Bab Tiga Puluh Satu

185 33 12
                                    

Happy reading❤️

Sebelum kembali ke perusahaan, Galiena berkeinginan mengubah penampilannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum kembali ke perusahaan, Galiena berkeinginan mengubah penampilannya. Ia berharap dengan penampilan baru, maka ia akan lebih siap untuk menyambut lembaran baru. Sudah cukup selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang masa lalu menyakitkan.

Ia harus yakin. Kini, ia tidak sendirian lagi. Ia memiliki orang-orang yang sungguh menyayanginya.

"Udah mutusin mau dipotong kayak gimana, Kak?" tanya salah satu pegawai salon yang kedapatan mengurus Galiena.

Galiena mengangguk. Ia meletakkan tangannya di bahu kemudian berucap, "Segini, Kak."

Bukan hanya pegawai tersebut saja yang melongo terkejut, melainkan Gabriella juga. Pasalnya, saat ini panjang rambut Galiena sudah hampir menyentuh pinggang. "Kamu yakin mau potong segitu?"

"Kenapa, Ma? Bakalan aneh, ya?" tanya Galiena balik. Ia spontan menatap pantulan wajahnya di cermin.

"Enggak. Bukan gitu. Cuma apa enggak kebanyakan? Kamu enggak sayang?"

Galiena menggeleng. "Enggak papa, Ma. Semisal nanti kependekan, rambutnya kan bisa tumbuh lagi. Sesekali, ganti tampilan yang bener-bener beda."

"Oke, kalau itu mau kamu. Tapi, habis itu jangan ribut sama mama minta balikin rambut, ya. Cukup dulu pas kecil," ujar Gabriella memperingati sebab perempuan tersebut teringat masa kecil Galiena.

Dahulu, Gabriella sangat gemas melihat anak kecil dengan rambut sebahu. Karena itu, Gabriella diam-diam meminta pegawai salon memotong rambut Galiena sebahu. Berujung, Galiena menangis meminta agar rambutnya dikembalikan.

Mereka menghabiskan waktu sebanyak dua jam di salon. Setelah dari salon, keduanya melangkah menuju salah satu store pakaian di mal. Menurut Gabriella, tidak akan cukup andaikan hanya memotong rambut. Jika memang ingin benar-benar tampil berbeda, Galiena juga harus mengenakan pakaian, tas, serta sandal baru.

Awalnya Galiena menolak, tapi ia tidak bisa menang melawan ibunya yang begitu keras kepala. Di store, Gabriella secara terus-menerus memberikan potongan pakaian yang dirasa cocok digunakan Galiena. Saking banyaknya, Galiena sampai kewalahan mencoba. Padahal yang ia butuhkan satu setel saja, tetapi ia harus mencoba hingga belasan setel.

Dan hal yang paling membuat Galiena tercengang setelah ia mencoba semua pakaian itu adalah Gabriella membelikan semuanya. Perlu ia tekankan semuanya. Jika tahu akan begini, mengapa ia harus repot mencobanya satu per satu?

"Oke, sekarang kita ke mana dulu? Sandal atau tas?"

"Ma, gimana kalau kita istirahat makan sebentar?" tanya Galiena. Ia sungguh lelah, ia tidak terbiasa berbelanja. Bahkan jika ia diberikan kesempatan memilih antara bekerja dan berbelanja, sepertinya ia akan memilih bekerja. Bekerja cukup duduk anteng, sedangkan berbelanja sangat melelahkan. Berjalan kesana-kemari.

"Kita pilih sandal dulu baru makan. Deal?"

Tanpa memberikan waktu untuk Galiena protes, Gabriella segera menarik sang anak menuju store sandal. Senyumnya merekah melihat ada banyak sandal cantik. Dia yakin sandal-sandal itu akan sangat menarik saat dipakai di kaki Galiena.

"Kira-kira besok kamu mau pakai yang kayak gimana?"

"Mau heels, wedges, atau flat shoes?" tanya Gabriella lagi.

Galiena mengedarkan pandangan ke sekitar, menerka-nerka sandal mana yang sekiranya paling murah. Sebab Gabriella sudah terlalu banyak mengeluarkan uang.

"Kayaknya ada tali belakang gini cantik, deh, di kaki kamu," ujar Gabriella seraya mengambil sandal yang dimaksud.

Gabriella manggut-manggut. Heels putih bertali belakang pasti sangat cantik dipadukan pantsuit peach yang mereka beli. "Ini aja gimana?"

Sama halnya saat di store pakaian, Gabriella bertanya tetapi kemudian ibunya menjawab sendiri. Sehingga Galiena mengangguk saja, mengiyakan pilihan Gabriella.

Setelah Gabriella membayar, Galiena mengambil alih kantong belanjaan tersebut. Seketika bulu kuduknya merinding melihat kantong belanjaan yang ia genggam. Banyak sekali. Sepertinya ia tidak akan berbelanja dalam waktu yang lama.

"Asik, udah lama mama enggak beli sebanyak ini. Mau mama bantuin bawa?" tanya Gabriella.

Galiena menggeleng. "Galie aja, Ma, yang bawa. Tapi, sekarang kita pergi makan dulu. Tadi mama udah bilang, ya, habis dari sandal kita ke tempat makan."

"Iya, Sayangku. Kamu mau makan apa?" Gabriella menjawil hidung Galiena gemas.

Sembari melangkah menuju tempat makan, Gabriella menyinggung pertemuan Galiena bersama Diego, Luna, dan Luisa kemarin. Dia meminta Galiena bercerita apa saja yang mereka bicarakan hingga tidak sadar waktu sudah larut malam.

Tahu ibunya sedang penasaran setengah mati, Galiena pun memberitahunya. Luna dan Luisa yang senang melihat keadaannya. Mereka yang akhir-akhir ini lembur karena tidak ada Galiena, khususnya Diego. Juga Diego yang berpenampilan seperti zombie.

Terakhir, ada satu hal yang begitu diingat di memorinya.

"Bu Galie harus tahu. Hari ini Pak Diego sama investor-investor rapat, kan. Terus Bu Amanda sama Pak Diego itu taruhan."

Mendengar itu, Diego sontak menyenggol Luna. Meminta Luna agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada Galiena. Diego tidak ingin Galiena merasa bersalah atau terbebani yang berujung memaksakan diri untuk bekerja.

"Taruhan apa?" tanya Galiena.

"Enggak ada, Bu. Seperti perkataan saya tadi, di rapat mereka menuntut agar kita menekan kontrak dengan Lula dan Alankar. Itu saja."

"Dia bohong, Bu. Bu Amanda enggak percaya kalau keadaan Bu Galie udah membaik. Karenanya, Pak Diego refleks menyebut Bu Galie akan kembali ke kantor dalam waktu dekat. Eh, Bu Amanda malah nantangin Pak Diego."

Amanda. Galiena tidak tahu pasti apa yang menyebabkan Amanda begitu jengkel padanya. Ia tidak pernah melakukan satu pun kesalahan pada Amanda. Akan tetapi, Amanda selalu saja bersikap sensitif.

"Kayaknya kita harus pulang sekarang, Bu. Udah kemalaman." Diego berupaya mengalihkan topik.

"Kata Bu Amanda, apa yang bakalan dipertaruhkan sama Pak Diego seumpama Bu Galie tetap enggak masuk."

Galiena menaikturunkan kedua alis.

"Pak Diego bilang dia bersedia mengundurkan diri."

"Kamu seriusan? Apa karena itu kamu bersikukuh mau masuk kantor?" tanya Gabriella setelah Galiena selesai bercerita.

"Termasuk salah satu alasan Galie kembali iya. Dan Galie juga ngerasa bersalah, Ma, kalau Galie terus-terusan libur. Kasihan anak-anak kerjanya jadi dua kali lipat."

Gabriella mengusap puncak kepala Galiena. "Tapi kamu tahu, bukan, kesehatan kamu itu prioritas kami? Kamu enggak perlu memaksakan diri, Sayang. Kalau memang belum sanggup dan kamu takut Diego jadi wajib mengundurkan diri, mama bisa urus bagian itu. Bu Amanda, ya?"

"Masuk ke kantor adalah kemauan Galie sendiri, kok, Ma. Mama enggak usah khawatir. Galie pasti baik-baik aja. Galie janji." Sekalipun Galie sakit, Galie bakalan coba tahan karena Galie enggak mau ngerepotin siapa-siapa lagi.

"Bener? Bukan terpaksa karena Diego, ya?" Gabriella memastikan sekali lagi.

Galiena mengangguk.

"Oke. Setelah dilihat-lihat, berarti papa hebat juga. Bisa rekrut Diego yang seluar biasa itu. Diego bener-bener harus diacungi jempol sepuluh. Udah peduli, setia lagi. Kurang apa dia?"

***

Kayaknya jempol sepuluh pun masih kurang buat Diego, ya gak🤣

Scent of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang