Part 1

4.2K 130 9
                                    

Harvey

Harvey menatap perempuan di hadapannya. Perempuan itu mendongakkan wajah sesaat sambil tersenyum sebelum perhatiannya kembali teralih.

Ia memakai pakaian sederhana. Hanya celana panjang jeans ketinggalan zaman, kaus lengan panjang warna crimson dan jaket coklat sedikit luntur. Tapi di balik itu semua kulitnya putih bersih dengan bibir merah penuh. Matanya bulat dan melengkung dengan lipatan tegas di kelopaknya. Rambutnya panjang lurus sepunggung berponi rata. Ia tidak tampak seperti orang Indonesia pada umumnya. la lebih mirip boneka kokeshi. Boneka Kiku. Boneka Jepang.  Wajah yang hampir tidak pernah Harvey temukan di tengah kerumunan umumnya. Untungnya ada satu kata yang paling singkat yang bisa menjelaskan, cantik.

"Harvey, dia Mio." Ibu Harvey mendadak berseru, mengalihkan perhatian Harvey dari dua tas besar agak sedikit lusuh dan robek di bagian atas, yang di bawa perempuan di hadapannya.

"Mio." Bibir Harvey bergerak pelan tanpa sadar menyebut kata Mio. Nama yang sering sekali ia dengar dibicarakan ibunya sebulan terakhir ini.

"Iya, Mio." Ibu Harvey mengulang kalimatnya dengan wajah di tekuk seribu dan tangan dilipat di depan dada, "Itu namanya sungguhan." Tambah beliau seakan nama Mio itu super jelek.

"Mio." Gumam Harvey dengan bibir menyeringai. Menahan keinginan untuk menyebut kata Mio berkali-kali. Karena sentakan bibir yang muncul ketika dirinya menyebut nama Mio terasa...aneh sekaligus unik.

Mio mendongakkan kepala, wajahnya gugup gelisah sementara bibirnya tersenyum, "Saya Mio."

"Ayo masuk ke dalam Mio. Barang-barangmu nanti di bawakan oleh Harvey." Ucap ibu Harvey sebelum menambahkan bergumam menggerutu, "Bawa barang kok banyak amat."

"Maaf tante, nggak apa-apa, saya bisa bawa barang-barang saya sendiri."

"Nggak. Nggak. Kamar kamu ada di lantai dua. Kasihan kamu setelah perjalanan jauh harus ngangkat-ngangkat barang juga." Lanjut beliau tanpa senyum dan langsung berjalan dengan cepat menaiki tangga.

Mio tersenyum malu sambil melirik Harvey yang hanya menontonnya dari depan, "Maaf ya."

"Oke." Jawab Harvey sambil lalu.

"Kamu itu nggak usah malu-malu. Kamu itu kan udah bikin anak sulung ibu yang katanya nggak mau nikah itu tau-tau mau nikahin kamu sampai-sampai mutusin pacarnya." Potong Ibu Harvey tanpa menoleh kebelakang disaat mereka bertiga sama-sama sedang menaiki tangga rumah Harvey yang di lapisi lantai kayu. Membuat suasana yang sudah dingin jadi makin jelek.

Kening Harvey berkerut makin dalam menonton ibunya bertingkah seperti tokoh jahat dalam sinetron. Padahal biasanya ibunya selalu bertingkah elegan. Mau tidak mau Harvey juga teringat keluhan ibunya yang tanpa henti selama sebulan terakhir ini setelah kakak Harvey, Altair mengabarkan secara mendadak kalau ia sudah punya wanita yang ia benar-benar mau nikahi sampai memutuskan pacar selama enam tahunnya untuk seorang perempuan yang baru ia kenal enam bulan.

"Iya, tante" Jawab Mio sambil menganggukan kepala pelan dan menundukkan wajahnya semakin dalam.

Setengah jam kemudian, tanpa suara Harvey hanya menonton ibunya mengobrol dengan Mio di dalam kamar tamu. Menjelaskan ini itu soal kegiatan dan kebiasaan keluarganya sehari-hari. Sebetulnya nggak terdengar seperti ngobrol tapi lebih seperti seorang majikan menceramahi pembantu yang baru datang dari desa.

"Tante mana mungkin biarin anak sulung Tante menikah sama orang yang sama sekali Tante nggak kenal. Anak perempuan yang bukan asli suku Jawa lagi. Makanya Tante mau pokoknya kamu harus tinggal disini minimal tiga bulan." Gerutu ibu Harvey sementara Mio hanya diam tanpa ekspresi.

"Setiap rumah itu pasti ada peraturan sendiri-sendiri. Nggak mungkin kan Tante yang ngikutin kebiasaan-kebiasaan mu. Makanya kamu yang harus belajar untuk mengikuti peraturan kebiasaan di rumah ini. Jadi kamu nggak akan kaget kalau nanti kamu sampai betulan jadi istri Altair."

"Ah iya. Mungkin bagi kamu, omongan Tante agak keterlaluan. Tapi Tante itu paham betul, manusia itu punya tiga muka. Muka yang di tunjukan ke semua orang, keorang yang paling dekat dan muka yang hanya di tunjukan ke diri sendiri. Nah, Tante harus mengenal wajah aslimu."

Bibir Harvey menyeringai. Bibirnya tertawa ngejek pelan. Bukan menertawakan ekspresi Mio yang tetap sedatar aspal, tapi menertawakan ibunya. Karena, justru ibunya lah yang sekarang menunjukan wajah aslinya terang-terangan. Wajah ambisius, power syndrome. Antagonis.

"Setelah beres-beres satu jam lagi kamu turun ke bawah ya. Pakai baju yang tertutup. Harus rapih. Nggak boleh pakai daster walaupun dirumah."

"Iya. Tante."

"Tante mau keluar sebentar. Ngambil mobil tante di bengkel. Padahal biasanya mobil Tante nggak pernah rusak sampai kayak gitu. Nggak tau ini. Kenapa ya semenjak Altair pacaran sama kamu Tante sial melulu?" Ujar ibu Harvey. Beliau membuka pintu kamar tamu sambil memberi isyarat untuk Harvey untuk ikut keluar dari dalam kamar.

Harvey menahan diri untuk tidak tepuk tangan. Luar biasa. Benar-benar luar biasa. Harvey nggak nyangka ibunya bisa mengeluarkan komentar sejahat itu. Keterlaluan. Tapi yang lebih luar biasa lagi, Mio tetap berdiri tegar dengan bibir menyunggingkan senyum tulus.

Sedetik sebelum pintu tertutup saat itulah, mata Mio bertatapan dengan Harvey. Mata bulat seperti bayi. Mata yang memunculkan insting untuk melindungi. Tapi sayangnya, itu hal terakhir yang akan di lakukan oleh Harvey. Seketerlaluan apapun ibunya pada Mio. Seaneh apapun hubungan Mio dan Kakaknya Altair. Rencana pernikahan. Apapun itu.  Harvey berencana untuk tidak akan peduli. Tidak akan ikut campur. Tidak akan mengatakan apa-apa. Semua bukan urusannya dan jangan sampai merembet menjadi urusannya.

Catatan Mio On viuen les histories. Descobreix ara