10

72.5K 8K 94
                                    

Hari hari Maira lalui dengan rutinitas membosankan. Rasanya dia seperti berada di dalam sel tahanan. Bagaimana tidak? Sudah delapan Minggu lebih dia tidak pernah keluar rumah. Dia berani keluar ketika ayahnya sedang bekerja saja, itu pun hanya ke belakang untuk memetik rambutan yang sudah matang, ditambah jika sudah mamastikan kalau benar-benar tidak ada orang yang melihatnya.

Pak Imran bahkan selalu membawa baju kotor Maira ke laundry yang jaraknya lumayan jauh dari rumah setiap dia berangkat kerja, hanya agar tidak ada tetangga yang curiga jika Maira sebenarnya masih ada di rumah.

Dan ya, setiap ada tetangga rumah yang menanyakan Maira, pasti Pak Imran akan menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban sama yang pernah dia berikan pada Binar. Awalnya mereka tidak percaya dan merasa janggal karena begitu tiba-tiba, tapi Pak Imran tidak mau ambil pusing.

Maira begitu menikmati momen barunya menjadi ibu hamil. Entah kenapa sejak berhenti sekolah dia tidak pernah merasa mual atau pusing lagi, bahkan dia juga tidak pernah merasa begitu ingin memakan sesuatu yang harus dituruti seperti ibu hamil pada umumnya. Anaknya sangat baik di dalam sana, dan itu membuat Maira bahagia.

Maira punya kegiatan baru sekarang; yaitu mengajak bayi yang masih di dalam perutnya mengobrol. Maira kesepian, karena ayahnya tidak pernah mau mengobrol lagi dengan dia setiap kali mau berangkat atau pulang kerja, jadi Maira curahkan saja segala keluh kesahnya pada sang janin. Meski tidak pernah ada jawaban dari dalam sana, tapi Maira yakin jika dia mendengarnya.

Maira menatap pantulan tubuhnya di balik cermin, perutnya masih terlihat rata. Maira mengelusnya penuh sayang, tidak lama lagi perutnya akan semakin membesar, dia merasa sungguh tidak sabar melihat bentuk baru tumbuhnya. Kemudian dia beralih menatap wajahnya, ditekan-tekan kedua pipi merona yang kini agak tembam itu. Ah, akhirnya dia punya pipi menggemaskan seperti pipi Binar, Maira terkekeh geli sambil menarik-narik pipinya dengan gemas. Ini pasti karena hampir tiap malam makan martabak cokelat, mau bagaimana lagi, habis ayahnya tidak pernah absen selalu membelikan banyak makanan tiap pulang kerja.

"Ayah, ini boleh Maira makan?" tanya Maira pada ayahnya yang sibuk membaca koran di sofa ruang tengah. Mata Maira melirik pada dua kresek makanan di meja.

"Ya memangnya buat siapa kalo tidak kamu makan?" tanya Pak Imran tanpa mengalihkan pandangannya pada koran.

"Terima kasih Ayah!" ujar Maira ceria.

Maira menarik kursi, melabuhkan punggungnya lalu membuka bungkusan dua kresek itu. Mulutnya langsung menganga ketika melihat sekotak martabak cokelat dan ragam jajanan pasar lainnya. Ada onde-onde, putu ayu, klepon, kue cucur, dadar gulung, dan kue apem yang bersatu di dalam kresek. Maira meneguk air liur, semuanya manis dan kesukaannya.

Satu klepon dimasukkan langsung ke dalam mulut. Selama beberapa detik Maira memejamkan mata ketika merasakan manisnya gula merah yang meletus di dalam mulut, enak sekali.

"Ayah mau?" tanya Maira dengan mulut penuh.

Pak Imran melirik sekilas, anaknya itu tidak pernah berubah, selalu saja makan dengan lahap dan tidak bisa diam. Bahkan dia tidak peduli jika mulutnya sudah lengket dipenuhi gula dan parutan kelapa.

Pak Imran hanya menggeleng singkat, kembali menatap koran sambil berusaha menahan senyum.

Maira menuangkan air putih dari dalam teko ke gelas, lalu meneguknya hingga tandas, setelah itu dia kembali memandang wajah Pak Imran dengan senyuman lembut.

"Ayah, Ayah masih sayang Maira kan? Buktinya, Ayah masih ingat makanan kesukaan Maira. Ayah juga selalu beliin Maira makanan. Makasih Ayah, Maira juga sayang sama Ayah."

Biasanya, setelah mengatakan kata 'sayang' maka Maira akan memeluk ayahnya, tapi kali ini tidak lagi. Maira masih merasa segan untuk memeluknya, jangankan memeluk, setiap kali Maira hendak mencium tangannya saja, Pak Imran selalu menolak.

Maira rindu pelukan Ayah. ucapnya dalam hati.

"Maira!"

Teriakkan ayahnya berhasil menarik atensi Maira yang sejak tadi menatap kosong pada cermin, sibuk melamun.

"Iya, Ayah?" Maira keluar dari kamar, melemparkan senyuman hangat pada ayahnya.

Tatapan Pak Imran datar saja. "Nih, buat kamu." ucapnya, menyodorkan sebuah paper bag pada Maira.

"Apa ini Ayah?" Tidak menunggu jawaban, senyum Maira kembali terbit ketika melihat isi paper bag itu.

Sebuah baju terusan berwarna cokelat yang dihiasi tiga kancing di depannya. Manisnya baju itu.

"Ini buat Maira, Ayah?"

"Ya memang buat siapa lagi?"

"Makasih, Maira suka banget," Maira memeluk ayahnya spontan.

Pak Imran membeku. Dalam lubuk hati terdalam dia juga merasa sangat merindukan pelukan hangat anaknya, tapi egonya terlalu tinggi hingga selalu menyangkal hal itu. Dengan perlahan dia melepaskan pelukan Maira.

"Cepat tidur, sudah malam."

"Siap!" Maira memberi hormat dengan senyuman manis yang terus mengembang.

Pak Imran berlalu pergi begitu saja. Maira kembali menutup pintu kamar, lalu merebahkan tubuh di atas kasur tipisnya sambil memeluk baju itu. Matanya di pejamkan, senyumnya masih belum hilang, malah kian lebar. Baju ini pasti akan sangat cocok dia pakai ketika perutnya sudah besar nanti, Maira sungguh senang.

Dia kembali membuka mata, lalu mengusap perutnya pelan.

"Anak Mama yang baik, Kakek beliin Mama baju. Mama seneng banget, ternyata Kakek masih sayang sama Mama."

Ayah masih menyayangi kamu, dan selamanya akan selalu seperti itu. Maafkan Ayah, Nak... untuk saat ini Ayah masih belum bisa menerima semuanya.

Pak Imran mengusap air matanya yang lancang keluar begitu saja, kemudian melanjutkan langkahnya memasuki kamar. Hatinya begitu hancur mendengar ucapan Maira. Dia rindu mengobrol hangat dengan anaknya, dia juga kesepian, tapi dia masih sangat kecewa.

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang