Part 41

620 91 3
                                    

Harvey tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon temannya. Tanpa sadar ia membuka jendela kelasnya lebih lebar supaya bisa mendengar candaan temannya yang duduk di depan kelas tepat di bawah jendela dengan lebih jelas.

Semuanya berjalan menyenangkan sampai nafas Harvey mendadak sedikit tersentak hingga menarik perhatian temannya untuk menatapnya.

"Ada guru ya bro?!" Seru temannya buru-buru bangkit dari tempat duduk untuk siap-siap lari masuk ke dalam kelas.

"Nggak ada." Jawab Harvey acuh tak acuh.

"Bo'ong ah? Masa' ?" Seru teman Harvey tak percaya dan mulai celingukan ke kanan kiri sebelum tanpa sengaja mata nya bertatapan dengan mata ibu Harvey yang melintas di lorong tidak jauh dari kelas Harvey, "Eh vey. Itu ibu-ibu siapa ya? Kok ngelihatin sini melulu?"

"Itu mamaku." Jawab Harvey ogah-ogahan, "Beliau dapat undangan rapat komite SMU."

Teman Harvey nyengir lalu dengan gaya selengekannya mendadak ia mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil meneriakkan kata Tante sekeras-kerasnya.

Harvey reflek menggebuk kepala temannya pelan, "Idiot."

"Eh goblok. Kenapa marah? Mamamu kan cuma kusapa doang! Emang kenapa sih?"

Harvey menghela nafas, menutup jendela kelasnya lalu duduk di kursinya. Berusaha menepis perasaan jengkel campur was-was. Semua karena Harvey kenal ibunya dengan baik, hingga sialnya ia bisa menebak kira-kira apa yang akan di lakukan ibunya setelah kejadian barusan dan sayangnya lagi, semua tebakannya selalu jadi nyata.

Esoknya teman Harvey dan Harvey sukses di sidang guru BK hanya karena kemarin sekedar duduk di depan kelas dan melongok dari jendela saat jam pelajaran kosong. Tidak butuh waktu lama, teman Harvey langsung tau siapa tukang ngadunya.

"Mamamu kan?"

"Iya."

"Wah payah." Teman Harvey memutar bola mata sengit, "Mamamu nggak asik bre.."

Harvey mengangguk. Memang.

Tapi itu belum seberapa. Karena tak berapa lama setelah ibunya diundang untuk rapat komite, seluruh korden sekolah Harvey di ganti dari warna merah menjadi hijau. Hanya karena ibu Harvey orang yang paling vokal tidak setuju warna merah muncul di dalam ruang kelas dengan sejuta alasan medis, kesehatan dan psikologi yang sebenarnya dalam prakteknya siswa SMU nggak ada yang peduli warna korden kelasnya apa.

Termasuk pergantian jenis sabun pel dan desinfektan yang di gunakan oleh  CS dan yang paling viral mengomentari kondisi kantin sekolah yang bagi seluruh siswa sudah sangat nyaman dan damai, tau-tau di rombak tata letak dan peraturannya.

"Mama mu segitunya amat sih?!" Protes beberapa anak ke Harvey.

Harvey lagi-lagi hanya bisa menggertakan gigi walau barusan itu komentar tersopan soal ibunya yang sejauh ini Harvey dengar.

Ibunya jelas bukan wali murid paling kaya di sekolah. Bukan pemegang jabatan ketua yayasan seperti di film roman picisan. Hanya seorang wali murid terkenal rese' yang kecerewetannya hanya bisa di redam dengan di kabulkan keinginannya daripada para guru sekolah sakit kepala berkepanjangan.

Si paling power syndrome, egois, kepala batu.

Yang sayangnya, sekalipun dunia Harvey runtuh, dia tetaplah ibu Harvey yang selamanya tidak akan pernah berubah.

..............

"Kamu pikir saya nggak akan tau kalau kamu mau kabur diam-diam malam ini?" Ucap Harvey setelah matanya bertatapan dengan Mio yang baru saja mengendap-endap menuruni tangga.

"Saya nggak kabur diam-diam. Saya sudah pamit dengan Tante, pak Rohmat dan Bu Darsih." Balas Mio. Memaksakan diri berjalan sambil menarik tas koper belelnya yang robek sedikit.

"Terus tujuan kamu kemana jam 3 pagi?"

Mio berhenti berjalan, menoleh menatap Harvey dengan tak sabar. Mungkin niat Mio untuk tampak galak dan mengancam tapi di mata Harvey, Mio malah jadi kelihatan lucu.

"Menurut kamu seluruh pengurus rumah ini bakal biarin kamu pergi begitu aja jam tiga pagi?"

"Iya."

"Kalau memang iya. Mereka semua nggak akan berombongan memberitahu saya soal ini."

Mio berhenti berjalan, menoleh kembali menatap Harvey. Terkejut, "Pak Rohmat yang ngasih tau mas Harvey?"

"Saya sudah bilang, semua. Semua pengurus rumah ini khawatir dengan kamu Mio."

"Tapi.." Selama beberapa detik Mio menggigit bibir cemas sebelum perlahan ia memutuskan kembali berjalan menuju keluar pintu rumah Harvey. Diikuti Harvey dari belakang.

Dalam beberapa langkah, Mio dan Harvey melihat bahwa seluruh pengurus rumah kini berdiri di depan gerbang. Berusaha melepas kepergian Mio setenang mungkin walaupun beberapa dari mereka bermata sembab karena khawatir.

Harvey cukup sopan untuk membiarkan Mio berpamitan dengan semua orang yang menunggunya. Dua setengah bulan bukan waktu yang sebentar dan Harvey tau Mio sudah meninggalkan kenangan yang cukup membekas untuk semuanya.

Sikapnya, Celetukannya yang lucu dan keberadaannya yang menimbulkan rasa sayang.

Mio punya itu semua.

"Biar mas Harvey yang ngantar mbak Mio ke bandara ya?" Bisik Bu Darsih sesenggukan. Bagaimanapun semua orang disini terlalu takut mengeluarkan suara terlalu keras yang bisa membangunkan ibu Harvey.

Mio tersenyum putus asa melirik Harvey yang tersenyum penuh kemenangan.

"Nanti jangan lupa kirim pesan ya mbak kalau sudah mau naik pesawat ke Serasan." Bisik yang lainnya bersahut-sahutan.

Harvey melihat Mio mengangguk-angguk tanpa berkomentar. Ya memang agak susah menjelaskan panjang lebar kalau memesan tiket pesawat tidak secepat dan semudah memesan tiket bus patas. Apalagi yang tujuannya ke pulau Serasan.

Acara perpisahan ini tidak berlangsung terlalu lama. Karena waktu sebentar lagi akan menunjukan pukul empat dan di rumah Harvey jam empat setara dengan jam enam normalnya manusia mulai beraktivitas. Artinya Harvey harus segera membawa Mio pergi sebelum ibunya terbangun.

Terlebih, walaupun tadi malam ibunya tidak menjawab apa-apa saking marahnya, Harvey yakin seratus persen bahwa otak beliau sedang berputar menimbang. Menerka seluruh rencana Harvey sebelum menggagalkan semuanya dengan cara beliau sendiri.

"Ayo Mio." Panggil Harvey sambil membuka pintu penumpang mobilnya dengan senyum penuh kemenangan.

Mio termenung selama beberapa detik sebelum menghela nafas kalah. Ia membalik badan, memeluk seluruh pengurus rumah Harvey sebelum dengan berat hati masuk ke dalam mobil.

"Gimana perasaanmu sekarang?" Tanya Harvey ketika mobilnya mulai melaju menembus jalan yang masih gelap.

"Baik." Jawab Mio, mata sembabnya melengkung, pipinya merona dan bibirnya tersenyum tulus. Kembali menjadi Mio yang biasanya. Anak tegar yang seperti tidak punya masalah apapun dalam hidupnya.

Harvey terperangah. Tanpa sadar berkata, "Kamu masih bisa senyum...."

Mata Mio membulat dan ia berkata sambil tertawa, "Kalau kamu nggak pernah merasa memiliki sesuatu kamu nggak akan pernah merasa kehilangan."

Catatan Mio Where stories live. Discover now