48

44.8K 4.6K 143
                                    

Anfal pulang ke rumah dengan keadaan kacau, rambut dan bajunya basah, serta wajahnya pucat. Semua semangat hidupnya seolah baru saja direnggut paksa, pergi bersama Maira. Anfal tidak menyangka jika Maira akan bersikap sedingin itu padanya. Maira bahkan tidak mau melihat wajahnya. Sungguh, rasanya dia lebih rela dicaci maki daripada mendapatkan perlakuan dingin seperti itu.

Apakah setelah semua ini Anfal masih punya kesempatan? Apa bisa Anfal kembali bertemu dengan Maira? Ya. Anfal tidak boleh menyerah begitu saja, dia harus kembali berusaha mengambil hati Maira.

Klek,

Baru saja membuka pintu kamar, Anfal dikejutkan oleh Abbas yang sudah berada di dalam kamarnya, tengah duduk sambil mengotak-atik komputernya. Kebiasaan, Abbas selalu saja sembarangan masuk ke kamar Anfal. Mau marah, tapi sadar jika Anfal hanya menumpang di sini.

"Gimana?" tanya Abbas, begitu ingin tahu bagaimana nasib Anfal.

Anfal duduk di lantai dengan menyandarkan punggungnya pada kasur, lalu mendongak menatap langit-langit kamar sambil menghembuskan napas panjang. Abbas turun dari kursi, ikut duduk di samping Anfal.

"Maira udah kecewa banget sama gue, Bas."

Abbas menatap wajah Anfal dengan raut prihatin.

"Itu wajar. Terus, lo udah bilang mau nikahin dia?"

Anfal hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Dia bilang apa?"

Abbas menunggu jawaban Anfal dengan perasaan waswas. Namun, jika Maira menerima ajakan Anfal untuk menikah, wajah Anfal tidak mungkin akan se-kacau ini 'kan? Kecuali, jika cowok itu tidak yakin dengan niatnya.

"Maira gak bilang apa-apa."

Refleks, Abbas menghembuskan napas lega. Bukan bermaksud jahat, tapi dia tidak bisa berbohong jika sebagian hatinya merasa iba pada Anfal, tapi sebagian lagi merasa senang mendengar kabar ini.

"Dia bahkan gak mau liat wajah gue, Bas. Gue gak yakin, masih punya kesempatan untuk dimaafin."

"Apa lo mau nyerah? Lo mau lepas Maira?"

"Enggak akan. Gue udah sayang banget sama dia, gue juga sayang banget sama anak gue. Gue mau kita bisa hidup bersama suatu hari nanti."

Khayalan Anfal tampak indah, tapi apakah dia sudah lupa dengan semua kejahatannya di masa lalu? Tentang dia yang meminta Maira untuk menggugurkan janin itu, tentang ucapan-ucapan merendahkannya. Mungkin dia lupa, karena terlalu sibuk memperbaiki dirinya. Namun tidak dengan Maira, sampai kapanpun semua kenangan itu membekas di hati, dan tidak akan pernah bisa Maira lupakan. Itulah sebabnya Maira tidak mau lagi mengenalnya.

"Coba lo mau tanggung jawab sejak tau dia hamil, mungkin kejadiannya gak akan kayak sekarang. Maira gak akan se-kecewa itu sama lo."

Perkataan Abbas sangat menohok, membuat Anfal semakin down.

"Andai lo ada diposisi gue, Bas. Semuanya serba salah. Lo tau 'kan, gue anak tunggal, harapan satu-satunya orang tua. Apa reaksi mereka jika saat itu gue bilang mau menikah, sementara gue lagi sibuk-sibuknya belajar biar bisa lolos PTN. Gue gak sanggup, Bas. Gak sanggup liat wajah kecewa mereka."

Memang berat, tapi 'kan semua terjadi karena kesalahan sendiri. Harusnya Anfal berani mengambil risiko. Jika Abbas ada diposisi Anfal saat itu, dia tidak akan melakukan hal yang sama dengan Anfal. Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab, itulah prinsip Abbas. Dia tidak mungkin menyakiti hati perempuan itu, jika benar mencintainya. Ish! Anfal memang tidak pernah bisa ditebak jalan pikirannya.

×××

Apakah hidup memang selalu diwarnai dengan masalah? Sepertinya iya. Jika Maira tidak punya masalah, mungkin hidupnya akan terasa sangat monoton, tidak berwarna. Dan ya, jika dia tidak pernah punya masalah, dia tidak akan bisa sekuat saat ini. Dari masalah Maira bisa belajar banyak hal, dan Maira harus selalu mengambil sisi positif akan hal itu.

Sekarang tekat Maira semakin bulat, dia ingin pulang ke rumah ayahnya dan kembali berhenti sekolah. Maira sadar, sekolah bukan lagi tempat untuknya.

Dan malam ini, dengan penuh keyakinan, Maira memberanikan diri meminta izin untuk pulang kepada Bu Nur.

Shock. Itulah yang tergambar jelas dalam wajah Bu Nur ketika mendengar Maira ingin berhenti sekolah dan pulang ke Jakarta. Sungguh, Bu Nur tidak rela menerima kenyataan ini. Dia belum siap berpisah dengan Maira, apalagi sekarang sudah ada Haidar. Bu Nur kian hari kian menyayangi bayi itu.

"Maira yakin ini keputusan terbaik?" tanya Bu Nur untuk kesekian kalinya, sangat berharap Maira akan berubah pikiran.

Maira mengangguk mantap, dia bahkan sudah memasukan pakaian-pakaiannya ke dalam tas.

"Tapi Ibu gak mau tinggal sendirian," lirih Bu Nur, menunduk dengan air bening tertahan di pelupuk matanya.

Maira merasa sesak mendengar kalimat itu. Alangkah merasa berdosa dan tak tahu dirinya dia. Sudah ditolong, disayangi, dikasihani, dan kini tanpa balas budi dia akan pergi begitu saja.

"Jangan tinggalin Ibu, Mai." pinta Bu Nur.

Maira mendongak, menahan air matanya agar tidak jatuh. Jujur, hampir satu tahun tinggal bersama Bu Nur membuat Maira merasa tidak pernah sungkan lagi pada wanita itu, karena sejak awal Maira sudah menganggap Bu Nur seperti ibunya sendiri. Namun, dia sudah tidak punya alasan lagi untuk berada di sini. Maira masih punya kewajiban untuk merawat sang ayah, tiap hari dia selalu dirundung rasa gelisah memikirkan kondisi ayahnya. Dia amat merindukan ayahnya, dia mau melewati hari-hari bersama sang ayah seperti dulu, meski mungkin suasananya sudah tidak akan bisa sama lagi.

"Maira pindah sekolah aja ya kalo gak nyaman? Atau, Maira home schooling? Mau? Iya, Nak? Home schooling aja ya?"

Maira menggeleng, lalu meraih kedua tangan Bu Nur untuk digenggamnya.

"Ibu sudah terlalu baik pada Maira, dan Maira sangat berterima kasih akan hal itu. Maafin Maira, tapi keputusan Maira sudah bulat, Maira mau pulang ke rumah ayah. Izinin Maira buat pulang ya, Bu?" Maira menatap mata Bu Nur penuh permohonan.

Bu Nur mengalihkan pandangannya, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh juga, dengan cepat dia mengesatnya. Kenapa takdir hidupnya harus begini? Sudah divonis tidak bisa memiliki keturunan, lalu ditinggalkan suami, dan sekarang, kedua orang yang telah dia sayangi pun akan meninggalkannya juga? Apa takdir hidupnya di dunia ini memang hanya untuk sendiri?

Di Usia 16(Terbit)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें