47

46K 4.8K 99
                                    

Sejak pagi Maira tidak menemukan Abbas. Biasanya, lelaki itu selalu datang tiba-tiba lalu menyapanya. Apakah Abbas menghindarinya? Mungkin saja. Maira yakin, Abbas pasti sudah sangat jijik padanya. Siapa lah Maira ini, hanya perempuan berwajah sok polos, yang nyatanya berlumur dosa.

Baru saja dipikirkan, ternyata lelaki itu sedang berjalan ke arahnya. Sekarang Maira gelisah. Kira-kira dia harus bersikap seperti apa?

Abbas kian dekat, Maira merasa jantungnya hampir copot saat cowok itu tersenyum. Apa? Abbas masih tersenyum padanya? Jadi, dia tidak menghindari Maira?

"Hai, Elina!"

Jleb!

Menyesal. Sungguh Maira sangat menyesal karena dengan bodohnya dia malah tersenyum pada Abbas, merasa begitu pede jika barusan Abbas senyum padanya. Maira menoleh ke belakang ketika Abbas sudah melewatinya begitu saja, terlihat cowok itu kini tengah berbincang hangat dengan Elina. Rupanya, sejak tadi Abbas tersenyum pada Elina, yang berjalan di belakang Maira.

"Katanya mau pulang bareng," ucap Abbas, diam-diam mencuri pandang ke arah Maira yang masih berdiri di tempat.

Maaf Maira, bukan maksud Abbas untuk menjauh. Hanya saja, Abbas memang harus membiasakan diri. Tidak pantas rasanya jika Abbas masih berteman dengan calon istri sepupunya.

"Iya. Maaf ya, tadi aku ke toilet dulu." ujar Elina. Gadis itu memandang Maira dengan senyuman sinis, senang rasanya melihat Maira tak diacuhkan oleh Abbas.

Maira kembali melanjutkan perjalanannya. Entah kenapa dia merasa tidak rela melihat Abbas dekat begitu dengan gadis lain, dan bersikap seolah tidak kenal padanya. Sudahlah Maira, untuk apa terlalu dipikirkan, bukannya ini yang kamu mau?

Sementara itu di halte depan sekolah, Anfal sudah berada di sana sejak satu jam lalu, menunggu Maira. Beruntung hari ini hanya ada satu mata kuliah di kelasnya, jadi dia bisa pulang cepat. Dia bahkan tidak sempat mengganti pakaiannya karena takut Maira keburu pulang.

Saat para murid sudah berhamburan keluar, Anfal bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke pinggir gerbang. Dia amat takut Maira tidak ditemukan. Anfal celingukan mencari perempuan itu. Dan ya, kehadiran Anfal sukses membuat para siswi memekik kegirangan. Mereka menatap Anfal penuh puja, sambil sesekali berbisik pada temannya. Ingin mendekati, tapi takut ada yang punya. Akhirnya, yang bisa mereka lakukan hanya tersenyum sok manis pada Anfal. Namun, Anfal sama sekali tidak menghiraukan, yang dia inginkan hanya kehadiran Maira.

Seperti baru melihat sekarung berlian, mata Anfal langsung berbinar saat menemukan perempuan yang sejak tadi ditunggunya akhirnya ada di depan mata.

"Maira!"

Kontras dengan Anfal, Maira justru malah langsung ketakutan dan berlari menuju mobil, berusaha melarikan diri dari lelaki itu. Dalam hati dia bertanya-tanya, dari mana Anfal tahu jika dia sekolah di sini? Kenapa coba dia harus ada di sini?

"Mai, tunggu, kita perlu bicara." tahan Anfal, masih mengejar Maira.

Maira hendak masuk ketika Pak Adi sudah membukakan pintu untuknya. Namun, buru-buru Anfal menahannya dengan menutup kembali pintu mobil itu sebelum Maira sempat masuk. Maira menatap mata cowok itu penuh kebencian.

"Aku mohon Mai, kasih aku kesempatan untuk bicara."

Aku? Ke mana perginya gue-lo? Apalagi sih yang perlu dibicarakan? Bukankah semuanya sudah jelas? Sejak awal dia tidak pernah menginginkan Maira, jadi kenapa coba dia harus begini sekarang?

Lama Maira termenung dengan perasaan yang sulit diartikan, sampai dia tidak sadar jika ada orang yang memperhatikannya sejak tadi. Abbas, dari jauh cowok itu memperhatikannya, tidak peduli meski Elina terus memaksanya agar segera pergi. Berat Abbas rasa untuk membiarkan mereka bicara berdua, tapi sekali lagi Abbas tersadar, jika ini bukan urusannya. Akhirnya, Abbas pergi juga dari tempat itu, dengan harapan masalah Maira dan Anfal segera usai.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now