Bab Dua

369 58 2
                                    

Happy reading ♡︎

***

"Wangi parfumnya terlalu menyengat. Strong banget sampai bikin hidung sakit dan penyebarannya enggak merata. So far, menurut saya lebih enak parfum Purple Secret, dari segi wangi dan botolnya itu bagus."

"Dulu sebelum tahu parfum Purple Secret, gue langganan banget di sini. Sekarang, mah, ogah. Mending punya sebelah, lebih murah lebih wangi juga. Tolong buat pihak manajemennya dievaluasi, awal muncul enak banget tapi makin ke sini kok kualitasnya jadi menurun ya?"

"Satu sampai seratus, gue kasih nilai tiga puluh buat parfumnya yang paling baru. Agak lebih manusiawi diterima sama hidung."

Galiena menghela napas membaca ulasan-ulasan yang disampaikan oleh konsumen pada salah satu platform kecantikan di toko resminya. Walau tidak semua ulasan yang diberikan negatif, tetap saja hal itu berhasil mengusik pikiran Galiena.

Sebab parfum yang mendapat banyak kritikan tersebut adalah produk pertamanya setelah resmi mengelola perusahaan.

"Galie," panggil Gabriella lembut—sang ibunda yang masih tampak cantik dan bersinar itu—sembari melangkah mendekati anaknya yang duduk sendirian di taman.

Galiena buru-buru mematikan layar tablet. Ia tersenyum hangat. "Kenapa, Ma?"

"Kamu kenapa di sini? Anginnya lagi kenceng, lho."

"Lagi pengin aja, Ma. Bentar lagi Galie juga masuk, kok."

Gabriella mendudukkan diri sebelum berucap, "Ada masalah di kantor?"

"Enggak ada, kok, Ma."

Meski sudah tahu permasalahan yang tengah dihadapi anak semata wayangnya dari Diego, Gabriella tetap bertingkah seakan dia tidak tahu apa pun. Gabriella menunjuk segelas kopi di meja. "Bukti kamu lagi mikirin sesuatu. Mau cerita?"

Galiena tertawa pelan. Ia baru sadar ada gelas berisikan es kopi susu yang sudah tidak dingin lagi, bahkan sepertinya rasa pun telah hambar karena tercampur es yang mencair. Melihat putri tercantiknya tersenyum dengan mata sendu, Gabriella pun menghela napas pelan hingga membuat Galiena menyengir.

Hubungan mereka yang terlalu akrab membuat Gabriella dapat membacanya dengan mudah. Awalnya, Galiena ragu untuk bercerita kepada Gabriella karena ia tahu beban yang dipikul ibunya sudah banyak. Namun mendapat tatapan meneduhkan dari ibunya, perlahan bibir Galiena bergerak bercerita.

"Kalau kamu perlu bantuan, kita bisa cari Psikolog, Gal. Gimana?" usul Gabriella dengan nada yang menyiratkan kekhawatiran.

Sudah beberapa tahun belakangan ini Gabriella selalu membujuk Galiena agar mau bertemu dengan Psikolog. Bahkan Gabriella telah menjadwalkan temu janji bersama salah satu Psikolog terkenal dan terbaik yang direkomendasikan oleh teman sosialitanya.

Tapi, Galiena menolak keras dengan alasan ia tidak sakit dan tidak butuh. Padahal Galiena mengalami kesakitan karena luka masa lalunya tersebut.

"Galie udah sempat konsultasi online sama psikolog, Ma. Galie bisa, kok. Mama enggak usah khawatir."

Gabriella terkejut, bagaimana bisa anaknya yang dulu bersikeras tidak ingin ke Psikolog mendadak mengabarkan sudah konsultasi? Ah, apakah karena medianya online bukan offline dan itu membuat Galiena lebih nyaman?

"Terus apa kata Psikolog-nya?"

Galiena mencari aplikasi Ti Amo lalu membuka ruang obrolannya dengan Psikolog tadi dan memberikannya kepada Gabriella. Gabriella membaca seluruh pesan tersebut dengan serius sebelum sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya. Dia mengangkat kepalan tangannya ke udara. "Semangat, Anak Mama! Kamu pasti bisa."

Scent of LoveWhere stories live. Discover now