34

51.2K 5.5K 364
                                    

"Gue gak menginginkannya. Kalo lo gak mau gugurin, jangan pernah sebut nama gue lagi. Awas aja, kalo sampe ada yang tau kejadian malam itu dan lo masih menyangkut-pautkan nama gue, gue gak akan segan buat bikin hidup lo makin hancur."

Kalimat penuh penekanan itu kembali terngiang di telinga, mencabik hati dan mengacaukan pikiran. Maira ingin melupakan semua kenangan itu, tapi tidak bisa!

Demi Tuhan, barang satu menit pun tidak pernah terlintas dalam benak Maira untuk berharap agar bisa bertemu lelaki itu lagi.

"Mai," panggil Bu Nur.

Bu Nur duduk di samping Maira. Namun, Maira sama sekali tidak menghiraukan. Dia terus memeluk lututnya di sudut balkon, dengan kepala tertunduk. Padahal biasanya, setiap malam Maira duduk di sini untuk mendongakkan kepala memandang jutaan bintang, sambil menghembuskan napas penuh syukur akan keindahan alam yang masih bisa dia nikmati. Maira terlihat sangat kacau, sampai gugusan bintang di langit pun seolah tidak menarik di matanya malam ini.

Bu Nur mengusap pelan pundak Maira. "Ibu tahu, Maira gak baik-baik aja," ucapnya penuh kelembutan.

Sekarang Bu Nur semakin yakin, jika yang mengejar Maira sore tadi bukan hanya teman biasa Maira saat masih bersekolah di Jakarta, karena semakin Bu Nur teliti wajah lelaki itu, dia memang mirip dengan Haidar.

Maira mungkin bisa mengatakan hal itu dengan bilang dirinya baik-baik saja, tapi kenyataannya tidak begitu. Maira selalu membohongi dirinya sendiri, hal itu membuat Bu Nur merasa sedih.

"Lelaki tadi—"

"Tolong Bu ... jangan bahas dia lagi," pinta Maira. "Tolong ...." cicitnya dengan suara yang hampir hilang.

Bu Nur mengangguk, lalu memeluk Maira. Biarlah dugaannya dia pendam sendiri, karena Maira benar-benar tidak mau membahas tentang lelaki itu lagi.

~

Satu bulan berlalu

Sepasang burung Branjangan berkicau di dalam sangkar, sesekali sayap cokelat disertai garis-garis abu-abunya mengepak dengan elok, lalu kembali memakan pakan di dalam wadah yang sudah disediakan sang tuan.

Abbas yang sedang mengenakan sepatu di beranda rumahnya tersenyum melihat rutinitas wajib di pagi hari sang kakek, yaitu memberi makan burung-burung peliharaannya.

"Ayo habiskan," perintah kakek tua yang masih mengenakan peci itu, pada burung-burungnya.

"Udah kekenyangan mereka, Bah." sahut Abbas, lalu terkekeh.

Kakeknya itu suka sekali mengoleksi burung. Ada begitu banyak spesies burung di rumah, mulai dari; Perkutut, Kenari, Nuri, Beo, Lovebird, Gelatik, Pleci, dan masih banyak lagi, yang Abbas sendiri bahkan tidak hafal jenis-jenisnya. Dan burung Branjangan yang tengah diberi pakan itu hanyalah salah satu jenisnya.

Setiap pagi burung-burung itu berkicau riang, saking riangnya sampai mengalahkan suara ayam jago tetangga yang berkokok tiap subuh. Kadang kicauan itu sangat menggangu, tapi karena kicauan itu juga Abbas tidak membutuhkan jam weker. Entah Abbas harus mengeluh atau bersyukur akan hal itu.

Kakek yang sudah berusia 70-tahuan itu berjalan mendekat, duduk di samping cucunya.

"Bujang sudah sarapan?"

Bujang adalah panggilan kepada lelaki yang masih lajang, Kakek Ahmad selalu memanggil Abbas dengan sebutan 'Bujang' begitupun kepada cucu laki-lakinya yang lain.

Abbas menggeleng dengan alis bertaut. Baiklah, Abbas paham Abah-nya ini memang sudah uzur, tapi apakah sudah separah itu? Bah, jangankan sarapan, semalam saja Abbas gak makan karena tidak ada makanan apapun di rumah. Batinnya menggerutu.

Sejak kecil Abbas hanya tinggal bersama kakeknya karena kedua orang tuanya sudah tiada. Abbas tumbuh menjadi anak yang baik dan mandiri karena didikan sang kakek. Meski dia lupa kapan terakhir kali dipeluk kedua orang tuanya, tapi dia tidak pernah berkecil hati akan hal itu, karena kasih sayang dari kakeknya pun sudah lebih dari cukup.

Walau terkadang kesal karena sang kakek yang bicaranya sudah sering ngawur, tapi Abbas tetap sangat menyayanginya. Membuat sang kakek bahagia adalah kebahagiaan terbesar Abbas.

Abbas membuang napas perlahan, lalu tersenyum manis pada kakeknya. Semalam dia juga yang salah karena pulang telat sampai lupa untuk membeli bahan masakan atau membeli makanan, jadilah di dapur tidak ada apa-apa. Beginilah nasib jadi anak yang hidup pas-pasan dan tidak punya orang tua, agak ngenes memang.

"Abah mau Abbas beliin sarapan?" tanya dibalas tanya, itu yang selalu Abbas lakukan jika mendapatkan pertanyaan tidak nyambung dari kakeknya.

"Enggak, Abah buat sendiri saja."

Abbas menggeleng-gelengkan jari telunjuknya di depan wajah sang kakek.

"No! Di dapur gak ada bahan masakan, Abbas beliin aja ya?"

Kakek Ahmad menggeleng. "Enggak perlu, biar Abah beli sendiri, nanti kamu kesiangan," ucapnya.

Abbas akhirnya mengangguk, biarlah kakeknya membeli sarapan sendiri, toh warung makan juga jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.

"Oke, kalo gitu Abbas berangkat," kata Abbas setelah melihat jam hitam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan angka 7 kurang 25 menit.

Ketika Abbas hendak bangkit dari duduknya, Kakek Ahmad malah menahannya agar tetap duduk. Alis Abbas kembali bertaut, ada apa lagi? Abbas patuh, dia tetap duduk dengan wajah penuh kehangatan memandang kakeknya.

"Jangan pulang terlambat, kamu udah janji mau bantu Abah renovasi kamar belakang. Enggak lupa kan, mulai lusa sepupu kamu bakal tinggal di sini?"

Abbas memutar bola matanya, raut hangatnya perlahan sirna jadi wajah malas. Tidak mungkin dia lupa akan hal itu, apalagi sudah diingatkan oleh kakeknya jauh-jauh hari. Jujur, dia tidak begitu excited dengan kedatangan sepupunya yang katanya akan menetap di sini selama kuliah, berarti hampir empat tahun. Haduh! Bukannya Abbas benci pada sepupunya itu, hanya saja Abbas tidak suka pada sikapnya yang dingin dan angkuh.

Abbas ingat, setiap liburan jika dia datang ke sini, dia pasti akan selalu mengeluh dan ingin pulang. Bilang rumah ini kecil lah, tidak nyaman lah, banyak nyamuk lah, dan masih banyak lagi lah-lah lainnya. Membuat Abbas muak mendengarnya.

"Abbas heran deh, kok Anfal mau tinggal di sini? Hotel ayahnya kan di Bandung ada dua, bahkan nih ya, kalo dia minta dibuatin rumah, pasti bakal dibuatin sama Pap—"

"Mamanya Anfal itu kakak dari almarhum Bapak kamu, panggil dia Abang," potong Kakek Ahmad, membuat Abbas langsung mengerucutkan bibirnya sebal.

Abang? Jijik sekali. Selisih usia mereka pun hanya satu tahun, malah Abbas merasa jika dia jauh lebih dewasa dari Anfal. Harusnya Anfal yang memanggilnya Abang.

"Semua ini murni keinginan Anfal. Dia yang minta ingin tinggal di sini."

"What?! Abah se-rius?" tanya Abbas tidak percaya.

Ini kakeknya yang ngawur lagi, atau kepala Anfal baru terbentur? Masa sih, anak metropolitan itu mau tinggal di rumah sederhana ini?

"Anfal mau berubah, makanya kamu bantuin dia. Dia mau belajar hidup sederhana," kata Kakek Ahmad, lalu menepuk pelan bahu Abbas.

Entah Abbas harus percaya atau tidak dengan ucapan kakeknya. Namun, jika ucapan sang kakek adalah benar, maka dia pun dengan senang hati akan membantu sepupunya itu untuk berjalan ke arah yang lebih baik.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now