Bab Empat Puluh Tujuh

170 34 22
                                    

Hai, bagaimana hari kalian? Semoga baik, yaa hehe! Selamat membaca❤️

Karena ingin berterima kasih kepada Nylah dan Lana yang telah dia repotkan beberapa hari terakhir, Alankar memutuskan untuk mampir sebentar ke toko langganan Nylah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Karena ingin berterima kasih kepada Nylah dan Lana yang telah dia repotkan beberapa hari terakhir, Alankar memutuskan untuk mampir sebentar ke toko langganan Nylah. Awalnya, Alankar berniat membelikan mereka makanan atau minuman yang mahal. Tetapi, dia percaya alih-alih senang, dia hanya akan mendapat amukan.

Sehingga dia memilih membelikan Nylah nagasari, sedangkan Lana lemper. Oh iya, Liora juga sudah berbaik hati kepadanya. Dia tidak boleh melupakan kakak keduanya itu. Dia memaksa otaknya bekerja amat keras guna menggali makanan kesukaan Liora.

"Ah, dadar gulung!" seru Alankar.

Setelah bertemu Galiena, mood Alankar meningkat drastis. Permintaan maafnya diterima baik oleh Galiena. Bahkan, perempuan itu juga menyemangatinya dan menantikan kabar kesuksesannya. Dia jadi tidak sabar untuk segera menghubungi Galiena saat dia sukses nanti. 

Memastikan dirinya sudah membeli ketiga macam jajanan tersebut, Alankar bersiap menginjak pedal gas. Namun, ponsel yang terus bergetar mengalihkan perhatiannya. Dia mengeluarkan ponsel guna mengintip pesan dari layar utama. Terdapat beberapa pesan dari keluarganya.

Mama
Alankar

Mama
Kalau Bu Galienya belum mau ketemu, jangan dipaksa. Pulang aja, ya?

Kak Lana
Adek

Kak Lana
Masih nungguin Bu CEO? Kalau dia masih enggak muncul, balik aja, Dek

Kak Liora
Kurang lama lo di luar? Balik buru!

Seulas senyuman kecil lantas melengkung di bibirnya. Ternyata, semua orang tengah menunggu kabar darinya. Mereka mencemaskan dirinya karena berpikir dia gagal bertemu Galiena. Tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi, Alankar lekas melajukan mobil menuju rumah tercintanya.

Alankar terkekeh kecil melihat Nylah, Lana, dan Liora yang sudah menunggunya di teras. Sekhawatir itukah mereka padanya? Alankar menghampiri ketiganya dengan wajah yang dihiasi cengiran kuda. "Si Ganteng pulang. Kok pada kompak nunggu di sini? Kecium, ya, wanginya nagasari, lemper, sama dadar gulung?"

Liora mendengkus jengkel sebelum masuk begitu saja. Sebenarnya apa yang dicemaskan olehnya? Toh, adik bungsunya itu tampak baik-baik saja.

"Loh? Kak Liora, ini ada dadar gulung! Kok kabur?!" teriak Alankar.

"Muka kamu seneng banget?" tanya Nylah membuat Alankar spontan memalingkan wajah dari punggung Liora yang sudah menghilang.

"Alankar dimaafin, Ma, Kak! Bu Galie juga berdoa biar Alankar bisa bahagia dan sukses. Bu Galie baik banget, ya?" Alankar berceloteh gembira selayaknya anak kecil yang diberikan banyak permen oleh orang tuanya.

"Beneran?" Nylah dan Lana serempak bertanya. Mereka takut jika Alankar hanya membohongi mereka semata-mata agar mereka tidak mencemaskannya.

"Iya, Ma, Kak! Ini buktinya Lankar bisa sampai pergi beli jajanan kesukaan kalian. Kalau permintaan maaf Lankar ditolak, mana mungkin Lankar niat pergi beli ini?"

Nylah memicingkan mata berupaya mencari kebohongan yang terpancarkan dari bola mata sang anak, tetapi hasilnya nihil. Berarti anak bungsunya sungguh mengatakan apa adanya. Dia lantas merengkuh tubuh Alankar yang jauh lebih besar darinya.

Sembari mengusap puncak kepala Alankar, dia berujar, "Ah, syukur banget. Mama ikut senang. Mulai sekarang harus lebih dewasa, ya. Enggak boleh sembarang bertindak."

"Iya!" Alankar mengurai pelukan mereka.

Nylah, Lana, dan Alankar pun masuk, tidak sabar ingin menyantap ketiga macam jajanan yang sudah Alankar beli. Karena Alankar yang membeli, Lana bertugas untuk memindahkan jajanan tersebut ke piring.

"Liora, sini. Kita makan sama-sama. Yakin dadar gulungnya mau dianggurin?" teriak Nylah memancing agar Liora mau berkumpul bersama mereka.

Liora si pecinta dadar gulung langsung tergesa-gesa menuruni anak tangga, tidak rela jika makanan kesukaannya dihabiskan.

Mereka menikmati jajanan tersebut dengan tenang. Sampai akhirnya, Alankar tiba-tiba berteriak. "Ah."

"Kenapa?"

Alankar tersenyum lebar kemudian menatap Nylah. "Mama."

Nylah lumayan ngeri melihat senyuman lebar tersebut. Pasalnya, Alankar akan tersenyum seperti itu jika ada maunya. Apalagi waktu Alankar masih sekolah, dia pasti memasang wajah tersenyum agar mendapatkan uang jajan lebih.

"Kak Lana sama Kak Liora selalu bilang ayam geprek mama enak pol, kan?"

Nylah menyatukan kedua alis. "Ayam geprek? Kenapa sama ayam geprek mama? Kamu mau makan? Bukannya kamu enggak bisa makan pedas?"

"Bukan buat Lankar."

"Terus?" Hanya Nylah yang masih menanggapi Alankar, sedangkan Lana dan Liora berpura-pura sibuk memakan jajan.

"Berhubung Lankar yakin perusahaan-perusahaan pasti masih enggak mau nerima Lankar, gimana kalau kita bikin usaha sendiri? Usaha ayam geprek? Nama usahanya Geprek Dahsyat. Gimana? Bagus, kan?"

Liora lantas berdiri berniat melarikan diri. Siapapun juga tahu, Alankar pasti tidak bersungguh-sungguh. Karena selama ini yang Alankar sukai cuma membagikan keseharian di live dan foto-foto narsis. Membuat ayam geprek? Alankar tidak akan tahan berpanas-panasan di dapur. "Liora ke kamar, Ma. Udah selesai makan."

"Loh? Itu dadar gulung kan masih ada?" tanya Alankar.

"Adek, buka usaha sendiri itu enggak segampang yang kamu pikirin. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan secara matang-matang. Kakak kan sibuk kerja, mama juga enggak mungkin kerja sendirian nantinya. Terus siapa yang bantu mama?"

"Lankar lah."

Nylah dan Lana mengedipkan mata.

"Enggak papa kalau Kak Lana sama Kak Liora sibuk kerja. Kan ada Lankar. Lankar bakalan bantu mama siapin pesanan. Pokoknya, Lankar yang urus semua. Tapi, mama atau kakak pinjamin Lankar modal. Uang Lankar habis dipakai bayar denda."

Nylah menarik napas panjang, sedikit meragukan ucapan Alankar. Bagaimana jika mereka sudah merintis usaha tersebut, lalu karena jumlah pelanggannya sedikit, Alankar langsung memilih menyerah? Uang yang dikeluarkannya untuk modal akan terbuang sia-sia.

"Biaya peralatan dan bahan sudah kamu perkirakan? Mau buka di mana dan biaya sewanya bagaimana? Menu yang dijual?"

Pertanyaan bertubi-tubi yang dilemparkan Nylah sukses membungkam Alankar. Alankar menunduk. Dia belum berpikir sejauh itu. Di pikirannya, hanya dia ingin membuka usaha ayam geprek. Sebatas itu.

"Alankar, bukannya mama melarang kamu. Justru mama senang jika kamu memang berniat membuka usaha, tapi mama minta kamu berpikir dulu. Apa kamu serius mau buka usaha ayam geprek? Dan pikirkan juga jawaban dari pertanyaan mama sebelumnya. Kalau sudah ada jawabannya, kita bisa bicarain ini lagi. Oke?"

Alankar mendongak. Dengan mata yang membara semangat, dia berucap, "Oke, Lankar bakalan buktiin kalau Lankar emang serius. Tapi mama juga harus janji, ya, bersedia modalin Lankar setelah semuanya siap?"

"Iya."

Alankar bangkit dari tempat duduknya. "Kalau gitu, Lankar harus siapin dari sekarang. Lankar ke kamar dulu."

Nylah tersenyum bahagia melihat semangat Alankar. Sepertinya, mereka sungguh akan membuka usaha ayam geprek. Dia berharap ini menjadi pertanda baik untuk si anak bungsu.

"Mama seriusan mau modalin?"

Nylah mengangguk. "Dia enggak pernah sesemangat itu, Lan. Kalau emang dengan buka usaha ayam geprek, dia bisa happy lagi. Mama bakalan dukung sepenuh hati."

***

Kira-kira Lankar berhasil gak tuh buka usaha sendiri?🤪

Scent of LoveWhere stories live. Discover now