Bab Lima Puluh Delapan

180 26 5
                                    

Minggu ini tamat, siap? Selamat membaca😁❤️

Setelah membujuk dan meyakinkan Lana bahwa semua akan berjalan sesuai rencana, di sinilah Alankar berada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah membujuk dan meyakinkan Lana bahwa semua akan berjalan sesuai rencana, di sinilah Alankar berada. Di depan sebuah kedai kopi—tempat kerja Braylon. Sebelumnya, dia sudah menghampiri tempat Mila, Rose, dan Layla. Dia sangat kehabisan tenaga kala menemui Mila.

Mila sungguh keras kepala. Meski Mila mengaku menyesal telah membuli Galiena semasa SMA, perempuan tersebut menolak idenya. Bahkan, dia sampai dimaki-maki.

Bukan hanya itu saja, dia hampir bertengkar hebat dengan Mila. Sebab Mila memberitahunya jika dialah orang yang menjatuhkan flashdisk di acara pemilihan Brand Ambassador. Beruntungnya, dia masih bisa menahan diri. Seandainya tidak, maka semua rencananya bakal gagal total.

Terakhir, Mila sempat menertawakannya karena Mila percaya Braylon juga pasti menolak idenya. Berbeda dari mereka bertiga, Braylon tidak mudah ditaklukkan.

Alankar menarik napas kuat. Tak bisa dipungkiri, ketika membayangkan seperti apa rupa Braylon, ada rasa takut yang menyelinap ke dalam dirinya. Apakah dia bisa melakukannya? Perlahan tapi pasti, kaki panjangnya melangkah masuk.

"Selamat datang!" ujar barista tersebut.

Alankar menurunkan pandangannya menuju nametag barista tersebut. Dia sontak meneguk ludah.

Braylon Walandou

Sebenarnya Alankar cukup beruntung. Tidak perlu repot mencari, Braylon sudah muncul sendiri. Namun, mengapa Braylon tampak menyeramkan? Braylon mengenakan kaos tanpa lengan seolah-olah ingin memperlihatkan otot besar yang penuh tato, rambutnya gondrong, serta kumis tebal.

"Halo? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Braylon.

Chill, Lankar. Pertama-tama, lo harus pesen minuman dulu. Jangan terlalu mencolok kalau lo datang jauh-jauh cuma buat cari dia. Lo pasti bisa.

Alankar buru-buru mengangguk dan mendekati kasir. Dia memandangi papan menu yang tergantung. "Uhm ... menu best sellernya yang mana, ya?"

"Untuk makanannya yang paling sering dicari, sih, salted egg chicken. Sedangkan minumannya brown sugar milk tea atau brown sugar latte. Balik ke selera masing-masing, Kak."

"Oke, saya pesan itu."

"Brown sugar milk tea atau brown sugar latte?"

"Yang latte."

"Panas atau dingin?"

"Dingin."

Saat sudah duduk, Alankar baru bisa menghela napas lega. Sungguh menakutkan. Bagaimana cara berbicara kepada Braylon perihal kedatangannya? Bagaimana seumpama Braylon tak tahu-menahu menonjoknya hingga babak belur? Dia menggeleng. Dia tidak boleh meninggalkan satu pun bekas luka di wajah mulusnya.

"Ini, ya, iced brown sugar lattenya. Makanannya kurang lebih lima belas menit lagi," ujar Braylon.

"Makasih."

Braylon manggut-manggut lalu hendak kembali ke kasir, tetapi panggilan dari Alankar sontak menghentikannya. "Iya? Ada tambahan?"

Alankar menyembunyikan tangannya yang terkepal di bawah meja, menarik napas lagi, memberanikan diri. "Lo ... Braylon alumni SMA Plumeria, bukan?"

Braylon sontak menaikkan sebelah alis. "Alumni sana juga?"

Bohong atau jujur? Kayaknya harus jujur, deh. Kalau gue bohong, terus tahunya tiga cewek yang tadi ngadu. Apa riwayat gue enggak tamat detik itu?

"Bukan."

"Terus? Lo tahu dari ... tunggu. Gue rasa muka lo familiar, deh. Gue kayak pernah lihat lo di suatu tempat." Braylon mengikuti cara berbicara Alankar yang santai.

"Di internet. Gue pernah viral beberapa waktu lalu karena gue ketangkap nyebarin video pembulian Bu Galiena."

Mata Braylon membola tidak percaya dapat bertemu Alankar di kedai kopi tempatnya bekerja. "Lo ngomongnya santai banget, ya? Lo enggak merasa bersalah apa? Video itu sudah lama banget dan lo—"

"Gue ngaku gue salah. Gue juga sudah minta maaf secara langsung ke Bu Galie. Gue sudah melakukan semua yang gue bisa buat nebus kesalahan gue. Dan satu hal, gue enggak bakalan punya video itu kalau Mila teman lo enggak jatuhin flashdisk di acara dengan sengaja."

"Mila? Lo kenal dia?" Kening Braylon mengerut. Pasalnya, mereka tidak pernah berkomunikasi lagi setelah lulus SMA. Hubungan mereka berakhir begitu saja.

"Enggak."

"Kalau enggak kenal, kenapa lo seenaknya nyangkutpautin kesalahan lo sama dia? Asal lo tahu—"

"Dia ngaku sendiri. Gue barusan ketemu sama dia. Gue enggak bakal bertele-tele. Tujuan gue ketemu lo adalah gue mau lo minta maaf setulusnya ke Bu Galie atas kesalahan lo. Gue sudah punya rekaman tiga teman lo. Sisa lo yang belum," sela Alankar.

"Lo gila. Buat apa gue percaya sama lo? Lo aja enggak ada bedanya sama kita. Atau malah lebih parah. Lo bikin dia viral di tengah acara perusahaannya!"

"Gue mau gabungin permintaan maaf kalian jadi satu video, terus nanti gue kirim ke Bu Galie."

Braylon tergelak mendengar keinginan konyol Alankar. "Lo pikir dengan begitu, lo bisa nebus kesalahan lo? Enggak! Lo tetap enggak bakalan mengubah keadaan. Semua orang sudah telanjur tahu masa lalu Galie."

Alankar memejamkan mata sejenak berupaya meredam emosinya yang mulai bergejolak. Dia sadar dia tidak berhak marah karena Braylon mengungkapkan faktanya. Tetapi dia sungguh percaya idenya bisa menyembuhkan luka Galie, walau hanya secuil. Dia yakin terlepas dari kemurahan hati Galiena, Galiena juga pasti menginginkan permintaan maaf mereka.

"Lo tahu gimana cara nebus kesalahan lo ke Galie?"

"..."

"Hidup menderita. Gampang, kan? Lo bikin dia menderita, jadi lo enggak boleh hidup bahagia."

"Salah. Dia enggak pernah mau itu terjadi. Setelah keungkap gue pelaku yang nyebarin videonya, dia enggak sumpahin gue yang jelek-jelek. Sebaliknya, dia mau gue enggak mengulangi kesalahan lagi, lebih berhati-hati. Justru dia juga berterima kasih karena gue berani minta maaf."

Braylon tersenyum simpul. Ternyata sampai detik ini, Galiena masih berhati malaikat. Meski Galiena sudah dijahati berkali-kali, perempuan tersebut tetap memilih menjadi pribadi yang baik. Sejujurnya ketika hari kelulusan, dia ingin meminta maaf kepada Galiena. Setiap hari perasaan bersalahnya kian bertumbuh. Sayangnya, gengsi mengucap kata keramat itu terlalu tinggi.

Berakhir dengan Braylon yang memutuskan meninggalkan kehidupannya yang dulu. Dia merasa tidak bisa hidup senang-senang di atas kelakuan bejatnya. Dia yang seharusnya bisa berkuliah di universitas mewah, menetapkan diri untuk mencari kerja di tempat dengan rentang gaji rendah.

Sesekali, dia meluangkan waktu mencaritahu keadaan terbaru Galiena. Dia turut senang mengetahui Galiena menjadi seorang pemimpin perusahaan besar. Dan begitu dia tahu video pembulian tersebut disorot publik lagi, dia sungguh emosi.

Terlebih, dia yakin itu akan berdampak besar ke perusahaan yang dikelola Galiena. Braylon menatap tajam Alankar. Dia pernah bersumpah bakal menghajar sosok yang menyebarkan video tersebut. Mungkin ini momen yang tepat.

Bugh ....

***

Udah kespill yaa apa yang bakal dikasih Lankar buat Galie😯 Buat part 59 alias bab terakhir dan epilog kupublish di hari yang sama yaa. Hari Rabu hehe. Sampai jumpa❤️

Scent of LoveWhere stories live. Discover now