46

44K 5K 75
                                    

Setelah memarkirkan motornya di pekarangan, Abbas segera berlari memasuki rumah, menuju kamar Anfal tanpa mengucapkan salam seperti biasanya. Dia bahkan menghiraukan keberadaan Kakek Ahmad yang tengah duduk di beranda sambil membersihkan sangkar burung. Kakek Ahmad yang melihatnya pun terheran, ada apa dengan cucunya? Mencoba berpikir positif, mungkin Abbas sudah kelelahan ingin segera beristirahat.

"Brengsek!" umpat Abbas sambil mendorong pintu kamar Anfal dengan kasar.

Anfal yang tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahnya di meja belajar, langsung ditarik hingga bangkit dari duduknya. Cowok itu menatap Abbas dengan raut heran bercampur panik, Abbas kenapa? Kok tiba-tiba seperti orang kesetanan begini?

Bugh!

Tanpa aba-aba, Abbas menonjok wajah Anfal begitu keras sampai sudut bibir Anfal berdarah. Anfal tidak melawan, dia malah mencoba mengingat apakah dia punya salah pada Abbas?

"Bas—"

"Bajingan! Brengsek!" teriak Abbas, mencengkeram kuat kerah baju Anfal.

Anfal berusaha melepaskan tangan Abbas, lalu kembali berujar. "Lo kenapa, Bas?" tanyanya, masih berusaha tenang.

Napas Abbas masih memburu. Aliran darah di kepalanya terasa mendidih, dan dadanya bergejolak panas. Tidak ada raut ceria sedikitpun dari wajah Abbas, yang ada hanya tatapan mata tajam dan mengerikan.

Abbas kembali mengangkat tangannya, bersiap melayangkan tonjokan lagi pada wajah Anfal. Namun, pergerakannya langsung dihentikan oleh teriakkan sang kakek.

"Berhenti! Apa-apaan ini?!"

Dalam hati Abbas mengumpat, kenapa kakeknya harus datang di waktu yang tidak tepat? Sumpah, Abbas belum puas ingin menghajar Anfal, jika bisa rasanya dia ingin membuat wajah cowok itu babak belur. Sampai sekarat pun Abbas tidak peduli, karena dia yakin, sakit yang saat ini Anfal rasakan tidak akan sebanding dengan penderitaan Maira.

"Mengucap Abbas!" perintah Kakek Ahmad sambil menjauhkan Abbas dari Anfal.

Abbas memejamkan matanya sejenak dengan kepala sedikit tertunduk, dia pun mengikuti perintah sang kakek. Setelah merasa sedikit lebih tenang, cowok itu kembali membuka matanya dan tatapannya menghunus pada Anfal.

"Gue mau bicara sama lo." ucap Abbas, lalu menarik tangan Anfal.

"Maaf, Bah. Ini urusan anak muda."

Dengan kurang ajarnya Abbas masih sempat bicara begitu pada sang kakek, membuat kakeknya hanya bisa menggeleng tidak habis pikir.

Abbas terus menarik tangan Anfal sampai mereka tiba di perkebunan teh. Terlihat langit mulai menguning, tanda tidak lama lagi akan berganti menjadi gelap. Di bawah pohon rindang, Abbas menghentikan langkahnya dan duduk beralaskan rumput di sana, lalu meminta Anfal untuk duduk di sampingnya. Abbas memperhatikan sekelilingnya, sepi. Baguslah, setidaknya jika dia bicara di sini kakeknya tidak akan mendengar. Meski Abbas tahu kesalahan Anfal amat fatal, tapi terbesit juga sedikit rasa iba pada sepupunya itu. Dia tidak akan membicarakan hal ini kepada siapapun karena belum tahu pasti kebenarannya.

"Apa yang udah lo lakuin sama Maira?" tanya Abbas datar.

Anfal memandang Abbas dengan wajah terkejut sekaligus bertanya-tanya, darimana Abbas tahu nama Maira?

"Lo kenal Maira?"

"Jawab pertanyaan gue."

Namun, Anfal malah diam saja. Hal itu membuat perasaan Abbas semakin kacau. Jadi, apa yang dikatakan Maira itu benar? Demi Tuhan, kenapa harus Maira?

"Lo udah bikin dia hamil 'kan? Kenapa lo gak tanggung jawab?"

"Bas—"

"Kenapa lo biarin tuh cewek pergi dari rumahnya dan biarin tuh anak lahir tanpa sosok ayah?"

"Bas, lo kenal Maira? Lo tau dia di mana? Tolong kasih tau gue, Bas ...."

Abbas tersenyum miring. Jadi, Anfal tidak tahu di mana Maira sekarang? Lalu kenapa coba dia tidak mencari tahu sendiri?

"Jawab dulu pertanyaan gue! Kenapa lo gak mau tanggung jawab?!" Sudah. Abbas tidak bisa lagi berbicara dengan nada rendah.

Anfal menunduk, penyesalan jelas tergambar dari raut wajahnya.

"Dulu emang gitu, tapi sekarang gue udah nyesel banget. Makanya, gue mau berubah. Gue udah coba cari Maira, gue mau tanggung jawab, tapi sampe sekarang gue belum juga berhasil temuin dia."

"Terus foto bayi itu? Lo pasti pernah ketemu lagi sama Maira di kota ini 'kan?"

"Iya, Bas. Waktu itu di taman, gue gak sengaja liat ibu-ibu gendong bayi, dan gue foto bayi itu. Setelah itu, gue tau kalo tuh bayi anak Maira. Dan sampe sekarang, kita gak pernah ketemu lagi."

Apa harus Abbas memberitahukan pada Anfal di mana Maira? Apa Anfal masih diberi kesempatan oleh Maira? Apa mereka akan menikah? Membayangkan Anfal hidup bahagia dengan Maira dan anak mereka, hati Abbas terasa ditoreh. Abbas tidak bisa memahami bagaimana perasaannya sekarang, semua terlalu merumitkan.

Di satu sisi Abbas merasa tidak rela jika Anfal harus bertemu lagi dengan Maira apalagi jika sampai mereka menikah. Namun, di sisi lain dia juga tidak mau melihat bayi itu hidup tanpa sosok ayah. Abbas paham bagaimana rasanya tidak memiliki ayah, ayahnya pergi sejak dia masih kecil, ketika dia belum paham artinya kehilangan. Dan jika bayi itu hanya diasuh oleh Maira, dia pasti kelak akan menjadi cemoohan. Malangnya nasib anak menggemaskan itu.

Abbas memandang Anfal yang sejak tadi hanya menunduk, bahkan dia melihat cowok itu mulai meneteskan air matanya. Ingin rasanya mencaci maki, tapi yang berhak melakukan hal itu hanya Maira. Abbas tidak punya urusan dengan masalah mereka, tidak seharusnya Abbas ikut campur.

"Maira satu sekolah sama gue."

Anfal langsung mengangkat wajahnya, memandang Abbas tidak percaya.

"Lo bisa temuin dia besok."

Setelah mengatakan itu, Abbas segera bangkit dari duduknya. Bukannya merasa lega, dadanya malah kian sesak. Sungguh, Abbas benar-benar tidak paham dengan dirinya sendiri. Kenapa coba sekarang dia malah merasa menyesal telah memberitahukan keberadaan Maira pada Anfal?

To be continue

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang