Bab Tiga Puluh Tiga

174 29 13
                                    

Happy reading❤️

"Lo yakin tetap mau tanda tangan kontrak sama NALA? Lo tahu, kan, semisal ke depannya ada masalah atau apa gitu yang merugikan mereka, lo bakalan kena denda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo yakin tetap mau tanda tangan kontrak sama NALA? Lo tahu, kan, semisal ke depannya ada masalah atau apa gitu yang merugikan mereka, lo bakalan kena denda. Dan pastinya dendanya itu enggak main-main, Kar."

Saat ini, Lula dan Alankar berada di parkiran NALA. Kemarin mereka dihubungi oleh NALA. Mereka dinyatakan terpilih sebagai brand ambassador NALA dan diminta meluangkan waktu untuk menandatangani kontrak kerja sama. Lula yang sangat menyukai perusahaan tersebut lantas girang bukan main. Sedangkan Alankar campur aduk.

Di satu sisi, dia senang karena dengan begitu dia dapat melunasi utang serta membuktikan kepada Nylah bahwa dia sekeren itu. Dia juga dapat membelikan Nylah banyak barang mewah. Akan tetapi di sisi lain, Alankar takut suatu saat nanti semua orang akan mengetahui dia adalah dalangnya, yang berujung dia harus membayar denda sesuai kontrak.

Alankar menghela napas dalam lalu melepas sabuk pengaman. "Yakin. Ayo, kita turun. Lo mau kita dicap tukang ngaret di hari pertama?"

Lula menggeleng sebelum mengikuti Alankar yang sudah terlebih dahulu keluar mobil. Jantungnya berdegup sangat kencang. Dia tidak menyangka impiannya tercapai. Walau sudah pernah menginjakkan kaki di gedung berlantai tiga puluh lima ini, Lula masih terpesona.

Mereka dituntun oleh Luna menuju ruang rapat di mana Galiena dan Diego sudah menunggu. Setibanya, Lula sontak membungkukkan badan sejenak memberi hormat kepada Galiena. Menyadari Alankar tidak melakukan hal yang sama, Lula menginjak kaki pria itu.

"Aw," ringis Alankar.

Galiena tersenyum sopan kemudian mempersilakan Lula dan Alankar duduk di seberangnya. Sementara Lula dan Alankar menarik kursi hendak duduk, Diego meletakkan dua buah map di meja.

"Kalian bisa terlebih dahulu membaca kontraknya. Jika ada yang kurang sesuai atau kurang jelas, kami persilakan untuk bertanya," jelas Diego.

Alankar mengangguk santai seolah membaca kontrak dengan perusahaan besar sudah biasa dilakukannya. Matanya membulat antusias kala membaca gajinya per bulan. Seingatnya, kemarin NALA menjanjikan gaji sebesar tiga puluh lima juta. Mengapa sekarang tiba-tiba berubah jadi empat puluh lima juta? Apa dia salah membaca?

Guna memastikan sekali lagi, Alankar mengucek matanya. Gila, beneran empat puluh lima juta, dong.

"Untuk bagian gajinya, apakah ada kesalahan ketik, Bu, Pak?" tanya Lula.

Galiena menggeleng. "Tidak ada kesalahan, Lula. Di bagian gaji, memang sengaja ditambahkan sepuluh juta dari yang dijanjikan. Itu untuk mengapresiasi ketulusan serta kerja keras kalian. Berkat kalian, NALA berhasil melewati keadaan terpuruk."

"Eh?" spontan Lula.

"Bagaimana? Apa jumlah gajinya masih kurang?"

Alankar dan Lula serempak menggeleng. Gaji mereka sudah sangat cukup. Bahkan, mereka rasa itu terlalu besar untuk mereka. Secara, mereka bukanlah influencer yang memiliki jumlah pengikut hingga puluhan juta.

"Jika sudah tidak ada yang perlu dipertanyakan, mungkin Lula dan Alankar bisa langsung menandatangani kontraknya, ya," ujar Diego.

Selagi Alankar menandatangani kontrak tanpa berpikir ulang sebab terlalu terhipnotis oleh angka yang ditawarkan, Lula memegang pulpen dengan gemetar. Dia masih tidak bisa mempercayai bahwa ini nyata. Semua terlalu mendadak.

Lula mendongak. "Bu, Pak."

"Iya?" tanya Galiena dan Diego bersamaan.

"Ini bukan prank, kan?"

Pertanyaan polos yang dilontarkan Lula sontak mengundang tawa Galiena dan Diego.

"Bukan, Lula. Maka dari itu, mungkin kamu bisa segera menandatanganinya," jawab Galiena.

Lula manggut-manggut mengerti lalu bersiap menandatangani berkas tersebut, tapi tidak sampai sedetik kepalanya kembali menengadah. Kali ini, dia menoleh pada Alankar. "Kar."

"Apa?" tanya Alankar.

"Gue masih enggak yakin ini nyata, takutnya gue cuma mimpi. Cubit gue, dong," pinta Lula membuat Alankar mendengkus jengkel.

Tidak tanggung-tanggung, Alankar mencubit pipi Lula cukup keras hingga perempuan tersebut mengaduh kesakitan.

"Sakit, kan? Makanya cepet tanda tangan," sungut Alankar.

Galiena dan Diego yang sudah mengetahui keduanya berteman dekat hanya bisa tersenyum memaklumi.

Lula mencebikkan bibir sebal. Alankar sungguh merusak momen manis dalam hidupnya. Lula menatap kolom tanda tangan tersebut lumayan lama sebelum menggerakkan pulpen.

"Terima kasih dan kami ucapkan selamat bergabung di NALA. Untuk jadwal ke depannya, akan segera dihubungi oleh Diego melalui email ataupun whatsapp. Rapat hari ini cukup sekian." Galiena menutupi rapat tersebut lalu berdiri. Ia terlebih dahulu mengulurkan tangan kepada Lula.

Saat Galiena hendak berjabat tangan dengan Alankar, Lula memanggilnya.

"Iya?"

"Saya boleh tanya sesuatu?"

"Boleh, silakan."

"Apakah NALA sudah memiliki rancangan parfum terbaru?"

Seraya tersenyum, Galiena menjawab, "Berhubung masih ada pekerjaan yang harus saya lakukan karena kebetulan saya izin selama seminggu, saya belum sempat memikirkan rancangan produk terbaru. Tapi, saya pastikan dalam waktu dekat, akan ada produk baru yang dirilis. Ada apa, Lula?"

Saya izin selama seminggu. Empat kata tersebut berhasil mengusik Alankar. Dia jelas mengetahui penyebab Galiena harus beristirahat. Yang tak lain adalah dirinya sendiri.

"Ehm ... sebenarnya kemarin saat saya susah tidur, saya kepikiran sesuatu. Saya rasa ide ini bisa digunakan untuk konsep parfum terbaru NALA. Apa memungkinkan jika kita bahas idenya sekarang? Atau setelah rapat ini, Bu Galie sudah memiliki agenda?"

"Sekarang banget?" Alankar terkejut.

"Kenapa? Emangnya lo ada kesibukan?" Lula masih sedikit sensitif terhadap Alankar mengingat Alankar sengaja mencubitnya begitu keras.

Mengabaikan keduanya yang tengah berselisih, Galiena menoleh pada Diego. "Kayaknya setelah ini saya tidak memiliki agenda yang penting, bukan?"

Diego mengangguk. Dia sengaja mengatur jadwal Galiena lebih santai karena tidak ingin Galiena stress yang berujung memperburuk keadaan Galiena. "Tidak ada, sih, Bu. Bu Galie mau membahasnya hari ini?"

"Kalau memang senggang, kenapa tidak? Tapi mungkin agar lebih santai, kita bisa membahasnya di cafetaria. Bagaimana?" tawar Galiena membuat Alankar dan Lula berhenti berkelahi.

Lula mengangguk setuju. "Boleh, Bu. Kebetulan saya pengin sekali mencoba makanan cafetaria NALA. Karena yang saya dengar dari Kak Luisa makanan di sini sangat enak."

"Kamu kenal Luisa?" tanya Galiena.

"Ah, kamu sepupu Luisa, ya? Beberapa hari lalu sepertinya Luisa sempat bercerita jika dia memiliki sepupu yang ingin sekali bekerja di NALA," tambah Diego.

"Iya, hehe."

Selama perjalanan dari ruang rapat ke cafetaria, hanya Alankar yang tidak menimpali pembicaraan ketiganya. Alankar sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Dia tidak berhasil mengusir empat kata yang sebelumnya diucapkan Galiena. Dia merasa bersalah memikirkan Galiena yang kesusahan selama seminggu terakhir.

Dan seketika dia juga merasa tidak pantas berada di antara mereka. Dia tidak berhak diperlakukan sebaik ini oleh Galiena, bukan?

***

Percaya gak kalian kalau kubilang Alankar mulai baik🤭

Scent of LoveWhere stories live. Discover now