29 || Pertengkaran

59 4 0
                                    

Sudah bisa Alendra tebak apa yang akan terjadi selanjutnya Ketika ia sudah sampai di rumah dalam keadaan babak belur begini. Tentu saja mendapatkan omelan sang papah dan juga wajah panik mamah nya.

Alendra tidak ingin terus-terusan menjadi anak yang nakal. Dimana ia sulit sekali dinasehati oleh kedua orang tuanya yang memintanya agar tidak terus-terusan berkelahi. Tapi, mau bagaimana lagi? Tadi itu memang harus diselesaikan dengan cara kekerasaan. Alendra ingin membalas aksi kurang ajar Arthur kepada Leviana, sekaligus memberi pelajaran pada Arthur agar tidak melakukan hal kurang ajar semacam itu lagi kepada cewek lainnya. Perempuan adalah makhluk Tuhan yang harus dihormati. Apakah Arthur tidak pernah berpikir? Ia di lahirkan dari Rahim seorang perempuan. Namun, masih bisa bertindak kurang ajar kepada perempuan lain? Sepertinya Arthur memang tidak memiliki otak.

“Kamu berantem dengan anak Pak Bambang, Dev?” tanya Jack dengan nada dingin.

Alendra meringis sakit kala Puppy menyentuhkan kapas yang bercampur alcohol ke luka yang berada di tulang pipinya. Alendra tidak langsung menjawab, lagipula Alendra tidak tahu Arthur itu anak siapa.

“Dev, gara-gara perbuatan kamu itu anak Pak Bambang koma di rumah sakit.” Tutur Jack.

“Koma? Sayang sekali, kenapa nggak sekalian mati aja sih?” balas Alendra santai.

“Al!” panggil Puppy dengan nada menegur.

“Nggak baik ngomong kayak gitu sayang. Besok kita ke rumah sakit ya, minta maaf sama anaknya Pak Bambang.” Titah Puppy.

Alendra berdecih sinih, meminta maaf pada Arthur? Sampai kapanpun Alendra tidak akan pernah sudi meminta maaf. Harusnya Arthur yang meminta maaf kepada Leviana sekaligus mengucapkan terima kasih pada Alendra karena masih memberikan Arthur kesempatan hidup.
Coba bayangkan, ketika saat itu Alendra sudah gelap mata. Bukan hal yang mustahil jika Alendra bisa saja menghabisi nyawa Arthur saat itu juga.

“Nggak sudi.”

“Kamu ini, udah salah! Masih aja merasa paling benar!” bentak Jack terpancing emosi. Kadang sikap keras kepala Alendra selalu berhasil membuat Jack hilang kendali.

“Pah. Papah ngomong kayak gitu tuh karena papah nggak tau kejadian sebenarnya!”

“Tanpa papah cari tahu pun semua orang akan tahu bahwa kamu yang cari masalah.”

Alendra tertawa miris, tetap saja dalam setiap permasalahan Alendra orang pertama yang akan disalahkan. Sudah menjadi hal biasa jika Alendra akan selalu menjadi pihak yang tersudutkan.

“Bukan aku yang cari masalah,” ujar Alendra tenang.

“Papah nggak mau tau. Pokoknya besok kamu harus meminta maaf kepada Pak Bambang dan keluarganya. Masih mending Pak Bambang nggak bawa kasus ini ke pengadilan, kamu mau di penjara?!”

“Kalau Lendra bilang nggak! Ya enggak!” teriak Alendra menggebrak meja.

“Dev! yang sopan kamu sama Papah!” Jack menatap tajam putranya itu. Keliatan amarah terpancar jelas dari kedua bola matanya. Usapan menenangkan dari Puppy saja tidak cukup memadamkan rasa emosi yang berkobar mengerubungi hati Jack.

Jelas saja Jack marah, selama ini Jack dan Puppy tidak pernah mendidik Alendra menjadi anak yang tidak tahu sopan santun.

“Al, turutin apa ata Papah ya sayang. Al kan anak baik, mamah nggak pernah ajarin Al buat jahat sama orang,” ujar Puppy menasehati.

“Harusnya Arthur yang minta maaf sama Ana!”

“Ana? Siapa?” tanya Puppy.

“Aku nggak akan pernah terima kalau Leviana dilecehkan! Arthur udah bikin Ana aku nangis, dan aku nggak bakalan biarin ada orang yang bikin cewek kesayangan aku setelah mamah dan Amora nangis!” ujar Alendra menggebu-gebu.

“Dev, semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik. Nggak perlu pakai kekerasan.” Sambar Jack cepat.

“Pah, coba aja kalau papah di posisi aku. Apa papah bisa terima orang yang papah sayang menjadi bahan aksi nggak senonoh orang yang bisa bikin trauma?” Alendra tersenyum miring “Papah sendiri yang ngajarin aku buat bunuh siapapun orang yang udah berani sentuh milik kita kan?”

Jack terperangah kaget, ia tidak percaya jika Alendra masih mengingat kalimat itu. Padahal Jack mengatakan kalimat itu Ketika Alendra masih berusia 7 tahun. Lagi pula Jack mengatakan kalimat itu dengan tidak sadar. Tanpa Jack sadari ternyata ucapannya membuat Alendra menjadi tersugesti.

“Lupa pah?” tanya Alendra “Ada beberapa hal yang Papah ajari sama aku waktu aku masih kecil, pertama_” Alendra menunjukkan jari telunjuknya “Kita harus menghormati perempuan. Mamah, Amora, dan Leviana itu perempuan. Dan, mereka adalah perempuan yang Alendra sayang.”

“Kedua.” Alendra menunjukkan dua jarinya “Kita nggak boleh kalah dalam setiap pertempuran, kita nggak boleh jadi seorang pecundang. Meski dalam keadaan sekarat pun, kita nggak boleh kalah.”

Jack meremas punggung tangan Puppy, dengan mata menatap Alendra nanar.

“Dan yang ketiga.” Alendra menunjukkan tiga jarinya “Bunuh siapapun yang udah berani sentuh milik kita.”

“Papah nggak serius, Dev. Papah cu_”

“Papah tenang aja, khusus poin ketiga aku nggak bakalan sampai membunuh. Ya palingan aku bikin mereka sekarat. Lagipula, aku benci seorang penjahat apalagi pembunuh. Papah pasti tahu itu.”

Alendra meraih tasnya yang tergeletak di atas meja, kemudian ia berlalu begitu saja menuju kamar.

Tubuh Jack seketika melemas, kepalanya terlempar lirih kebelakang seraya mengusap wajah frustasi. Ucapan Alendra begitu menohok hatinya, bagaimana jika suatu saat nanti Alendra tahu yang sebenarnya? Jack belum siap melihat tatapan benci yang dilayangkan putranya sendiri terhadapnya. Serapat apapun Jack mencoba menutupi masa lalunya, suatu saat nanti akan ada saatnya Alendra tahu semuanya.

“Gapapa, kita bicarakan ini pelan-pelan sama Al. aku yakin, dia pasti mau memahami.” Puppy mengusap pipi suaminya lembut. Puppy bisa memahami perasaan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh Jack.

“Sayang, Devano udah semakin besar dan ini masalah yang serius. Aku belum siap kalau Devano tau semuanya.” Lirih Jack frustasi.

“Sayang, tenang ya. Aku tau ini nggak mudah, tapi kalau kita lalui sama-sama aku yakin kita pasti bisa kok.”

“Aku benar-benar takut.”

Setetes cairan bening mengalir dari sudut mata Jack. Jack hanya takut, rasa ketakutannya yang selama ini hanya Jack yang merasakannya. Sebanyak apapun Jack mencoba menepis rasa takutnya itu semua tidak berarti apa-apa. Bertahun-tahun terjebak di dalam lubang penyesalan hingga membuat Jack mempunyai tekanan batin sendiri.

“Plis, jangan nangis sayang. Aku tahu ini berat, kita bakalan lewatin ini sama-sama ya. Alendra juga pasti terima masa lalu kamu kok.” Puppy menarik kepala Jack kedalam dekapan dadanya.

“Kamu jangan pernah tinggalin aku, aku masih perlu dukungan kamu dan anak-anak.” Lirih Jack mengeratkan pelukannya pada Puppy.

“Aku akan tetap disini, begitupun dengan anak-anak kita.”

AlendraWhere stories live. Discover now