10. Kepercayaan yang Hilang [revisi]

247 198 111
                                    

Happy reading!

Saya hanya ingin mengutarakan perasaan saya, kenapa begitu susah. Apa rasa percaya itu sudah pudar?. Jika iya, katakanlah. Biar saya tidak terlalu berhapa yang akan berujung rasa sakit”

—Andreana Delisha Abraham

©apsaapena 2021
Oktober


Setelah pemakaman selesai, Seluruh keluarga Abraham kini berkumpul di ruang keluarga.

Mereka merutuki perbuatannya. Terlebih lagi, Roni yang tertampar dengan kenyataan. Roni bahkan membuat kesalahan terbesar.

Roni yang telah mengusir Ana dari keluarga Abraham. Kini penyesalan tinggalah penyesalan.

Rizal memilih menenangkan diri nya di kamar. Ia sangat menyesal telah membentak bahkan menampar putri kecil nya itu. Masih pantaskah disebut dengan sebutan papah.

"Saya menyesal." Roni menyenderkan bahu nya pada sofa.

"Semua ini salah saya. Seharus nya saya tidak gegabah dalam mengambil keputusan." lanjut Roni.

"Dad, ini bukan salah Daddy. Kita juga salah. Terlebih, Bryan mengatakan Ana pembunuh." lirih Bryan.

"Liora juga salah, Dad. Liora nampar Ana."

"Lebih baik kita cari Ana." usul Agam.

"Fatih, kamu lacak keadaan Ana." tegas Roni.

"Baik."

***

Dikamar, Rizal meratapi semuanya. Kecewa pada diri sendiri yang telah membentak bahkan menampar Ana. Andai ia tidak gegabah, andai ia mau mendengarkan penjelasan dari putri nya, mungkin sekarang dia bisa memeluk putri nya.

Semua hanya sebatas pengandaian saja. Yang jelas semua sudah terjadi.

Ratih menaiki tangga menuju kamar nya. Ia ingin menenangkan sang suami. Bukan hanya suami nya saja yang bersedih. Ia juga. Ibu mana yang tidak sedih saat melihat anak nya di usir.

Mereka semua menyesal. Yah, menyesal. Menyesal tidak ada guna nya.

"Mas,,"

Ratih mendekati sang suami. Mengelus punggung Rizal berusaha menenangkan nya.

Pandangan Rizal pun kosong. Ratih tahu betul seberapa sayangnya Rizal pada Ana.

"Aku, aku ayah yang buruk." racau Rizal dengan pandangan kosong.

"Mas, bukan hanya kamu yang sedih. Aku sebagai ibu nya juga sedih." ujar Ratih dengan mata berkaca kaca.

Berbeda dengan Ana. Ana yang tahu diri itu memilih pergi dari keluarga Abraham seperti apa yang kakek nya inginkan.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu, Ana sudah berada di depan pintu apartemen nya.

Ana mulai memasukan beberapa digit angka agar pintu apartemen milik nya terbuka.

Sudah lama sekali Ana tidak mengunjungi apartemen itu. Mungkin beberapa di antara nya sudah berdebu.

Ia masuk ke kamar nya. Model kamar yang terkesan lebih soft bisa menenangkan semua yang Ana pikirkan.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
MY ASH LIFE [end]Where stories live. Discover now