25

65K 6.9K 705
                                    

Gang kecil nan sepi di depan sana dipandangnya dengan tatapan sulit diartikan, dari balik pintu mobil yang kacanya sedikit terbuka.

"Mai, Ibu temani kamu ya?"

Maira memutar kepalanya menghadap Bu Nur, lalu menggeleng pelan sambil mengulas senyum kecil.

"Gak perlu, Bu. Ini udah malam, dingin. Kasihan Haidar," kata Maira, memandang anaknya yang sedang terlelap dalam pangkuan Bu Nur.

Bu Nur menatap Maira tidak yakin. Dia ingin sekali menemani Maira menemui ayahnya, tapi setelah sampai di Jakarta, Maira justru malah memintanya untuk menunggu di dalam mobil, dengan alasan sudah malam dan takut Haidar kenapa-kenapa.

"Maira janji, setelah Maira ambil berkas-berkas itu, Maira akan langsung pulang. Gak apa kan Ibu nunggu di sini?"

"Gak apa sih, cuma Mai, ayah kamu kan juga berhak untuk bertemu dengan cucunya."

Maira kembali memandang jalanan yang lenggang itu. Hatinya gamang. Dia ingin mempertemukan Haidar dengan Pak Imran, tapi dia takut Pak Imran enggan melihat wajah cucunya. Maira sadar akan dosanya, dia tidak yakin jika ayahnya sudah benar-benar memaafkannya.

"Maira rasa, sekarang bukan waktu yang tepat."

Kemudian Maira melirik jam di tangannya, sudah lewat jam sepuluh malam, pantas saja gang depan rumahnya ini amat sepi. Baguslah, jadi dia tidak perlu takut bertemu dengan para tetangga, karena mereka pasti sudah masuk ke rumah masing-masing.

"Maira pamit dulu ya, paling lambat setengah jam Maira kembali, janji," ucap Maira sambil menggenggam tangan Bu Nur.

Bu Nur tersenyum. "Hati-hati." katanya, ringkas saja.

Maira mengangguk, lalu membuka pintu mobil itu dan melangkah memasuki gang kecil menuju rumahnya.

Jalanan sepi itu disusuri dengan perasaan waswas. Jantung Maira berdegup begitu kencang, seperti habis mengikuti lomba maraton. Raut gelisah kentara sekali terlihat di wajahnya. Dia rindu ayahnya, sangat. Namun, tidak tahu harus bagaimana ketika berhadapan dengan ayahnya nanti.

Setelah tiga menit berlalu, akhirnya Maira sampai di depan rumahnya. Tidak banyak yang berubah dari rumah kecil itu, kecuali cat tembok berwarna biru yang kian kusam dan rumput-rumput liar yang tumbuh di depan pagar kayu. Apa ayahnya tidak menyadari hal itu? Maira tahu sekali jika ayahnya sangat suka berkebun, tapi kenapa halaman rumah ini terlihat seperti tidak terawat?

Tok tok tok

Pintu itu diketuk dengan ragu, pelan saja suaranya. Antara takut ada tetangga yang mendengar, dan belum siap bertemu sang pemilik rumah.

"Assalamu'alaikum," ucap Maira sambil melirik jendela yang tirai nya sedikit terbuka.

Maira yakin, ayahnya ada di dalam, tapi kenapa beliau tidak kunjung membukakan pintu? Apa tidurnya begitu nyenyak? Atau, dia enggan bertemu Maira?

Tidak lama kemudian terdengar suara batuk-batuk di dalam, dan pintu akhirnya di buka perlahan.

"Ma-maira?"

Pak Imran melebarkan bola matanya ketika melihat sosok perempuan berhijab hitam berdiri di hadapannya. Maira pun begitu, lama dia mengamati wajah ayahnya. Badan itu terlihat kurus, uban di rambut hitamnya kian banyak, pipinya juga agak cekung, kantung matanya besar, dan suaranya serak.

Dada Maira sesak melihat perubahan ayahnya, tanpa ragu dia memeluk tubuh ayahnya se-erat mungkin, meleburkan segala kerinduan yang sudah lama hanya dia pendam sendiri. Maira terisak-isak dalam dekapan hangat ayahnya.

"Ma-ira kangen a-ayah ...." ucapnya susah payah.

Pak Imran mengeratkan pelukan itu. Lega sekali hatinya karena akhirnya hal yang sudah lama selalu dia nantikan terkabul juga.

Di Usia 16(Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang