49

42.1K 4.7K 52
                                    

Seperti ada bagian yang hilang, terasa hampa di hati. Itu yang Abbas rasakan karena sejak pagi tidak melihat Maira. Ketika istirahat tadi Abbas bertanya kepada kedua teman Maira, mereka hanya bilang kalau Maira hari ini tidak masuk. Ke mana sebenarnya? Kenapa perasaan Abbas tidak enak begini?

"Bas, pulang bareng lagi yuk," ajak Elina.

Abbas menggeleng, raut wajahnya terlihat masam. Dia mau menemui Maira pulang nanti.

Elina membuang napas kecewa. Abbas banyak berubah setelah mengenal Maira, dia jadi cuek padanya dan selalu mementingkan Maira lebih dari apapun. Bahkan kemarin saja ketika mengantarkan pulang, di perjalanan Abbas tidak ada bicara padanya sama sekali. Hal itu membuat Elina kesal dan semakin benci pada Maira. Ish! Kenapa sih Maira harus sekolah di sini?! Rasanya Elina ingin menendang cewek itu jauh-jauh agar Abbas tidak bisa menemuinya lagi. Dia tidak tahu, jika tanpa ditendangnya pun Maira memang sudah pergi.

Sesuai niatnya, sepulang sekolah Abbas langsung menjalankan motornya menuju ruko yang dua hari lalu dia kunjungi. Motor itu melaju cepat membelah jalanan yang cukup lenggang, tidak peduli jauhnya jarak yang Abbas tempuh, yang penting dia bisa bertemu dengan Maira.

Setelah sampai di ruko, betapa kecewanya Abbas karena Maira tidak dia lihat di sana, hanya ada seorang pria paruh baya yang tengah sibuk melayani para pembeli. Setelah keadaan cukup sepi, barulah Abbas memberanikan diri bertanya pada pria itu.

"Permisi, Pak."

Pak Harun yang tengah sibuk mengetik di kalkulator langsung menoleh saat mendengar suara Abbas.

"Iya, Dek. Mau beli apa?"

Abbas menggeleng dengan senyuman ramah. "Cuma mau tanya, Maira ada di sini?"

"Oh. Enggak ada, Dek."

"Gak ke sini ya? Boleh saya minta alamat rumahnya?"

"Boleh aja sih, Dek. Tapi kayaknya percuma deh, soalnya di rumah Bu Nur tidak ada siapa-siapa. Mereka sedang pergi."

Abbas mengerutkan alisnya penuh tanya. Pergi? Pergi ke mana?

"Pergi ke mana, Pak?"

"Itu Bapak kurang tahu, yang jelas tadi pagi Bu Nur terlihat sangat sedih, kayak mau pisah sama Maira."

Pisah? Pisah bagiamana? Apa mungkin Maira akan pindah sekolah? Ah, tidak mungkin. Jangan berpikiran macam-macam Abbas, besok Maira pasti akan kembali sekolah. Ya, Abbas harus yakin akan hal itu.

~

Jam lima sore, mobil Bu Nur tiba di pekarangan rumah Pak Imran. Betapa terkejutnya Pak Imran ketika melihat kedatangan Maira, ditambah bayi dalam gendongannya. Seketika itu wajah pucat nya langsung bersinar penuh kebahagiaan. Dia menangis tersedu-sedu dalam pelukan sang anak dan cucunya. Bu Nur yang melihat itu hanya bisa tersenyum haru.

Tadinya Maira berniat ingin pulang naik bus, tentu Bu Nur melarangnya. Hingga akhirnya, dengan pasrah Maira menurut saja ketika Bu Nur ingin ikut mengantarkan bersama Pak Adi yang selalu setia menjadi supir andalan.

Kedatangan Maira sore itu pun menjadi perhatian para tetangga. Mereka menganga lebar melihat Maira bersama bayi itu. Desas desus tidak enak didengar pun mulai menyebar, tapi Maira berusaha tidak menggubris seperti biasa.

Saat ini Maira sedang berada di kamarnya, menidurkan Haidar. Sementara Pak Adi tengah pergi ke warung kopi, tersisa lah Pak Imran dan Bu Nur yang tengah duduk di beranda rumah sambil menunggu salah satunya memulai percakapan.

"Diminum teh nya, Bu. Mohon maaf hanya itu." Memang terdengar basi, tapi sepertinya kalimat itu lebih baik daripada diam saja.

"Tidak apa."

Bu Nur tersenyum, karena merasa tidak enak hati, dia pun perlahan menyeruput teh yang sejak tadi dibiarkan mendingin di atas meja itu.

"Terima kasih karena sudah merawat Maira dan cucu saya," kata Pak Imran. Dia bingung harus mengucapkan apa selain kata terima kasih.

Bu Nur kembali tersenyum, lalu meletakan gelas itu di tempat semula.

"Saya yang harusnya berterima kasih kepada Bapak, karena anak Bapak telah menjadi anak yang begitu baik. Saya sudah menganggap Maira layaknya anak sendiri, saya sudah sangat menyayanginya." Suara Bu Nur hampir hilang pada kalimat terakhirnya, saking sesak dadanya saat ini.

Pak Imran hanya bisa menjadi pendengar. Dia paham apa yang Bu Nur rasakan saat ini. Namun, dia juga tidak akan membiarkan Maira pergi lagi. Sudah cukup tersiksa dirinya yang hidup sendirian selama ini.

Maira hanya bisa mematung di balik pintu mendengar ucapan Bu Nur. Perasaan bersalah itu kembali menggerogoti hatinya. Dia juga merasa berat untuk berpisah dari Bu Nur, tapi dia tidak mau bertemu si bajingan itu lagi.

"Sudah sore, sepertinya saya harus segera pulang."

Mendengar hal itu, Maira segera keluar dan memeluk tubuh Bu Nur ketika Bu Nur sudah bangkit dari duduknya. Bu Nur membalas pelukan itu sambil mengusap kepala Maira dengan lembut. Pak Imran hanya bisa membeku melihatnya.

"Maira jangan pernah lupain Ibu ya? Ibu pasti bakal kangen banget sama kamu, sama Hae ... Ibu—"

"Maira sayang Ibu, Hae sayang Ibu. Kita gak akan mungkin lupain Ibu." sela Maira dengan air mata yang sudah berjatuhan.

"Ibu boleh 'kan ke sini kalo kangen sama kalian?"

Maira mendongak menatap wajah Bu Nur lamat-lamat, lalu tersenyum.

"Kenapa Ibu tanya begitu? Ibu udah tau jawabannya."

Demi Tuhan, perpisahan seperti ini tidak pernah diharapkan oleh Bu Nur. Rasanya tidak siap jauh dari Maira, apa dia bisa bertahan dengan hidupnya yang akan kembali merasakan kesepian?

Bu Nur semakin mengeratkan pelukan Maira, lalu mencium puncak kepala Maira penuh kasih.

"Jagain Ayah kamu ya, Nak. Jangan kecewakan dia lagi." bisik nya lembut di telinga Maira. Maira hanya mampu mengangguk pelan.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now