24

65.7K 7K 125
                                    

Pipi halus yang kemerahan nan lucu ditatapnya lembut, lalu dikecup. Sambil tertawa, Maira tidak ada lelahnya berceloteh di depan Haidar.

Haidar, bayi yang baru berusia tiga Minggu itu hanya menatap wajah sang ibu dengan berkedap-kedip pelan, sesekali ikut tertawa ketika mendengar tawa ibunya, seolah mengerti apa yang dibicarakan sang ibu.

"Assalamu'alaikum."

Maira memandang ke arah pintu, dia tersenyum ketika melihat kedatangan Bu Nur.

"Waalaikumsalam," jawab Maira, kemudian mencium tangan Bu Nur.

Bu Nur duduk di samping Maira, lalu mengambil Haidar untuk dipangkunya. Dengan gemas Bu Nur mengecup kedua pipi tembam Haidar. Maira hanya terkekeh melihatnya.

"Hae udah mimi cucu?" tanya Bu Nur pada Haidar.

Hae adalah nama panggilan kesayangan dari Bu Nur untuk Haidar, tapi kini tidak hanya Bu Nur yang menggunakannya, Maira pun begitu. Karena setiap kali Bu Nur memanggil nama Hae, Haidar pasti akan tersenyum, sepertinya dia menyukai nama itu.

Haidar anak yang begitu baik. Sejak dari dalam kandungan hingga kini sudah lahir ke dunia, dia jarang sekali menyusahkan Maira. Haidar jarang menangis, malah dia sering sekali tersenyum dan tertawa. Meski tawanya tidak bersuara, tapi selalu berhasil menghangatkan hati Maira.

"Sudah, Nenek," jawab Maira.

"Ibu kok baru pulang sore? Rukonya rame ya?" tanya Maira sambil membenarkan posisi duduknya, bersandar ke bahu sofa.

Maira masih lemah, dia tidak diperbolehkan banyak beraktivitas. Jadi, setiap hari dia hanya bisa diam di dalam rumah bersama Haidar. Sebenarnya dia ingin sekali membantu Bu Nur di ruko, karena dia sudah bosan mengurung diri di rumah. Namun, Bu Nur selalu melarangnya.

"Iya, Mai. Kasihan Pak Harun dan Pak Adi, selalu keteteran kalo gak ada Ibu."

Maira memandang Bu Nur dengan rasa bersalah. Bu Nur jarang ke ruko karena sibuk mengurus dirinya, lagi-lagi dia selalu saja merepotkan Bu Nur.

"Maafin Maira ya, Maira selalu ngerepotin Ibu."

"Lho, Maira bicara apa ini? Siapa yang ngerepotin Ibu, Nak?"

"Maira udah sehat kok Bu, besok Maira boleh ya bantu Ibu?"

Bu Nur menggeleng. "Sehat gimana? Kamu masih lemah, Mai. Sudah, jangan terlalu dipikirin masalah ruko. Gak setiap hari rame juga, kok."

Maira hanya diam. Bu Nur kembali bermain dengan Haidar, tubuh mungil berbalut bedong berwarna biru muda itu diusap penuh kehangatan. Semua rasa lelah hilang seketika jika dia sudah bertemu Haidar, senyum manis Haidar selalu berhasil menghipnotisnya.

Ketika pertama kali melihat wajah Haidar, mulut Bu Nur sampai menganga tidak mampu berkata-kata. Anak laki-laki itu memiliki rambut yang lebat, juga pahatan wajah yang nyaris mendekati sempurna. Kulitnya putih, hidungnya bangir, bibir mungil. Hanya mata berkilau penuh kehangatan dan pipi kemerahan saja yang mirip dengan Maira, selebihnya Bu Nur tidak bisa menemukan. Bu Nur yakin, ayah dari Haidar pasti memiliki wajah yang rupawan. Entah dia masih muda atau sudah dewasa, Bu Nur tidak tahu karena Maira tidak pernah menceritakan tentang lelaki itu padanya.

"Hae benar-benar tampan," gumam Bu Nur.

Anak selucu ini, harus tidak memiliki ayah. Lelaki itu pasti akan sangat menyesali perbuatannya kepada Maira, Bu Nur yakin akan hal itu.

"Mai," panggil Bu Nur, pandangannya kini beralih menatap Maira yang sejak tadi diam saja.

"Boleh Ibu tanya sesuatu?"

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang