Bab Sepuluh

237 33 9
                                    

Happy reading❤️

Berpikir segelas kopi manis bisa membantu meringankan pikiran, Galiena pun beranjak dari ruangannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Berpikir segelas kopi manis bisa membantu meringankan pikiran, Galiena pun beranjak dari ruangannya. Ia juga berniat menawari Diego sebab ia yakin Diego pasti merasakan hal yang sama dengannya. Tapi, ia harus mengurungkan niat tersebut begitu menemukan sosok Diego yang tertidur pulas di balik meja.

Galiena melangkah tanpa suara menuju meja Diego. Secuil perasaan bersalah lantas menyelusup ke dalam dada Galiena. Sepertinya, ia terlalu banyak memberikan Diego pekerjaan hingga sekretarisnya yang perfeksionis itu tidak sengaja tertidur di jam bekerja.

Tidak ingin mengganggu tidur Diego, Galiena segera bergerak menjauh dari sana.

"Bu Galie? Kenapa repot turun sendiri ke sini? Pak Diego lagi ada tugas keluarkah?" tanya Airis—sang barista.

Galiena tersenyum. "Enggak repot, kok. Sekalian saya nanti mau ke bagian pemasaran buat lihat mereka packing parfumnya. Oh iya, tolong ice affogatonya dua, ya, Ris."

"Satunya buat Pak Diego, ya?"

"Iya."

"Oke ditunggu sebentar, Bu."

Mengingat yang memesan minuman tersebut adalah atasannya, Airis membuatnya dengan sangat hati-hati. Satu hal yang selalu Airis tekankan kala membuat kopi untuk Galiena, yakni kopi milik Galiena harus manis.

Hingga detik ini, Airis masih belum bisa melupakan kejadian tahun lalu. Saat itu, Airis berstatus sebagai barista baru di NALA. Dia yang baru saja kembali dari toilet tidak sengaja melihat Galiena yang tampak kelelahan. Dia pun berinisiatif memberi kopi guna menyemangati sang atasan.

Namun, siapa yang sangka Galiena berujung berlari ke toilet memuntahkan kopi yang dia buat—segelas espresso dingin. Dia juga masih ingat Diego hendak memarahinya, tapi ditahan oleh Galiena.

"Ini, Bu." Airis berucap sembari memberikan dua gelas kopi tersebut kepada Galiena.

"Terima kasih, Ris."

Usai membayar, Galiena pergi ke lantai tempat tim pemasaran berada. Ia akan terlebih dahulu memeriksa pekerjaan mereka sebelum memberikan kopi kepada Diego. Betapa terkejutnya Galiena kala mendapati sosok Diego di koridor.

"Diego?" Panggilan Galiena tersebut sontak menghentikan Diego yang hendak melangkah menuju ruangan pemasaran.

"Bu Galie?"

"Dari kapan kamu di sini? Bukannya kamu lagi tidur?"

Mata Diego sontak membesar mendengar pertanyaan Galiena. Dengan kelabakan, dia menjawab, "Ma-maaf, Bu. Saya enggak bermaksud tidur di tengah jam bekerja. Saya ...."

"Saya enggak berniat memarahi kamu, Diego," sela Galiena membuat Diego mengerjapkan matanya berulang kali.

"Saya sadar saya terlalu banyak memberi kamu pekerjaan hingga kamu kurang waktu istirahat. Jadi, untuk kali ini saya bisa tolerir."

"Makasih, Bu. Bu Galie ke sini untuk ngawasi proses pengemasan kah?"

"Walau percaya Luna akan memastikan semuanya berjalan lancar, saya tetap merasa gelisah. Maka dari itu, saya berniat melihatnya sendiri."

Diego manggut-manggut sebelum mengalihkan pandangannya pada dua gelas kopi yang ditenteng Galiena. "Bu Galie ke cafetaria?"

"Oh iya, saya baru ingat," ucap Galiena lalu mengeluarkan salah satu gelas kopi tersebut dan memberikannya pada Diego, "Saya rasa bukan hanya saya yang butuh. Jadi, saya beli dua."

Diego menerima kopi tersebut. Belum sempat Diego berucap terima kasih, sebuah suara cukup nyaring menyita atensi keduanya. Keduanya saling bertatapan dalam waktu yang cukup lama sebelum Galiena berlari mengikuti asal suara tersebut.

Kening Galiena lantas berkerut ketika tak menemukan siapa pun di tempat suara berasal. Sementara Galiena dan Diego kebingungan, seorang perempuan mati-matian membekap mulutnya takut tertangkap.

Avery—karyawan yang bertugas membawa dua kardus masing-masing berisikan lima puluh parfum Icy Mint—baru bisa mengembuskan napas lega saat Galiena dan Diego pergi. Dia segera berjongkok dan membuka kedua kardus tersebut yang tak sengaja dia jatuhkan.

"Mati gue," rutuk Avery.

Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak mungkin memberitahu Galiena dan Diego tentang dia yang menjatuhkan kardus tersebut hingga sebagian besar botolnya retak. Kedua atasannya pasti akan menyuruhnya mengganti rugi biaya kerusakan tersebut.

Mungkin jika hanya satu atau dua botol yang retak, dia sanggup mengganti rugi. Namun, ini dalam jumlah yang banyak.

"Bu Avery?" panggil Camille.

Saking terkejutnya Avery, perempuan itu sontak mengumpat. Namun, dalam waktu singkat sebuah ide brilian muncul di kepalanya. Dia tersenyum smirk. "Pas banget ada kamu, sini Camille."

Walau sedikit cemas melihat raut wajah Avery yang mencurigakan, Camille tetap mendekat sebab Avery adalah seniornya.

Sembari menunjuk botol-botol yang retak, Avery berujar, "Saya yakin sekarang kamu ada waktu luang, bukan? Yang tahu perihal botol ini cuma kita. Sebelum ketahuan, kamu harus bantu saya segera packing."

"Eh tapi, Bu. Bukannya kita harus beritahu Bu Galie dan Pak Diego? Saya takut nanti akan muncul permasalahan baru jika kita ti—"

"Kamu berani membantah ucapan saya?" tandas Avery galak membuat nyali Camille menciut.

"Berhubung sebagian besar tim lagi makan siang, kita harus bergerak. Begitu saya mendapati kamu melapor, saya akan pastikan kamu tidak bisa bekerja di sini lagi. Paham?"

Karena takut oleh ancaman Avery, terpaksa Camille menurutinya. Dia pun mengikuti Avery yang sudah terlebih dahulu melangkah menuju ruangan pemasaran dengan dua kardus berada di dalam gendongan perempuan itu.

Sementara Camille diminta buru-buru menyelipkan botol retak ke dalam box yang akan dikirim ke para influencer, Avery hanya duduk beralasan dia akan berjaga-jaga jika ada seseorang yang masuk ke ruangan.

Scent of LoveWhere stories live. Discover now