Bab Lima Puluh Lima

185 33 28
                                    

Kemarin ada yang bilang pengin lihat Blake-Lula. Here we go, happy reading❤️

 Here we go, happy reading❤️

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Alankar cemas bukan main. Semua pesan yang dia kirim ke Galiena sampai detik ini belum dibaca. Galiena seakan menjauhinya setelah acara makan malam mereka. Apakah dia tidak sengaja melakukan kesalahan sehingga Galiena merasa risih dan tidak mau bertemu dengannya lagi?

Alankar menjambak rambut frustrasi. Sebenarnya, apa yang terjadi? Dia kebingungan setengah mati. Tidak mungkin dia tiba-tiba datang ke NALA semata-mata untuk bertanya kepada Galiena tentang kesalahannya, bukan?

Ah, Lula. Dia bisa bertanya melalui teman baiknya itu.

Alankar Jethro
Lul

Alankar Jethro
Lo di mana?

Lula
Di rumah, kenapa?

Alankar Jethro
Oke, gue otw

Alankar tidak menunggu persetujuan Lula, dia langsung menyambar kunci mobilnya bergegas menuju rumah Lula. Padahal, Lula sempat membalas agar mereka bertemu di lain hari sebab Lula tidak sendirian, melainkan bersama kekasihnya.

Berhubung Alankar sangat kebelet bertemu Lula guna menanyakan Galiena, jarak yang seharusnya ditempuh dalam waktu satu setengah jam berhasil disulap menjadi lima puluh menit. Sesampainya di rumah Lula, Alankar menggedor keras pintu utama ibarat rentenir yang marah karena sang pemilik rumah tak kunjung membayar utang.

Betapa terkejutnya Alankar saat orang yang muncul di balik pintu adalah Blake. Dia mengerjap berulang kali memastikan dia tidak salah lihat. Bagaimana bisa Blake yang dia tahu sebagai fotografer NALA ada di rumah Lula? Lula belum memberitahu Alankar perihal hubungan mereka.

"Blake?"

Blake mendengkus tidak suka. Awalnya, dia memang menghargai dan menyukai Alankar. Tetapi, semuanya berubah ketika dia tahu Alankar menusuk atasannya. "Ngapain ke sini?"

"Loh? Harusnya gue yang nanya kenapa lo di sini? Ini rumah temen gue." Mengingat dia sudah tidak bekerja di NALA, Alankar tidak segan menggunakan kata ganti akrab. Demikian Blake.

"Lula enggak cerita?"

"Huh?"

"Gue sama Lula jadian."

"APA?" pekik Alankar heboh membuat Lula datang tergopoh-gopoh ke pintu utama.

"Astaga, Kar. Gue kan udah bilang kalau kita ketemunya lain hari."

Alankar menggeleng, masih tidak bisa mempercayai ucapan Blake sebelumnya. Lula-Blake jadian dan dia sama sekali tidak tahu persoalan itu? Dia mendelik tajam. "Lo pacaran, tapi lo enggak kasih tahu gue?"

"Memangnya kenapa dia harus laporan sa—"

Lula membekap mulut Blake kemudian tersenyum tidak enak. "Sorry, Kar. Sebenarnya gue mau cerita dari lama, tapi gue tahu lo lagi sibuk banget siapin usaha Geprek Dahsyat. Makanya gue sungkan cerita."

Blake melepaskan tangan Lula secara lembut. "Kamu enggak salah, kenapa minta maaf coba? Itu kan hak kamu mau cerita atau enggak."

Lula menatap galak Blake, seakan memperingati kekasihnya supaya menutup mulutnya rapat.

"Lo ke sini pasti mau bahas sesuatu, kan? Masuk dulu, Kar. Gue buatin teh."

Ketiganya pun melangkah ke ruang tamu. Sedangkan Lula menyeduh teh, Blake dan Alankar melayangkan tatapan tajam satu sama lain. Blake sangat keberatan Lula tetap berteman dengan Alankar setelah perbuatan tidak pantas Alankar.

"Bola mata kalian bisa copot kalau kalian terus-terusan kayak gitu," ucap Lula seraya meletakkan tiga gelas teh di meja.

Alankar mendengkus. "Gue mau cerita, Lul. Tapi, apa dia harus di sini?"

Sejujurnya Alankar tidak mempunyai dendam pribadi pada Blake, hanya saja sikap pertama yang ditunjukkan Blake terlalu menyebalkan.

"Gue enggak bakalan ninggalin Lula sendirian. Siapa yang tahu lo mau ngapain?"

Lula memijat pelipis lelah. Dia sudah tahu akhirnya akan begini. Itu sebabnya dia meminta Alankar menemuinya di lain hari. "Sorry, Kar. Tapi, gue rasa enggak masalah Blake di sini. Dia enggak mulut ember, kok."

Seandainya saja Alankar tidak terdesak, dia pasti memilih menundanya. Dengan berat hati, Alankar bertanya, "Lo dua hari ini ada ke NALA?"

"Uhm? Enggak, sih. Kenapa?"

"Tapi, lo tahu kabar Bu Galie? Sejak makan malam bareng, chat gue enggak dibalas. Gue berusaha ingat apa yang gue lakuin, cuma gue tetap enggak ketemu kesalahan gue."

"Makan malam bareng?" tanya Blake.

"Gue enggak ngomong sama lo," ketus Alankar.

"Iya, mereka sempat makan bareng," ucap Lula lalu mengalihkan pandangannya dari Blake, "Lo yakin lo enggak ngomong sesuatu yang mengarah ke privacy? Atau apa gitu? Gue enggak dengar kabar apa pun, sih."

"Hei, Pak Diego! Tumben sendirian. Mana ratunya? Kok enggak dikawal?" goda Blake sembari mengerling jahil.

Meski sedikit lelah karena dia harus mengatur ulang jadwal Galiena, Diego tetap menyunggingkan senyuman. "Hei, Blake! Ah itu, Bu Galie di rumah sakit. Nanti malam saya kawalnya, haha."

Mata Blake spontan membeliak. "Loh? Kenapa Bu Bos Cantik di rumah sakit? Sakit apa?"

"Alerginya Bu Galie kambuh. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Bu Gabriella, Bu Galie memaksakan diri untuk makan udang dan cumi. Berselang dua jam setelah makan, Bu Galie sesak napas berujung pingsan."

Blake memelototi Alankar. "Jangan bilang lo yang buat Bu Galie makan udang sama cumi?!"

"Kenapa, Blake? Kamu tahu sesuatu?"

"Jawab gue, Alankar!" sentak Blake.

Lantaran Alankar tidak tahu dia telah berbuat kesalahan, dia menyolot, "Iya. Emang gue kasih makanan itu ke Bu Galie. Bu Galie bilang enak, kok. Kenapa? Cemburu lo?"

Blake sungguh tidak mengerti alasan Lula betah berteman dengan Alankar. Sudah salah, masih berani berbicara kasar. Tidak tahu diri. "Lo mau tahu kenapa Bu Galie enggak balas chat lo?"

Selain Alankar, Lula juga penasaran. Dia memandang lekat sang kekasih.

"Lo udah buat dia berakhir di rumah sakit. Ngapain juga dia harus ladeni lo? Seharusnya lo sadar, Kar. Setelah apa yang lo lakuin ke dia—lo nyebarin video itu, bertingkah selayaknya lo orang tanpa dosa, lo sok-sok promosiin parfum NALA, terus ternyata lo dalangnya, lo udah bikin dia hancur—dan lo masih bisa ngajak dia makan bareng?"

"Parahnya lagi, lo minta dia makan sesuatu yang jelas-jelas dia enggak bisa!"

Alankar bergeming. Galiena di rumah sakit?

"Iya, gue emang bukan siapa-siapanya Bu Galie. Gue juga mungkin enggak pantas, ya, buat ngomong gini. Tapi, gue tetap ngomong karena Bu Galie itu terlalu baik buat lo jahatin."

Syok akan kata-kata tajam tersebut, tanpa berpamitan Alankar lantas beranjak dari sana. Dia berjalan lunglai ke mobil. Perkataan Blake terus terngiang di kepalanya. Blake benar. Sepertinya dia terlalu tidak tahu diri.

Dia tidak pantas mengajak Galiena makan bersama. Dia tidak pantas tetap menjalin komunikasi dengan Galiena. Mau sekeras apa dia berusaha menebusnya, dia tidak bisa menghilangkan bukti jika dia pernah menyakiti Galiena sedalam-dalamnya.

Dan entah kenapa, dada Alankar terasa nyeri ketika memikirkan semua itu.

***

Hayo loh🤣

Omong-omong aku ada ngajuin pertanyaan di wall aku, mungkin di antara kalian ada yang mau menyuarakan pendapat. See u next week❤️

Scent of LoveWhere stories live. Discover now