Bab Empat Puluh Tiga

190 30 21
                                    

Happy reading❤️

Galiena mempersilakan Lula untuk duduk di sofa ruangannya, sedangkan Diego pergi ke cafetaria membelikan mereka kopi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Galiena mempersilakan Lula untuk duduk di sofa ruangannya, sedangkan Diego pergi ke cafetaria membelikan mereka kopi. Mereka lumayan terkejut oleh kedatangan Lula yang mendadak. Apalagi, selama beberapa hari terakhir ini mereka kesulitan mengontak Lula.

"Bu Galie."

"Iya?"

Lula memainkan kukunya gelisah sebelum menundukkan kepala. Ia tidak yakin bisa tetap bekerja sama dengan NALA seumpama dia masih menyembunyikan hal tersebut. Sehingga dia berucap pelan, "Saya ... minta maaf, Bu."

"Minta maaf? Untuk?"

"Sebenarnya sebelum bukti video tersebut tersebar, saya sudah tahu duluan bahwa Alankar adalah dalangnya."

Galiena sontak menegakkan tubuh. Ia pikir hanya Alankar yang mengecewakannya, tetapi ternyata Lula juga melakukan hal yang sama.

"Tapi Bu Galie salah jika Bu Galie berpikir saya ada ikut campur tangan dalam menyebarkan masa lalu ibu. Awalnya, saya sama sekali tidak tahu dan saya juga tertipu oleh Alankar."

Lula menjabarkan kronologisnya secara detail, termasuk bagian di mana dia mengunjungi rumah Alankar dan menyarankan pria itu terlebih dahulu mengakui kesalahannya. Dia juga mengungkapkan rasa kecewanya karena ternyata Alankar memutuskan untuk bersembunyi hingga kesalahannya dibongkar oleh orang lain. Padahal dia sudah sangat percaya dengan Alankar.

"Saya bener-bener minta maaf, Bu. Semisal Bu Galie ingin memecat saya, saya tidak keberatan. Tapi kalau boleh, saya mau meminta kesempatan kedua. Saya sangat senang bisa menjadi keluarga besar NALA."

"Lula."

"Saya enggak tahu diri, ya? Udah sembunyiin fakta penting itu, tapi malah minta kesempatan kedua?" Lula menggaruk tengkuknya.

Galiena menarik napas dalam. Akhir-akhir ini, ia terlalu banyak mendapat kejutan. Sampai-sampai, ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Terlalu abstrak. Namun satu hal yang pasti, ia tidak bisa menyalahkan atau memecat Lula. Setidaknya, Lula sudah berusaha membantu menyadarkan Alankar, tetapi sayangnya Lula gagal.

"Terima kasih, mau itu untuk kejujuran kamu ataupun kamu yang berusaha menyadarkan Alankar."

"Bu Galie."

"Saya tidak akan memecat kamu. Justru saya senang kamu dapat bergabung menjadi keluarga besar kami. Tetapi, saya harap ke depannya tidak ada hal seperti ini lagi, ya?"

"Iya. Saya janji!" seru Lula.

"Keadaan kamu gimana? Netizen juga ikut menyerang kamu, bukan? Karena mereka pikir kamu dan Alankar menjalin hubungan."

"Iya, foto terbaru yang saya unggah penuh komentar. Kaget, sih. Tapi saya pikir saya cukup ambil sisi positifnya aja. Nama saya jadi dikenal, kan? Dan pastinya sampai beberapa hari ke depan, mereka sering main di akun saya. Ini kesempatan bagus untuk menaikkan nama saya ataupun NALA."

Galiena tertawa. Ia suka pola pikir Lula yang dewasa. Alih-alih menyalahkan Alankar karena Lula ikut terseret, Lula malah mau memanfaatkan kesempatan tersebut.

"Oh iya, Lula."

"Kenapa, Bu Galie?"

"Apa kamu keberatan untuk sementara waktu ini kamu sendiri dulu? Saya beserta tim butuh waktu lebih dalam mencari pengganti Alankar yang sesuai. Dan tentunya yang tidak berpotensi tersandung skandal."

"Enggak papa, Bu. Pelan-pelan aja. Saya enggak masalah, kok."

***

Sadar emosi Nylah akan meledak sebentar lagi sebab Alankar tak kunjung berhenti tertawa, Lana segera menarik Alankar dari sofa menuju kamar adiknya. Dia berkacak pinggang heran melihat Alankar yang masih saja sibuk dengan dunianya sendiri.

"Kamu sadar apa yang lagi kamu baca?" tanya Lana, tetapi tidak digubris oleh Alankar.

Lana menarik napas panjang, berusaha menahan diri. "Kamu pikir kakak lagi ngomong sama poster?"

"..."

"Adek." Lana masih memanggil adiknya secara lembut.

Walau tidak ada yang lucu sama sekali di halaman yang dia baca, Alankar tertawa terpingkal-pingkal hingga memukul bantal.

Dua. "Adek."

"Ya ampun, haha. Kocak."

Tiga. "Alankar."

Geram, sudah memanggil sampai tiga kali tetapi Alankar masih mengacuhkannya. Lana terpaksa menempeleng Alankar yang sontak mengundang pekikan histeris adik bungsunya itu. Alankar mendelik tajam. "Apa, sih? Enggak lihat adek lagi baca komik?"

"Kakak udah pernah baca komik itu dan satu halaman pun enggak ada bagian lucunya! Apa yang kamu ketawain?"

"Loh? Suka-suka adek, dong. Selera orang kan beda-beda, sekalipun kita saudara kandung."

Lana memejamkan mata sejenak sembari berucap kata sabar dalam hati. Dia membuka matanya kembali saat merasa jauh lebih baik. "Mau sampai kapan baca komik terus? Emangnya enggak ada hal lain yang bisa kamu lakuin? Coba, deh, Dek, kamu pikir baik-baik.

Usia mama itu udah enggak bisa dibilang muda lagi. Sekali aja, kamu pikirin dia. Jangan bikin dia kepikiran atau marah-marah terus. Apa sesusah itu?"

Alankar menutup jengkel komik tersebut. Mood membacanya langsung anjlok begitu mendengar omelan Lana. "Iya! Emang menurut kakak, apa yang bisa Lankar lakuin lagi? Endorse barang? Perusahaan bego mana yang mau rekrut Lankar? Nama Lankar udah keburu jelek karena video kemarin!"

"Kenapa kamu jadi marah-marah ke kakak? Emangnya yang bikin nama kamu jelek itu kakak?" Terpancing, Lana pun ikut menaikkan suaranya beberapa oktaf.

Alankar mengusap wajah frustrasi, merasa sedikit bersalah karena tidak sengaja melampiaskan amarahnya kepada sang kakak. Padahal selama ini hanya Lana yang berusaha membantunya agar dapat terhindar dari sasaran empuk Nylah. Dia menunduk. "Maaf, Lankar enggak sengaja. Lankar enggak bermaksud marah-marah ke Kak Lana."

"Adek." Suara Lana melembut.

"..."

"Kakak tahu image yang selama ini kamu bangun di sosial media udah hancur enggak bersisa. Kakak juga ngerti kamu sedih dan marah karena itu. Tapi, bukan berarti hidup kamu berhenti di sini. Masih ada banyak hal yang bisa kamu lakuin. Hidup bukan melulu soal sosial media, kan?"

Lana menyentuh puncak kepala sang adik. "Kamu udah dewasa, Alankar. Kamu bukan lagi anak kecil yang setiap kali berbuat salah, harus mama ataupun kakak yang bertanggung jawab."

Alankar menepis tangan Lana kemudian berucap, "Lankar mau pergi beli rujak di depan."

"Hah, rujak? Sejak kapan kamu bisa makan rujak?"

Meski dapat mendengar pertanyaan Lana, Alankar tetap melangkah keluar. Tak lupa Alankar mengambil topi serta masker guna menutupi wajahnya. Dia khawatir orang-orang akan mengenalinya, sekalipun dia hanya pergi ke warung rujak depan rumah.

Tanpa mengecek dua kali warung yang dia masuki, dia lantas duduk dan berteriak, "Bang, rujaknya satu porsi!"

Semua pelanggan termasuk si abang penjual sontak menoleh. Abang penjual itu menatap Alankar dengan aneh. "Saya jualannya bakso, atuh, Dek. Gimana caranya saya kasih adek rujak?"

"Eh?"

***

Lankar-Lankar, mau beli rujak kok ke warung bakso😭

Scent of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang