51

47.2K 4.5K 65
                                    

Setelah tahu jika Maira berhenti sekolah, Abbas benar-benar seperti tidak punya semangat hidup. Wajahnya lebih sering terlihat murung. Mulut yang biasanya tidak bisa diam kini lebih sering tertutup. Bahkan untuk sekadar tersenyum saja terasa amat berat.

Kemarin dia kembali mengunjungi ruko, dan betapa leganya ketika dia bertemu Bu Nur di sana. Namun, setelah mendengar kabar dari Bu Nur disertai wajah kehilangan, Abbas merasa bak disambar petir. Berkali-kali dia menanyakan hal yang sama pada Bu Nur, berharap jika perkataan Bu Nur adalah lelucon. Nahasnya, Bu Nur sama sekali tidak bercanda.

Saat Abbas bertanya kenapa dan ke mana Maira pindah, dengan lesu Bu Nur hanya bisa menggeleng, lalu air matanya jatuh. Hal itu membuat Abbas merasa sungkan untuk bertanya lebih lanjut. Siapa lah Abbas ini, Maira bahkan tidak pernah menganggap jika Abbas adalah temannya.

Abbas mengakui jika dirinya merasa sangat kehilangan. Setiap tempat di sekolah ini selalu mengingatkannya pada Maira. Depan sekolah tempat awal perkenalan mereka, perpustakaan, lapangan ketika Maira tidak mau mengambil bolanya dan mau menerima minum darinya sampai dia tidak bisa berhenti tersenyum di hari itu tiap kali mengingatnya. Lalu, ada parkiran ketika tiba-tiba Maira menghampiri dan memanggil namanya. Tidak lupa juga kantin, depan kelas, dan jalanan. Seberat ini ternyata, Abbas tidak pernah sebelumnya disiksa rindu sekejam ini.

Nyatanya, bukan hanya rindu yang menyiksa hati, tapi juga penyesalan. Sekarang Abbas menyesal, Maira pergi setelah bertemu dengan Anfal. Abbas yakin sekali, Maira pasti menghindari cowok itu. Jika saja Abbas tidak memberitahukan kepada Anfal keberadaan Maira, jika saja mereka tidak dipertemukan, Maira pasti masih di sini. Entah kenapa Abbas sangat meyakini hal itu. Dia jadi bertanya-tanya, sebenarnya separah apa Anfal menyakiti Maira? Apa se-benci itu Maira pada Anfal?

Dan menyoal Anfal, dia juga masih berusaha mencari Maira. Namun, Abbas tidak memberitahukan jika Maira sudah meninggalkan kota ini. Kedua cowok itu kini terlihat tidak se-akrab sebelumnya, Anfal yang jarang di rumah, dan Abbas yang tidak pernah lagi menyapa duluan. Ketika bertemu di rumah, keduanya malah terlihat seperti orang asing, sama-sama diam. Saat kakeknya bertanya apa mereka bertengkar, dengan kompak mereka menjawab tidak. Anfal beralasan jika dia stres karena tugas dan pekerjaan. Lalu Abbas beralasan jika dirinya juga stres karena tidak lama lagi akan menghadapi ujian. Kakek Ahmad yang memang dasarnya bodo amatan, hanya menggeleng dan lebih mementingkan burung-burungnya. Anak muda memang aneh, itu yang dia pikirkan tentang kedua cucunya.

"Bas," panggil Fajar sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Abbas.

Abbas terlihat masih merenung dengan tubuh yang disandarkan pada tembok, kedua kakinya diluruskan di atas bangku milik Fajar. Sementara Fajar duduk di sebelah Arqam, di meja depan Abbas. Kedua sahabat Abbas itu ikut iba melihat kondisi Abbas akhir-akhir ini. Mereka ingin membantu, tapi tidak tahu harus dengan cara apa. Mencoba menghibur, tapi selalu berujung gagal. Selera humor Abbas jadi berkelas beberapa hari terakhir ini, tidak akan tertawa hanya dengan candaan receh kedua sahabatnya.

"Bas, ke lapangan yuk," ajak Arqam.

Abbas menggeleng.

"Udahlah, Bas. Cewek 'kan masih banyak, yang suka sama lo banyak lho." ujar Fajar mencoba menyenangkan hati Abbas.

"Atau, gini aja; lo percaya deh sama kata-kata gue," Arqam kembali membuka suara, hingga akhirnya Abbas memandangnya penuh tanya.

"Apa?"

"Kalo lo sama Maira berjodoh, kalian pasti bakal ketemu lagi."

Fajar langsung berseru, "Bener tuh, Bas!" Disertai senyuman lebar.

Berjodoh? Apa iya? Akshdjlanmeiw Abbas! Sekolah aja belum lulus lo! Gak pantes ngomong-ngomong jodoh. Batin Abbas ribut sendiri.

"Sialan, lulus aja belum udah ngomongin jodoh, ngaco kalian." ketus Abbas, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas.

Dengan cepat kedua sahabatnya mengikuti.

"Eh, Bas! Mau ke mana?" teriak Arqam.

"Lapangan!"

"Tungguan atuh!"

Arqam dan Fajar berlari mengejar, setelah langkah mereka berhasil sejajar dengan Abbas, keduanya pun merangkul bahu Abbas.

"Ngomongin jodoh gak dosa kok, Bas. Persiapan, ehe." ujar Fajar, lalu nyengir ala kuda.

Abbas mengerlingkan matanya, dan akhirnya seulas senyum kembali terbit.

"Ngomong-ngomong persiapan, daripada ke lapangan, mending kita ke perpus aja."

"Hah, ngapain?" tanya Fajar dan Arqam bersamaan.

"Belajar lah, ayo!" Abbas segera menarik tangan kedua sahabatnya itu sebelum mereka lari dengan sejuta alasan.

Wajah Arqam dan Fajar langsung berubah pucat. Demi Tuhan, perpustakaan adalah tempat paling mengerikan bagi Arqam dan Fajar. Melihat banyaknya buku di sana, membuat mereka pusing dan mulas tiba-tiba. Namun, mau bagaimana lagi. Ya sudah lah, ikuti saja, yang penting sahabatnya ini bisa kembali ceria.

~

Matahari kian terik, kerongkongan Maira terasa tercekat akibat kehausan. Akhirnya, dia memutuskan membeli minum sambil berteduh. Kasihan Haidar, dibawa ke sana-sini, kepanasan. Maira sudah mondar-mandir mencari pekerjaan, tapi hingga siang menuju sore ini dia belum juga berhasil mendapatkannya. Jika Haidar menangis, maka dengan buru-buru Maira mencari toilet umum, untuk memberi Haidar ASI sampai bayi itu kembali tenang.

"Silahkan, Mba." ucap Bapak penjual es.

Maira tersenyum ketika segelas es kelapa pesanannya diletakkan di atas meja, dengan cepat dia meminumnya hingga tandas. Tenggorokan yang sebelumnya terasa kering sekarang menjadi amat dingin setelah dilewati kesegaran air kelapa.

Maira mengelap keringat di dahinya, lalu mengusap wajah Haidar yang juga basah. Sepasang mata bulat bayi itu berkejap lucu, lalu tersenyum saat bibir mungilnya disentuh sang ibu.

"Sayang, kamu capek ya? Kita pulang ya? Kamu pasti kangen Kakek, kan?"

Haidar kembali tersenyum, kedua tangan mungilnya terangkat berusaha menggapai wajah sang ibu. Maira terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Haidar. Dan benar saja, setelah berhasil tergapai, tangan mungil itu dengan lucunya mencakar-cakar wajah Maira. Untung saja kuku-kukunya tidak pernah Bu Nur biarkan memanjang, kalau tidak, bisa habis wajah Maira dicakar Haidar. Senyum Maira luntur ketika mengingat Bu Nur, hampir tiap hari Bu Nur memotong dan membersihkan kuku-kuku Haidar. Sekarang, sudah tiga hari kuku-kuku itu belum dipotong.

Maira menggeleng. Ah, apa susahnya dia belajar memotong kuku anaknya sendiri? Tidak ingin larut dalam kesedihan, Maira segera bangkit dari duduknya, lalu pergi setelah membayar es kelapa tadi.

Maira kembali berjalan. Dia melihat beberapa remaja seusianya yang baru turun dari angkutan umum, mengenakan seragam SMA. Hatinya terasa dicubit melihat itu, rasa iri masih bersemayam jika melihat remaja seusianya masih mengenakan seragam sekolah. Sementara dirinya? Luntang-lantung tidak jelas sambil menggendong bayi. Siapa yang akan tertarik padanya? Para pemilik warung makan saja bahkan menolak karena tidak yakin dia bisa bekerja dengan baik. Di saat seperti ini, Maira merasa begitu hina.

Harusnya dia masih mengenakan seragam sekolah. Harusnya dia masih bersikap layaknya anak kecil yang manja pada sang ayah. Harusnya dia masih memiliki sahabat untuk berbagi keluh kesahnya.

"Maira."

Maira tersentak dari lamunannya ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya. Dia menoleh ke belakang, alangkah terkejutnya ketika melihat wajah yang sudah lama sekali tidak dia lihat.

"Maira? Benar kamu Maira?"

Maira hanya bisa mengangguk. Gadis itu mendekat, lalu memeluk Maira dengan erat.

"Binar ...." lirih Maira dalam pelukan sahabat lamanya.

Apa Maira masih pantas memiliki seorang sahabat?

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now