35

54.6K 5.2K 125
                                    

"'Abassa wa tawallaaa," Fajar mulai bersabda, menyindir sahabatnya yang sejak tadi terus memasang wajah masam.

Arqam; cowok yang duduk di meja belakang Fajar, yang sejak tadi sibuk menyalin tugas bersama Fajar, langsung terkekeh mendengarnya.

"Artinya?" tanya Arqam, ikut memancing.

"Dia berwajah masam dan berpaling," jawab Fajar dengan nada yang dibuat sangat dramatis disertai ekspresi menyebalkan.

"Berisik kalian! Nyontek ya nyontek aja, gak usah banyak omong!" ketus Abbas.

Ish! Kalau bukan sahabat sudah Abbas lempar kedua cowok itu ke parit belakang sekolah! Abbas melamun karena memikirkan Anfal yang akan tinggal di rumah kakeknya, jujur dia belum bisa mempercayai jika anak itu mau berubah. Pikirannya jadi keruh memikirkan semua itu.

Arqam kembali terkekeh, sementara Fajar malah mengenye-ngenye dengan tangan yang begitu sibuk menyalin jawaban milik Abbas pada buku tugasnya, tidak takut sama sekali dengan ancaman sang sahabat.

Fajar dan Arqam memang kedua sahabat laknat, sudah dikasih nyontek, masih menyebalkan. Tidak bisa apa mereka itu fokus saja menulis? Sudah untung mereka punya sahabat se-dermawan Abbas yang selalu membantu meringankan tugas-tugasnya. Banyak lah mengucapkan terima kasih, bukan malah memancing emosi.

"Galak banget maneh, Bas. Kunaon sih?" tanya Arqam dengan wajah bingung.

Abbas pagi ini memang terlihat lain, tidak banyak bicara dan berwajah masam, pantas jika Fajar menyindirnya. Selalu nya, dia itu tidak bisa diam dan mudah tertawa, kenapa sebenarnya? Dia punya masalah kah?

"Tau tuh, muka asem kayak gitu. Gak enak diliat," ujar Fajar begitu ringan.

Kesal, Abbas menampol kepala Fajar menggunakan pulpen yang sejak tadi digigitnya hingga Fajar mengaduh kesakitan.

Fajar menepis tangan Abbas dengan ekspresi jijik. "Bas! Jijik, tuh pulpen bekas lu gigit!" kesalnya.

Arqam terus tertawa melihatnya. Namun, tangan cowok itu masih fokus menyalin angka-angka yang tidak dipahaminya karena takut keburu guru datang. Tangannya yang bergerak sangat cepat membuat tulisannya sangat buruk dan tidak bisa dipahami oleh orang normal, tapi Arqam tidak peduli, yang penting dia sudah mengerjakan Pr-nya agar tidak mendapatkan hukuman.

Abbas terus mencoba memukul kepala Fajar, dan Fajar terus berusaha menyingkirkan pulpen itu. Namun, perkelahian tidak jelas mereka langsung terhenti kala Abbas tanpa sengaja melihat Maira dari balik kaca jendela. Cowok itu langsung melemparkan pulpennya ke meja, dan berlari keluar kelas. Teriakkan Fajar dan Arqam sama sekali tidak dipedulikan.

"Hai, Maira!" sapa Abbas yang kini sudah ada di hadapan Maira.

Maira mengeluh pelan. Sepagi ini dia harus bertemu Abbas, rasanya sangat menyebalkan.

Abbas terus mengembangkan senyuman termanisnya. "Mau ke mana?" tanya Abbas begitu ingin tahu.

Wajah masamnya langsung sirna berganti jadi amat manis jika sudah berhadapan dengan Maira. Abbas tidak mengerti dengan dirinya, yang selalu merasa senang dan ingin terus tersenyum tiap kali berhadapan dengan Maira. Kenapa sebenarnya?

Sudah satu bulan lebih Abbas mengenal Maira, tapi sikap Maira masih sama seperti pertama bertemu. Pesona Abbas tidak berhasil mengikatnya kah?

"Harusnya kamu tanya, 'dari mana?'" balas Maira tanpa memandang cowok itu.

Apa Abbas tidak melihat buku-buku dalam pelukan Maira? Ish, kalau bukan karena disuruh gurunya untuk mengambil buku di ruangannya, Maira tidak akan mau, karena dia tahu jalan ke ruangan guru itu harus melewati area kelas XII. Padahal, saat berangkat tadi mati-matian Maira berusaha agar tidak bertemu Abbas, tapi kenapa sekarang malah bertemu?

Abbas terkekeh mendengar ucapan Maira, lalu berdeham.

"Oke aku tanya, dari mana?"

Maira mencebikkan bibirnya. "Kenapa masih pake nanya, gak liat aku bawa apa?" tanyanya dongkol.

Sekarang Abbas setuju, jika cowok memang selalu salah di mata cewek. Namun, Abbas sama sekali tidak kesal dengan sikap dingin Maira. Dia malah senang.

"Oh, dari ruangan guru ya? Mau aku bantuin?"

"Enggak perlu." tolak Maira cepat. Buku yang dia bawa pun tidak begitu banyak, jadi dia memang tidak memerlukan bantuan.

Ketika Maira kembali melangkah, dengan cepat Abbas menghadangnya. Abbas belum puas menggoda Maira, rasanya dia belum rela jika Maira meninggalkannya begitu saja.

Maira berdecak kesal. Kenapa sih cowok ini selalu bikin ulah padanya? Salah dia apa coba?

"Kenapa kita gak berteman aja, biar aku gak gangguin kamu lagi," ucap Abbas.

Cowok itu selalu berusaha agar bisa berteman baik dengan Maira, tapi sayangnya Maira tidak pernah mau. Jangankan berteman, bicara dengannya saja Maira selalu terlihat enggan. Awalnya Abbas berpikir jika Maira membencinya, tapi setelah tahu jika Maira bersikap dingin kepada semua cowok yang mendekatinya, dia malah semakin merasa tertantang untuk bisa menjadi teman Maira.

Abbas ingin tahu alasan dibalik sikap dingin Maira. Abbas ingin mengenal cewek itu lebih jauh, karena Abbas percaya, jika Maira adalah cewek yang baik.

"Abbas, masuk kelas! Jangan nge-gombal terus!" teriak seorang guru yang sudah berdiri di depan kelas Abbas.

Pria yang mengenakan kemeja batik itu menggelengkan kepalanya dengan raut kesal melihat tingkah aneh salah satu muridnya. Lebih kesalnya lagi, itu murid kesayangannya. Tidak biasanya Abbas masih di luaran kelas jika bel masuk sudah berbunyi, dan sedang apa coba anak itu?

Maira buru-buru mengambil langkah seribu meninggalkan Abbas. Abbas ingin mengejar, tapi tidak mungkin karena guru sudah datang. Akhirnya, cowok itu hanya bisa memamerkan senyuman lebar kepada gurunya dan masuk kembali ke dalam kelas.

Tunggu Maira, kita lihat seberapa lama kamu bisa bersikap begitu.

Abbas harus berusaha ekstra untuk mendekati Maira. Maira harus menjadi temannya, titik.

Di Usia 16(Terbit)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz