42

43.7K 4.9K 156
                                    

Maira menautkan jari lentiknya pada tangan mungil Haidar, Haidar tertawa ketika tangannya diangkat-angkat ke udara, lalu dikecup penuh kasih oleh sang ibu.

Maira terkekeh kecil, bahagia setiap kali melihat tawa buah hatinya. Rasanya sebesar apapun masalah yang dia hadapi, bagaimanapun lelahnya hari-hari yang dia lalui, semua akan lebur ketika melihat wajah anaknya.

Mendadak, Maira jadi teringat masa-masa indah ketika bersama sang ayah dulu. Maira tahu, Ayahnya bekerja keras untuknya. Beliau seharian bekerja, pulang dengan wajah lelah, tapi saat melihat Maira, selalu saja yang dipamerkan adalah senyuman hangat. Mungkin ini yang dirasakan ayahnya dulu.

Maira rindu ayah.

Maira merenung, dadanya selalu sesak tiap kali mengingat sang ayah, apalagi saat mengingat kali terakhir dia bertemu dengan ayahnya. Sebenarnya ayahnya sakit apa? Kenapa tubuhnya kurus sekali? Apa mungkin dia jarang makan karena selalu ingat Maira?

Maira menggeleng. Ah, mana mungkin? Bukankah dulu ayahnya sendiri yang ingin menitipkan dia pada Tante Hanum? Itu berarti, ayah memang tidak masalah kan jauh dari Maira?

"Jangan tinggalin Ayah lagi."

Kata itu selalu menggema hampir setiap malam dalam lamunan Maira. Maira ingin berhenti sekolah, ingin pulang, lalu mengurus sang ayah. Namun, jika dia mengingat kembali semua jasa Bu Nur padanya, rasanya terlalu tidak sadar diri jika Maira meninggalkan rumah ini begitu saja. Maira harus sukses dulu, minimal bisa membayar kebaikan Bu Nur.

Bagaimanapun juga, Maira sudah menganggap Bu Nur seperti ibunya sendiri. Dia tidak tega meninggalkan Bu Nur sendirian di sini, dia tidak sanggup membuat Bu Nur sedih.

"Maira."

Maira menoleh pada pintu kamar, Bu Nur tersenyum lembut, lalu masuk dan duduk di dekat Maira.

"Maira oke?" tanya Bu Nur.

Sejak kejadian di taman itu, Bu Nur selalu risau dengan keadaan Maira. Maira jadi irit bicara dan banyak melamun.

Maira memandang Bu Nur. Jujur, dia ingin menceritakan kejadian hari ini pada Bu Nur, tapi tidak mau semakin menyulitkan hidup Bu Nur. Biarlah masalah ini dia pendam sendiri, toh Elina juga hanya menjambak kerudung dan melemparkan tepung padanya, bukan menganiayanya.

"Iya."

Bu Nur membuang napas berat. Tuh kan, Maira selalu saja bilang begitu. Padahal, dari raut wajahnya saja Bu Nur bisa lihat, jika Maira sedang banyak pikiran.

"Maira jangan bohong. Cerita sama Ibu ya, Maira kenapa? Apa ada teman-teman di sekolah yang jahat sama Maira?"

Maira menunduk, memandang Haidar. Sekedar menghindari tatapan curiga Bu Nur. Dia tidak boleh menceritakan apapun pada Bu Nur.

"Mai," panggil Bu Nur, menunggu jawaban Maira.

Maira malah terkekeh geli, karena Haidar menggeliat sambil tertawa ketika Maira menggelitik pelan perutnya.

"Ibu, Haidar gak bisa diam nih, ketawa terus dari tadi." ucap Maira, mencoba cover line.

Perasaan Bu Nur semakin tidak enak. Namun, dia juga tidak berhak memaksa Maira untuk cerita jika Maira tidak mau. Akhirnya, Bu Nur ikut terkekeh sambil mengusap pipi lembut Haidar.

~

Bingkai kecil bergambar seorang bayi tengah tersenyum dengan mata bulat yang jernih itu ditatap penuh sayang, sesekali diusap pelan, lalu dikecup begitu lama hingga tanpa sadar air matanya menetes.

Hai dear

Itu adalah nama samaran yang Anfal buat untuk memanggil nama anaknya, Haidar. Betapa semakin hari semakin sayang dia pada Haidar. Anfal merasa sangat beruntung dipertemukan dan bisa mengetahui nama anak itu, meski hanya sekali dia mendengar nama Haidar dari mulut Maira, tapi sudah berhasil membuatnya terus mengingat nama itu hampir setiap detik, seperti detak jantungnya.

Mengingat Haidar selalu berhasil membuat mood Anfal membaik dalam waktu cepat, tidak peduli seberapa lelah dan kacaunya hari yang dia lalui. Dia benar-benar ajaib, hanya dengan menatap fotonya saja Anfal sudah bahagia, hatinya menghangat tiap kali dia tatap lamat-lamat foto itu, foto anaknya. Foto itu bahkan selalu terselip dalam dompet Anfal, tidak pernah tertinggal barang satu hari pun.

Untuk saat ini, Anfal tahu jika sebuah penyesalan adalah rasa yang sia-sia. Oleh sebab itu, dia selalu berusaha melupakan semua kenangan di masa lalunya dengan mencoba berubah menjadi manusia yang lebih baik.

Entah kenapa, meski hingga kini Anfal belum berhasil menemukan Maira, tapi hatinya masih sangat yakin jika Tuhan akan mempertemukan mereka kembali.

Sungguh Anfal sangat berharap, semoga saja Maira masih mau memberinya kesempatan kedua. Semoga Maira masih memiliki perasaan terhadapnya. Dulu Maira pernah bilang, jika Anfal adalah cinta pertama Maira. Cinta pertama selalu sulit dilupa, bukan? Anfal berharap perasaan Maira begitu.

"Hoi, foto siapa tuh?" tanya Abbas.

Abbas duduk di samping Anfal, menaikkan satu kakinya dengan satu tangan terletak di atas lutut, ikut memandangi foto bayi itu dengan kening berkerut. Siapa bayi di foto itu? Kenapa Anfal terlihat begitu aneh sampai meneteskan air mata hanya karena bayi di foto itu? Apa dia adik Anfal yang sudah mati?

Jangan ngaco Abbas, Mama Aisha kan gak pernah hamil lagi.

Segera Abbas menggeleng atas pikirannya yang absurd. Lalu, cowok itu kembali mencoba menerka hal lain. Apa sebegitu inginnya Anfal punya adik sampai menyimpan foto anak orang?

"Fal, woy!" Abbas menjentikkan jarinya di depan wajah Anfal karena cowok itu terus saja melamun.

Anfal tersentak, dengan cepat dia menyeka air matanya.

"Foto anak siapa tuh?" tanya Abbas, masih penasaran.

Anak gue. batin Anfal.

Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Anfal, akhirnya Abbas merebut foto itu, kemudian memandang wajah bayi yang tengah tersenyum itu lamat-lamat, tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik karena saking gemasnya melihat si bayi.

Namun, dahinya kembali berkerut pelik ketika menyadari jika wajah bayi itu terlihat tidak asing. Abbas menatap Anfal, lalu kembali menatap foto. Menatap Anfal lagi, dan menatap foto di tangannya lagi. Hal konyol itu terus dia lakukan sampai sadar akan sesuatu.

Iya! Benar! Foto bayi ini mirip dengan wajah Anfal. Apa ini foto saat Anfal masih bayi? Sepertinya iya, karena fotonya tidak berwarna.

Anfal merebut kembali foto itu, cepat-cepat memasukkannya ke dalam dompet, takut Abbas bertanya yang tidak-tidak.

Abbas menggeleng tidak habis pikir.

"Ampun deh, Fal. Gue tau wajah lo emang udah ganteng dari orok, tapi ya gak usah ditatap sebegitu nya juga kali, sampe nangis segala." gerutu Abbas.

Anfal membuang napas lega, karena Abbas tidak berpikir macam-macam. Untung foto itu sudah dia edit sebelum dicetak, jadi terlihat seperti foto lama. Bukan karena apa, dia memang lebih suka foto tanpa warna, terlihat klasik.

"Mana sambil duduk di lantai, bersandar lagi ke tembok. Keliatan ngenes banget tau gak?"

Anfal hanya tersenyum kecil sambil memeluk kedua lututnya.

To be continue°•°

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now