Bab Tiga Puluh

181 32 7
                                    

Happy reading, semoga part ini bisa menghibur kalian setelah melalui hari Senin yang cukup panjang🥰❤️

Meski sudah satu setengah jam lamanya mereka duduk menikmati camilan beserta kopi, Lula masih sungkan untuk membahas inti permasalahan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Meski sudah satu setengah jam lamanya mereka duduk menikmati camilan beserta kopi, Lula masih sungkan untuk membahas inti permasalahan. Dia khawatir Alankar tersinggung. Namun dia rasa semakin dia mengulur waktu, maka dia akan semakin gelisah. Sehingga, dia memutuskan berdeham agar perhatian Alankar terpusat padanya.

"Lankar," panggil Lula berusaha selembut mungkin.

Alankar menaikkan sebelah alis kebingungan terhadap sikap Lula yang tergolong aneh. Selama ini, Lula selalu blak-blakan. Lantas, mengapa hari ini Lula berbeda? Seketika ucapan Nylah terngiang di kepalanya. Dia menggeleng. Tidak mungkin Lula menyimpan perasaan untuknya. Itu konyol. Mereka sudah berteman bertahun-tahun lamanya.

Tetapi, bagaimana jika hal itu terbukti benar? Apa yang harus dia lakukan? Menolak dengan alasan klasik—berkata Lula terlalu baik untuknya? Dia menggeleng lagi. Persahabatan mereka bisa rusak seumpama dia menolak Lula.

"Lo oke? Kenapa geleng-geleng kepala terus?" tanya Lula mengerutkan kening.

Alankar menarik napas panjang. Tidak bisa begini. Dia harus terlebih dahulu menegaskan hubungan mereka sebelum Lula menyatakan perasaan. "Lul."

"Iya?"

Alankar mengetuk ujung sepatunya berulang kali. "Gue ... minta maaf. Tapi, gue bener-bener enggak bisa."

"Hah?"

"Gue sayang sama lo, Lul. Tapi, rasa sayang gue sebatas teman."

"Lo ngomong apaan, deh, Kar?"

"Lo ngajak gue ketemuan tanpa anak-anak lain karena lo mau nyatain perasaan lo, kan?"

Mata Lula membeliak sempurna. Bahkan saking terkejutnya Lula, Lula refleks berdiri dan memukul meja. "Lo gila? Siapa juga yang mau nyatain perasaan?!"

Semburat rona merah lantas menghiasi pipi Alankar. Siapa pun tolong bunuh Alankar detik ini juga. Dia sungguh malu sebab kini seluruh pasang mata mengarah pada mereka. Buru-buru, dia menarik Lula agar kembali duduk. "Jadi, lo bukan mau nyatain perasaan?"

"Lo—"

Alankar segera menahan tangan Lula yang hendak memukul meja lagi. "Oke-oke, gue ngerti. Jadi, berhenti mukul meja. Apa lo enggak sadar semua orang lihat ke sini?"

"Ya, habisan lo. Bikin gue kaget setengah mati."

Alankar menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Daripada gue salah paham lagi, mending lo jelasin tujuan lo ajak ketemu apa."

"Lo nyembunyiin sesuatu dari kita, kan?" Tidak mau Alankar berpikir macam-macam kesekian kalinya, Lula langsung berbicara pada inti masalah.

"Sesuatu apa dan siapa yang lo maksud dengan kita?"

Scent of LoveWhere stories live. Discover now