34. Pendonor Ginjal?

40 13 6
                                    

"Yesterday was rightly Painful."

—Andreana Delisha Abraham

©apsaapena 2022
Februari


Mendengar salah satu cucu kesayangan nya masuk rumah sakit, Dewi selaku ibu Ratih langsung terbang dari Jogya ke Jakarta.

Dua hari sudah, Rafa terbaring tak sadar kan diri di brankar rumah sakit.

Ratih sebagai ibu cukup menyakitkan mendengar penjelasan dafi suami nya. Rafa putra bungsu nya mengalami kerusakan di salah satu ginjal nya.

"Nak, bagaimana keadaan Rafa?" tanya Dewi tergesa gesa saat sampai di pintu ruangan Rafa.

"Masih sama, bu." lirih Ratih.

"Kita harus secepat nya mencari donor ginjal yang pas buat Rafa." sahut Rizal.

"Benar, bu. Oh iya. Ibu langsung kesini? Kenapa tidak istirahat dulu di rumah?" tanya Ratih.

"Bagaimana ibu bisa tenang. Sedangkan kondisi Rafa kritis."

Dewi membenarkan kerudung yang dipakai nya. Wanita paruh baya itu mengambil tempat duduk nya di samping Ratih.

"Ibu, lebih baik ibu istirahat dulu. Pasti ibu capek jalan jauh dari Jogya ke Jakarta. Biar Rizal telephon Mang Asep."

"Tapi, ibu belum tenang nak. Sebelum Rafa membuka mata nya Ibu akan disini terus."

Dewi nampak kukuh dengan pendirian nya. Dia menutup mata nya sebentar. Menetralisasikan pernapasan nya yang masih terengah engah.

"Iya kami tahu. Tapi sebaik nya ibu juga jaga kesehatan. Lebih baik ibu istirahat dulu di rumah." ujar Ratih menasehati.

"Baiklah, oh iya. Apa selama ini Nia berbuat ulah?"

"Tidak, anak itu nampak rajin seperti biasa nya."

Dewi tersenyum. Gadis yang sudah menjadi cucu nya itu memang baik di mata nya. Terlihat jelas bagaimana saat dulu Nia menolong diri nya saat dari kecelakaan di pasar.

Tidak lama kemudian, Mang Asep datang. Dia langsung menerima tas Dewi yang kelihatan agak berat.

"Ya sudah, ibu kerumah kalian dulu. Jika Rafa sadar, tolong hubungi ibu."

***

Sampai nya di halaman rumah, Dewi langsung masuk. Tepat di samping rumah, Dewi melihat Ana yang tengah termenung dan sesekali mengusap air mata nya yang jatuh.

"Ck, anak itu memang tidak berguna." desis Dewi.

Merasa ada yang memperhatikan, Ana menoleh kebelakang. Tatapan dingin Dewi menghunus ke arah Ana.

Ana yang paham tatapan itu langsung menunduk. Ana beranjak pergi dari tempat nya dan menyalimi nenek nya itu.

"Nek, kapan nenek sampai?"

Terdengar parau di telinga Dewi. Namun, Dewi hanya acuh melihat kondisi Ana.

"Terserah saya mau kesini atau tidak. Lagi pula, apa salah seorang nenek mengunjungi cucu nya yang tengah terbaring lemah di rumah sakit." sinis Dewi.

Ana menuduk melihat tatapan sinis nenek nya. Setelah pamit, Ana pergi ke kamar nya. Ana sengaja tidak berangkat sekolah hari ini. JIka datang pun, keadaan nya sedang kacau. Apa lagi jika bertemu dengan Arvian, sudah pasti pertanyaan beruntun terlontar dari bibir tipis cowok itu.

"Nek,"

Panggilan Ana menghentikan langkah Dewi. Dewi memandang Ana sebentar.

"Apa?"

MY ASH LIFE [end]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora