknya. Anak itu bahkan tidak pernah lagi menangis tiap ditinggalkan ibunya untuk bekerja. Sepertinya dia amat menyayangi kakeknya, karena setiap berada dalam gendongan sang kakek, wajahnya selalu terlihat bahagia. Bahkan, tidak jarang dia selalu tidur bersama kakeknya. Setiap malam, Pak Imran selalu menceritakan kisah-kisah islami sebelum Haidar tertidur, seperti yang selalu dia lakukan saat Maira masih kecil dulu.

Haidar adalah cahaya bagi Pak Imran. Hatinya yang semula layu dan gersang, jadi segar dan sejuk kembali setelah kehadiran bayi itu, seperti baru disirami air suci. Tawa pria paruh baya itu tidak pernah lekang tiap kali bercengkrama dengan cucunya. Ternyata sebahagia ini memiliki seorang cucu. Dan ya, dari wajah Haidar yang kian hari kian tampan, Pak Imran semakin yakin dengan pikirannya siapa ayah cucunya ini. Namun, dia tidak pernah membicarakannya dengan Maira. Dia tahu, tapi dia memilih diam. Karena sepertinya, Maira memang tidak membutuhkan pertanggungjawaban dari lelaki itu.

Haidar yang masih belum bisa bicara, hari-harinya selalu ditemani dengan suara yang baik-baik. Anak itu lebih sering di dalam rumah, paling dibawa ke belakang, berteduh di bawah pohon rambutan. Pak Imran jarang membawanya keluar karena dia tidak mau telinga Haidar yang masih suci dikotori oleh suara-suara sampah itu. Jadi, setiap hari anak itu hanya mendengarkan suara kakek dan ibunya saja. Lantunan ayat suci, dzikir, dan shalawat lah yang selalu menemani hari-hari bayi itu dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Karena kakeknya memang tidak punya hobi lain selain tiga hal itu.

Seperti sore ini, Haidar sudah mandi dan wangi. Bedak tabur di wajah bayi itu terlihat belepotan, tapi memberi kesan menggemaskan. Pak Imran tengah asyik bersholawat sambil menimang Haidar, dan bayi itu hanya mendengarkan sambil menghisap ibu jarinya. Namun, mata bulatnya tidak pernah lepas dari wajah sang kakek.

Maira baru saja pulang, berdiri di ambang pintu sambil tersenyum menyaksikan kebiasaan menyejukkan hati itu.

"Assalamualaikum, Maira pulang," ucap Maira sambil berjalan mendekati ayahnya.

Pak Imran berbalik, lalu membalas salam Maira dan mengulurkan tangannya untuk dikecup oleh buah hatinya.

"Wah, Hae sudah tampan," kata Maira lalu mencium gemas pipi anaknya.

Kini, Haidar sudah ada digendongnya Maira. Anak yang tadi tengah sibuk menghisap ibu jari itu kini mengganti kesibukannya dengan menarik-narik kerudung Maira, tapi Maira sama sekali tidak risi.

"Ayah, tadi ibunya Binar kasih makanan. Nanti kita makan bareng ya?"

Pak Imran hanya mengangguk. Maira memandang wajah ayahnya lekat-lekat. Wajah ayahnya pucat sekali, kening Maira berkerut pelik.

"Ayah—"

Maira tidak jadi melanjutkan kata-katanya karena sang ayah sudah berlari menuju kamar mandi sambil terbatuk-batuk. Maira kian panik, masalahnya sejak Maira kembali ke sini, ayahnya itu memang sering sekali batuk-batuk. Dan yang membuat Maira kian gelisah adalah; batuk ayahnya itu jenis batuk kering yang kedengarannya saja sangat menyakitkan. Namun, tiap kali Maira ingin membawanya ke rumah sakit, beliau selalu menolak dengan alasan dirinya baik-baik saja, itu hanya batuk biasa. Jadi, paling beliau meminta Maira untuk membelikan obat di warung.

Pak Imran masih terbatuk-batuk. Tenggorokannya terasa perih dan sakit, batuk itu tidak mau berhenti. Matanya sudah berair, wajahnya kian pucat, dan semakin pucat saat melihat darah kental keluar dari mulutnya. Ini bukan kali pertama, sudah sering. Namun, dia merahasiakannya dari Maira. Dia tidak tahu dirinya menderita apa, tapi yang pasti sejak kehilangan Maira dia memang sudah mengalami hal ini. Mungkin penyebabnya karena sering sekali melewati makan, dan terlalu banyak pikiran. Nahasnya, bukan hanya batuk yang menyiksa dirinya. Dia juga sering merasakan sakit di perutnya, dan beberapa kali mengalami mimisan.

Meski begitu, Pak Imran tidak pernah periksa ke dokter. Dia selalu mengabaikan sakitnya. Namun dia yakin, tubuhnya memang tidak baik-baik saja. Itulah sebabnya, dia tidak pernah mau jika Maira mengajaknya ke rumah sakit. Karena dia tidak mau membuatnya panik. Mati adalah rahasia Allah, seorang muslim diwajibkan untuk tidak takut mati. Jadi, Pak Imran sudah siap kapanpun ajal akan menjemputnya.

"Ayah," panggil Maira yang sudah lama menunggu di depan kamar mandi.

Pak Imran keluar dengan senyuman, mencoba menyakinkan Maira jika dirinya baik-baik saja.

"Kita ke rumah sakit ya?" pinta Maira, kali ini nadanya terdengar sangat memohon, berharap sang ayah tidak menolak lagi ajakannya.

Ayahnya menggeleng sambil merangkul Maira untuk duduk di meja makan.

"Nak, Ayah baik-baik saja." ucap Pak Imran, setelah berdeham beberapa kali agar suaranya terdengar normal. Namun, tetap saja serak bahkan hampir hilang.

"Ayah sakit, wajah Ayah pucat. Maira gak mau Ayah kenapa-kenapa." Maira menggeleng lemah, wajahnya amat ketakutan. Dia takut sesuatu buruk menimpa ayahnya. Tuhan, Maira belum siap ditinggalkan ayahnya. Maira belum bisa membuat ayahnya bahagia.

Pak Imran mencubit hidung mancung Maira dengan gemas sambil terkekeh hangat.

"Wajah Ayah pucat karena lapar. Sudah, siapkan makanan, Ayah mau makan."

Dalam hati Pak Imran tersenyum kecut, karena sesungguhnya dia sama sekali tidak lapar. Jangankan lapar, melihat makanan saja tidak berselera.


Tobecontinue~

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now