40

50.9K 4.7K 21
                                    

Brak!

Setelah ditarik paksa, kini tubuh Maira tersungkur ke pojok toilet karena didorong kasar oleh Elina dan kedua sahabatnya.

Maira menatap Elina dengan wajah tidak mengerti. Dia benar-benar tidak tahu apa kesalahannya pada ketiga kakak kelasnya ini, sampai mereka tiba-tiba menarik Maira, dan membawanya ke sini.

"Sar, jaga pintu masuk, pastiin gak ada murid lain yang masuk ke sini." perintah Elina pada salah satu sahabatnya.

Sarah mengangguk patuh, dan segera bergegas menuju pintu depan.

Elina tersenyum sinis pada Maira, gadis itu melangkah dengan teratur mendekati Maira, lalu sedikit membungkukkan badannya ketika sudah berada di hadapan Maira.

"Awh!" Maira meringis saat Elina tiba-tiba menarik kerudungnya ke belakang dengan begitu kasar hingga refleks membuat wajahnya mendongak.

"Lo tau apa kesalahan lo?"

Susah payah Maira menggelengkan kepalanya.

"Berhenti pasang wajah sok polos! Gue muak liatnya!"

"Lin, jangan terlalu keras. Nanti ada orang yang denger." Perempuan dengan rambut tergerai panjang di samping Elina mencoba mengingatkan agar Elina tidak kelepasan, takutnya ada murid lain yang masih di dalam bilik dan mendengar suara Elina.

Elina mengangguk, dan kembali menatap tajam mata Maira. Harus diakui, wajah Maira memang lebih cantik darinya. Wajah itu mulus meski tanpa riasan apapun, sementara dirinya harus mengenakan bedak agak tebal dulu agar terlihat lebih mulus. Rasanya Elina ingin mencakar-cakar wajah Maira, sampai rusak kalau bisa. Tahan Elina, tahan. Ini masih area sekolah.

"Bodoh, apa lo pikir dengan bersikap sok dingin sama Abbas, lo bisa narik perhatian dia?"

Oh, sekarang baru Maira paham apa masalahnya. Rupanya gadis ini cemburu padanya. Rasanya Maira ingin tertawa, untuk apa coba Maira berusaha menarik perhatian Abbas? Malah dia selalu merasa terganggu didekati cowok itu.

"Gak usah sok kecantikan, lo tuh gak level jadi saingan gue."

Maaf, Maira rasa cewek di depannya ini sedang tidak sadar. Kenapa ucapannya aneh sekali? Saingan apa coba?

Tidak mendapatkan respon apapun dari Maira, Elina semakin kesal dibuatnya. Dia benar-benar benci melihat Maira! Kerudung Maira kembali dijambak hingga anak-anak rambutnya terlihat. Namun Maira masih diam saja, dia terlihat seperti boneka saat ini.

Elina seperti orang kesetanan. Dia terus menjambak kerudung Maira sambil mengucapkan sumpah serapah. Dia selalu merasakan gejolak panas tiap melihat wajah Maira, hal itu membuatnya tidak bisa berhenti untuk terus membuat Maira menderita.

"Mana tepungnya, Fan?" tanya Elina kepada Fany, yang sejak tadi hanya mematung di belakangnya.

Plastik tepung yang sejak tadi di pegang oleh Fany, langsung diberikan kepada Elina. Elina tidak berani melukai wajah Maira, karena takut cewek itu akan mengadu ke guru dan berujung Elina akan mendapatkan sanksi. Dia tidak mau! Namanya harus selalu bersih di sekolah ini.

Elina kembali tersenyum sinis sambil mengepalkan tangannya yang sudah menggenggam plastik tepung.

Duar! Plastik itu robek tepat setelah dilemparkan ke wajah Maira, hingga membuat isinya berceceran di wajah Maira.

Elina dan Fany tersenyum puas lalu berusaha menahan tawa ketika melihat wajah Maira yang kini terlihat seperti badut, tidak bisa dikenali akibat tepung itu.

Sementara di kelas Maira, terlihat Anisa dan Sindi sejak tadi terus memandang pintu dengan wajah gelisah, menunggu kedatangan Maira.

Mereka yakin, Maira sudah ada di sekolah karena tasnya ada di kelas, tapi ke mana dia pergi? Bel masuk sebentar lagi berbunyi.

"Sin, kita gak bisa diem terus kayak gini, cari Maira yuk?" ajak Anisa.

Sindi mengangguk cepat, tanpa berpikir panjang keduanya segera berlari meninggalkan kelas.

"Gawat, Lin! Dua teman tuh parasit ke sini!" ucap Sarah dengan wajah panik.

Elina dan Fany yang semula sedang asyik mencaci maki Maira langsung berhenti bicara ketika mendengar arahan dari Sarah, cepat-cepat dua gadis itu pergi meninggalkan Maira.

Sebelum pergi, masih sempat-sempatnya Elina menendang kaki Maira, dan Maira tetap diam.

Maira sudah mati rasa. Menangis dia sudah bosan. Kenapa hari-harinya selalu diwarnai masalah? Kenapa orang-orang selalu menyakiti Maira, padahal Maira tidak pernah mengganggu hidup mereka.

Kenapa semuanya jadi begini? Apa Maira memang tidak pantas untuk sekolah lagi?

Sindi dan Anisa saling beradu tatapan tajam dengan ketiga kakak kelasnya, begitu angkuhnya Elina berjalan hingga menyenggol kasar bahu Sindi. Sindi yang sudah naik pitam, langsung ditarik oleh Anisa memasuki toilet, tidak ingin memiliki urusan dengan ketiga kakak kelasnya itu.

"Maira! Ya ampun!" pekik Sindi ketika melihat kondisi Maira.

Sindi dan Anisa mendekat dengan raut cemas. Anisa berusaha menyingkirkan terigu di wajah Maira menggunakan tisu yang selalu dia bawa di saku seragamnya, sementara Sindi sudah mengepalkan tangannya dengan geram.

"Mai, ini pasti perbuatan Kak Elina 'kan?"

Maira sama sekali tidak ada merespon pertanyaan Sindi. Dia masih duduk dengan posisi yang sama, memeluk kedua lututnya.

"Bener-bener, dia pasti cemburu karena Kak Abbas sering godain kamu."

Maira akhirnya berusaha tersenyum kepada dua temannya, meyakinkan mereka jika dirinya baik-baik saja.

"Mai, hati kamu terbuat dari apa sih? Kok masih bisa senyum di situasi kayak gini?" tanya Anisa sambil merapikan kerudung Maira. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, tidak habis pikir dengan sikap Maira yang terlihat sangat tegar.

Di luar Maira mungkin bisa terlihat tegar, tapi tidak ada yang tahu 'kan bagaimana isi hati cewek itu selain Tuhan?

Maira rapuh, Maira tidak sekuat apa yang orang-orang lihat.

Harusnya dari awal aku gak perlu lanjut sekolah. Aku cuma perempuan bodoh. Aku sudah mempermalukan keluarga. Aku gak punya harapan lagi untuk membuat ayah bangga. Sadar Maira sadar! Kamu sudah punya anak, tidak seharusnya kamu ada di sini! Kamu gak pantas ada di sini. Kamu gak pantas.

To be continue~

Di Usia 16(Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt