33

52K 6K 231
                                    

Kenapa aku harus bertemu lagi dengan bajingan itu? Kenapa?!

Maira terus berlari meski napasnya sudah terengah-engah. Dia tidak mau melihat lelaki itu, dia tidak mau! Namun sayangnya, lelaki itu malah terus mengejarnya. Karena langkahnya lebih lebar, akhirnya Maira tidak bisa lagi melarikan diri.

"Mai, berhenti. Gue mohon!"

Maira tidak punya pilihan lagi, dia menghentikan langkahnya di bawah pohon rindang yang cukup sepi.

Anfal mendekat perlahan. Napas lelaki itu masih teratur dengan baik, bahkan tidak terlihat sedikitpun keringat yang keluar dari pelipisnya.

Where have you been hiding?

Anfal masih tidak percaya jika gadis yang ada di hadapannya ini adalah Maira. Ternyata, Tuhan masih memberi Anfal kesempatan untuk bertemu lagi dengan dia.

Maira memeluk Haidar begitu erat, lalu memberanikan diri menatap mata jernih Anfal. Tatapannya masih sama seperti dulu, hanya kebencian yang terpancar.

"Dia anak—"

"Ini anakku! Hanya anakku!" jerit Maira.

Haidar tersentak ketika mendengar jeritan ibunya, bayi itu pun menangis karena kaget. Cepat-cepat Maira berusaha menenangkan dengan menepuk-nepuk pelan punggungnya, lalu menciumnya.

Anfal membeku melihat semua ini. Pertanyaan dibenaknya kian bercabang. Kenapa Maira bisa ada di sini? Kenapa Maira mengenakan seragam sekolah? Hanya kenapa, kenapa, dan kenapa. Sebab semuanya terlalu merumitkan.

"Semuanya udah selesai. Aku bahagia dengan kehidupan baru ini. Dan kamu pun pasti sudah bahagia bukan?" tanya Maira dengan senyum sinis.

Anfal tidak tahu harus memulai dari mana. Semuanya terlalu mengejutkan. Dia belum menyiapkan kata apapun, dia takut salah bicara. Dia sadar jika dirinya ini sudah sangat berdosa pada Maira. Namun, dia masih merasa segan untuk meminta maaf. Toh, apa dengan meminta maaf, semuanya akan kembali baik-baik saja? Tidak kan? Anfal sangat yakin, melihat dari tatapan Maira pun dia sudah tahu, jika Maira sudah sangat membencinya.

Wajar. Sangat wajar jika dia dibenci oleh Maira. Mengingat kesalahan-kesalahan fatalnya di masa lalu, dia pun pasti akan melakukan hal yang sama jika ada di posisi Maira.

Andai saja Maira tahu, selama ini Anfal tersiksa. Anfal sudah berusaha mati-matian melupakannya, tapi selalu berujung gagal. Penyesalan itu selalu menghantui Anfal, jika saja waktu bisa berputar sedikit ke belakang, Anfal pasti akan lebih memilih hidup susah tapi tidak lari dari tanggung jawab. Daripada hidup bergelimang harta, tapi hatinya selalu terasa sesak oleh penyesalan.

"Mai—"

"Anggap aku dan kamu tidak pernah saling mengenal."

Maira bahkan tidak memberi ruang untuk Anfal berbicara. Perempuan itu sudah kembali berlari dengan air mata yang bercucuran, dan kali ini Anfal hanya terdiam kaku membiarkannya pergi.

Ucapan Maira terasa sangat menyakitkan, menembus ke ulu hatinya dengan begitu tajam. Demi apapun, Anfal tidak rela jika dirinya dan Maira harus bersikap layaknya orang asing. Padahal dulu, dia yang menginginkan hal itu. Kenapa Anfal sebenarnya?

Mungkinkah Anfal sudah jatuh cinta pada Maira? Atau mungkin, sejak dulu dia memang sudah mencintai cewek itu. Hanya saja, egonya terlalu tinggi untuk menyadarinya. Entahlah, Anfal benar-benar dibuat pusing jika harus terlibat dalam urusan perasaan.

~

Jakarta

Adji terus memicingkan matanya menatap Anfal, sementara Anfal sama sekali tidak peduli. Anfal hanya sibuk mengendarai mobilnya dengan pandangan lurus ke depan, di mana barisan kendaraan melaju dengan kecepatan lambat karena jalanan yang macet.

Di Usia 16(Terbit)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora