13

65.6K 7.6K 225
                                    

"Cepat masuk!" perintah Pak Imran sambil mendorong-dorong pelan tubuh Maira agar segera masuk ke dalam, setelahnya dia segera mengunci pintu, takut ada tetangga yang melihat.

"Sudah Ayah bilang, biar Ayah yang belikan obatnya, kamu tunggu saja di rumah. Lihat sendiri kan, ada orang yang mengenali kamu, kalo Anfal bicara pada teman-temannya bagaimana?" tanya Pak Imran geram.

Jika saja Maira tidak memaksa ingin ke rumah sakit dengan alasan perutnya keram, sudah pasti hal ini tidak akan terjadi. Masih untung ini sudah jam sepuluh malam, jadi para tetangga tidak ada yang di luar rumah.

Maira menggeleng, tidak mungkin Anfal mengatakan apa yang dia lihat pada teman-temannya, karena itu sama saja dengan dia melemparkan diri sendiri ke tengah laut.

"Enggak Ayah, dia gak akan bilang sama siapa-siapa."

"Tau dari mana kamu?"

Karena dia ayah dari anakku. Tidak! Anakku tidak membutuhkan ayah seperti dia! Bajingan! Brengsek! Aku benci kamu Anfal!!!

Mata Maira mulai terasa panas, begitupun hatinya. Bagi Maira, Anfal adalah lelaki paling kejam yang pernah dia kenal. Menyukai Anfal adalah rasa sesal terbesar yang tidak akan pernah ingin dia ulangi.

"Maaf Ayah, Maira mau istirahat."

Maira berlari memasuki kamarnya, mengunci pintunya rapat-rapat. Dia menangis sejadi-jadinya dengan wajah yang ditenggelamkan ke bantal, agar ayahnya tidak mendengar.

Kenapa Tuhan, kenapa Maira harus dipertemukan lagi dengan Anfal? Maafkan Maira, yang sudah menanamkan rasa benci teramat sangat pada lelaki itu. Sungguh Maira tidak ingin melihat apalagi mendengar suaranya. Dia hanya lelaki bajingan yang bisanya memberi rasa sakit. Tolong Tuhan, jangan pertemukan lagi Maira dengannya.

Setelah puas menangis hingga matanya sembap, Maira perlahan menunduk, mengusap perut buncitnya.

"Anak Mama, maaf Mama nangis lagi malam ini. Mama baik-baik aja kok, kamu jangan ikut sedih di dalam sana ya," bisik Maira lembut.

Semakin hari, dia semakin menyayangi anaknya. Meski belum lahir, tapi dia bisa merasakan kehangatan setiap kali berbicara dengannya. Anaknya sungguh baik, tidak pernah meminta apa-apa, tidak pernah juga menyusahkan nya.

Kehilangan buah hatinya adalah ketakutan terbesar Maira. Menjadi ibu di usia 16 tahun memang dalam benaknya dulu terasa menakutkan, tapi kini tidak lagi. Maira sudah siap, dia adalah kekuatan Maira, cahaya Maira. Maira yakin hidupnya akan baik-baik saja selama dia selalu ada di sampingnya.

"Sayang, kalo kamu sudah lahir dan mulai belajar berbicara, tolong jangan pernah sebut kata 'Ayah' ya? Sebab kamu anak Mama."

Satu tendangan berhasil Maira dapatkan dari dalam perutnya. Maira mengernyit ketika merasakan perutnya sedikit sakit, tapi kemudian dia terkekeh. Anaknya bereaksi, dia pasti mengatakan 'iya' di dalam sana.

"Kamu semakin aktif, i love you."

Kamu anak Mama, kamu cuma anak Mama. Dia tidak punya hak sedikitpun atas kamu.

~

"Sudah berapa bulan?" tanya Tante Hanum bernada sinis, tatapannya tajam ke arah perut besar Maira.

Maira tidak berani menatap mata Tante Hanum. Tatapannya yang tajam, ditambah celak hitam di bawah mata dan gincu semerah darah, semakin menambah kesan seram pada wajah Tante Hanum.

"Enam." jawab Maira masih menunduk, tangannya yang sudah berkeringat dingin sejak tadi terus meremas ujung bajunya.

"Memalukan. Tante tuh bener-bener kecewa tau gak? Tampilan saja seperti anak baik, tapi hamil di luar nikah. Kamu sudah memalukan keluarga, Maira. Lihat Ayah kamu, gak kasihan kamu sama dia? Dia banting tulang kerja dari pagi sampe malem cuma buat kamu! Apa yang kamu balas? Ini kah? Ini balasan kamu?!" tengking wanita itu.

Di sampingnya sang suami sudah mengusap bahunya berusaha menenangkan, tapi Tante Hanum begitu tersulut emosi. Dia sangat marah mengetahui berita ini, dan bertambah marah karena baru tahu setelah perut Maira sudah besar.

Maira sudah terisak, dia hanya bisa terus menunduk dengan dada sesak.

"Lihat sekarang, kamu hamil dan tidak punya suami. Bagaimana nasib anak itu kelak? Dia pasti akan jadi cemoohan, cemoohan Maira! Orang-orang akan memanggilnya anak haram-"

"Dia bukan anak haram!" potong Maira lantang. Maira akhirnya mengangkat wajah, menatap mata Tantenya dengan tajam.

Enggak! Dia bukan anak haram, dia anak ku. Dia punya orang tua, dia punya aku!

"Berani mengelak? Sekarang kamu bisa mengelak karena anak itu belum lahir. Lihat saja, Tante gak yakin kamu bisa membesarkan anak itu," cela Tante Hanum.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." Ketiganya menoleh ke arah pintu melihat kehadiran Pak Imran.

"Eh, sudah datang?"

Tante Hanum tersenyum lebar, kemudian bangkit untuk menyalami kakaknya, diikuti sang suami. Sementara Maira masih tetap pada posisinya, kepalanya ditundukkan begitu dalam agar sang ayah tidak menyadari jika dia sedang menangis.

"Mas Imran mandi saja dulu, gak apa kok," ucap Tante Hanum menahan Pak Imran yang hendak duduk bersama mereka.

Pak Imran hanya mengangguk tanpa memperhatikan anaknya, lalu meninggalkan mereka menuju kamarnya.

Tante Hanum kembali duduk, melirik Maira dengan decakan kesal. "Lihat Maira, lihat! Rambut ayah kamu sudah mulai ditumbuhi uban, sudah saatnya dia berhenti kerja dan menikmati hidup, tapi apa yang kamu balas? Apa, hah?!" geramnya.

Ish! Rasanya sungguh kesal melihat wajah Maira. Tidak tahu diri sekali, sudah tahu hidup susah, malah menambah susah! Benar-benar beban keluarga. Jika saja Pak Imran belum pulang, sudah Tante Hanum jambak rambut panjang anak itu agar kesal di hatinya bisa lebur.

Maira menyesal, sangat. Namun tolong, jangan mengungkit hal itu karena dia juga tahu. Sekarang semuanya sudah terjadi, menyesal setengah matipun tidak akan bisa merubah keadaan. Ini adalah nasib yang harus diterimanya.

"Maaf, Maira belum salat isya," Maira bangkit dari duduknya. Dia baru ingat belum salat isya setelah melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan.

"Dosa sudah sebesar gunung Semeru, masih saja bersikap sok alim," cibir Tante Hanum sambil memutar bola matanya.

"Hanum, sudah!" suaminya akhirnya membuka suara, membuat Tante Hanum langsung bungkam.

Maira meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang sudah hancur.

Jangan nangis bodoh! Ini karma atas dosa-dosa kamu. Sudah sepantasnya kamu menerima hinaan orang-orang.

Di Usia 16(Terbit)Where stories live. Discover now