11

66.9K 7.9K 112
                                    

Bangunan tinggi yang baru rampung 50 persen itu dipandangnya datar. Para tukang bekerja dengan keringat membanjiri tubuh, bahan-bahan bangunan berserakan di sana-sini, salah-salah melangkah dia bisa tertancap paku.

Tidak ada pemandangan yang menarik. Andai ayahnya tidak memaksa dengan embel-embel akan membelikan dia kamera baru, sudah pasti cowok berwajah dingin itu tidak akan mau menginjakkan kaki di sini. Mengesalkan!

"Anfal, Ayah pastikan hotel itu akan rampung setelah kamu lulus SMA, dan ini akan menjadi milik kamu," ucap Pak Ilyas sambil membawa Anfal berjalan mengelilingi hotel yang belum jadi itu.

Anfal memutar bola mata malas. Ayahnya ini bagaimana sih? Katanya setelah lulus Anfal harus fokus kuliah, dan sekarang malah diberi hotel, hish!

Jika Pak Ilyas sudah bilang seperti itu, secara tidak langsung dia sedang meminta anaknya agar kelak mau mengelola hotel ini. Dan Anfal harus paham akan hal itu.

"Pa, apa gak berlebihan jika Papa memberi kepercayaan pada aku untuk mengurus hotel ini? Apa gak terlalu cepat?"

Pak Ilyas tersenyum, lalu merangkul bahu Anfal. "Kamu anak yang cerdas, Papa percaya kamu bisa mengelolanya dengan baik." katanya begitu yakin.

Anfal mengangkat satu alisnya menatap Pak Ilyas. "Papa yakin? Kalo aku gagal gimana?" tanya Anfal meragukan dirinya sendiri.

Bukan apa-apa, Anfal kan harus kuliah, sudah pasti banyak tugas. Lalu, dia juga harus mengelola hotel, apa itu tidak berlebihan? Otaknya bisa meledak jika kelebihan muatan. Anfal tidak se-genius itu.

"Makanya belajar dari sekarang, Papa akan bantu kamu."

Lagi, Anfal hanya memutar bola matanya. Terserah ayahnya sajalah, yang penting Anfal punya kamera baru.

"Pak Imran!" Pak Ilyas memanggil salah satu tukang yang sedang sibuk mengaduk semen di depannya.

Pak Imran menghentikan pekerjaannya ketika mendengar namanya dipanggil, dia menunjuk dirinya sendiri menatap Pak Ilyas, memastikan apa benar dia yang dipanggil barusan? Pak Ilyas mengangguk sambil tersenyum, lalu melambaikan tangannya agar Pak Imran menghampiri. Dengan wajah bingung, Pak Imran tetap melangkah menuju ke arah Pak Ilyas. Apa dia membuat kesalahan?

"Iya, Pak Ilyas, ada apa?" tanya Pak Imran ramah.

Anfal membeku berhadapan dengan Pak Imran. Tentu Anfal kenal siapa pria yang mengenakan baju kumal itu, dia pernah beberapa kali melihatnya di depan sekolah menjemput Maira. Anfal juga selalu bertemu dengannya di sini, dan Pak Imran juga sudah mengenal Anfal. Apa dia belum tahu siapa yang menghamili anaknya? Apa dia tidak coba mencari tahu?

Banyak pertanyaan yang berkelebat di benak Anfal saat ini. Tentang bagaimana kabar Maira? Di mana dia sekarang? Entah. Anfal selalu berusaha untuk tidak peduli, tapi semakin dia berusaha lupa, Maira semakin melekat dalam pikirannya. Dan harus Anfal akui, dia benci merasakan hal ini.

"Pak Imran, tolong temani Anfal lihat-lihat bangunan ini ya. Saya harus pergi, masih banyak urusan."

"What?" Anfal memekik tidak habis pikir. Mulai, ayahnya buat ulah lagi. Manusia sibuk itu selalu saja membuatnya kesal! Kalau dia pergi, lalu kenapa dia harus meninggalkan Anfal di sini?!

"Kalo gitu aku ikut."

"Kamu belum lihat-lihat ke atas, ke belakang juga belum. Papa harus pergi, ini urusan penting."

"Tapi—"

Belum sempat Anfal melanjutkan kata-katanya, ayahnya sudah melambaikan tangan dan berlalu pergi, menyisakan dirinya dan Pak Imran yang menatapnya dengan senyum canggung. Anfal menendang kerikil di hadapannya dengan kesal.

"Mari, Bapak temani kamu."

Anfal membuang napas berat, kalo dia pergi dari sini sekarang, ayahnya pasti akan bertanya pada Pak Imran. Bukan tidak mungkin jika dirinya akan gagal dibelikan kamera baru hanya karena meninggalkan tempat tidak menarik ini. Ah, menyebalkan! Mau tidak mau, dia membuntuti langkah Pak Imran.

"Itu mau dibuat apa?" tanya Anfal sambil menunjuk pagar pembatas yang ada di lantai atas.

Suara pukulan pada bangunan di sana-sini membuat telinga Anfal terganggu, Anfal memejamkan matanya merasa risih.

"Balkon. Jika sudah jadi akan langsung disuguhi pemandangan lampu-lampu dari bangunan tinggi di sekitarnya, dari atas sini juga kita bisa lihat kolam renang di bawah sana," jelas Pak Imran.

Anfal hanya mengangguk, sejujurnya dia tidak terlalu peduli dengan penjelasan Pak Imran. Tadi dia bertanya hanya sekedar menghilangkan kesan canggung saja, karena sejak tadi baik dia maupun Pak Imran sama-sama diam.

"Aku mau ke belakang."

Pak Imran mengangguk, lalu membawa Anfal ke belakang. Di belakang tidak terlalu bising, hanya ada beberapa pekerja saja yang sedang memasang keramik pada kolam.

Ada sebuah pohon besar yang di bawahnya terdapat bangku panjang bercat hitam, Pak Imran mengajak Anfal untuk duduk di sana, khawatir jika anak itu kelelahan.

"Ini nantinya akan dijadikan taman, dan Pak Ilyas bilang bahwa pohon ini tidak akan ditebang," ucap Pak Imran sambil mendongak, menatap pohon besar di atasnya.

"Kenapa?"

"Beliau ingin membuat hotel ini terasa lebih sejuk, pohon ini akan dipasang lampion-lampion kecil agar terlihat indah ketika malam hari."

"Oh."

Keduanya kembali saling diam. Sejak tadi Anfal melihat wajah Pak Imran terasa hambar, pasti dia sedang punya masalah. Anfal sudah gatal sekali ingin menanyakan kabar Maira, bukan karena dia peduli, hanya penasaran saja. Ingat itu!

"Pak Imran," panggil Anfal kemudian.

Pak Imran menoleh. "Iya?" tanyanya memandang Anfal.

"Maira pindah sekolah?" tanya Anfal to the poin.

"Nak Anfal kenal Maira? Bukannya Nak Anfal ini sudah kelas dua belas ya?"

Mampus! Harus bagaimana Anfal menjelaskannya sekarang?!

"Err ... kenal aja sih Pak," ucapnya sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Iya. Maira sudah pindah."

Pak Imran hanya menjawab sekenanya, kemudian bangkit berdiri.

"Maaf, sepertinya Bapak harus melanjutkan pekerjaan. Permisi." lanjut Pak Imran, lalu pergi meninggalkan Anfal dengan wajah yang sudah keruh.

Pindah ke mana?

Secara tidak sadar batin Anfal menanyakan hal itu.

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang