Part 30

679 100 2
                                    

Harvey mengetuk-ngetukkan kakinya dengan gemas ke lantai. Khusus malam ini waktu seakan berputar sangat lambat. Sedari tadi mata Harvey terus saja menatap jam digital  hitam yang menempel di sisi kiri ranjang tempat tidurnya. Berharap waktu segera menunjukan pukul sebelas malam.

Pada akhirnya, waktu berlalu. Dengan cepat Harvey melangkahkan kaki menaiki tangga tanpa suara. Mengetuk pintu kamar Mio sambil membawa kotak obat yang sudah ia siapkan. Sayang, semenit dua menit pintu kamar Mio tidak juga terbuka.

"Mio? Buka pintu kamar." Ancam Harvey halus, "Atau saya buka paksa."

Tetap tidak ada jawaban. Jemari Harveypun menyentuh ganggang pintu dan membukannya dengan mudah. Pintu kamar Mio tak terkunci.

Harvey familiar dengan kamar tamu yang di pakai Mio. Satu ranjang king size, lemari pakaian Mahogany dan kaca sangat besar seukuran satu kali dua meter di bingkai kayu jati menempel di dinding putih. Tidak ada yang berbeda kecuali, Mio tidak ada disana. Di sudut manapun.

"Mio?" Panggil Harvey dan jantungnya mulai berdetak lebih cepat, "Mio?!" Kini Harvey membuka pintu kamar mandi dan kamar mandi Mio pun kosong.

Hati Harvey mencelos. Sekalipun ia bisa melihat tumpukan kecil baju Mio masih ada di atas meja kaca tetap saja; ada rasa ketakutan seandainya Mio pergi dari rumah ini tanpa pamit.  Sekalipun itu yang diinginkan oleh Harvey, tapi bukan begini yang ia rencanakan dan bukan begini caranya.

Harvey menyentuhkan kakinya di lantai kamar mandi, sedikit lembab. Artinya Mio belum lama ini menggunakannya. Mungkin, Mio masih belum terlalu jauh darisini.

Dengan segera Harvey langsung berlari, nyaris melompati empat anak tangga sekaligus. Untungnya ia sudah terbiasa untuk bergerak cepat tanpa suara di rumah ini.

Harvey mengecek pintu utama gerbang rumahnya. Masih tergembok rapih. Kemudian ia melempar pandangan kesekitar. Mio tidak ada di manapun dalam bangunan rumah dan pagar tembok rumah Harvey terlalu sangat tinggi untuk di lompati kabur. Maka kemungkinan besar Mio ada di sudut taman.

Tak berapa lama, Harvey betul-betul menemukan Mio. Sedang duduk berjongkok dengan rambut berurai panjang sepinggang di depan tanaman yang Harvey tidak paham namanya.

"Mio!" Panggil Harvey, "Mio?!"

Mio menoleh terperanjat kaget. Ia sampai jatuh terduduk di tanah, "Mas Harvey." Bisiknya kaget.

"Kamu ngapain malam-malam di kebun?!" Tanya Harvey sambil perlahan membantu Mio berdiri dari posisi jatuhnya.

Mio membelalak matanya kemudian mulai tersenyum, "Mio ngumpulin ini.." sambil menunjukan beberapa potong bunga ungu di telapak tangannya.

Kini gantian Harvey yang membelalakan mata, "Apa ini?"

"Bunga Telang."

Harvey menyipitkan matanya, "Huh?"

"Bunga Telang, obat sakit perut dan kembung."

"Mio?"

"Hmm...?"

"Jangan pernah petik bunga atau daun apapun di depan siapapun apalagi depan ibuku."

"Kenapa?"

Harvey mendengus, "Nanti kamu di kira mau ngadain ritual."

"Ritual apa?"

Nyantet, seru Harvey dalam hati karena ia terlalu lelah untuk menjelaskan apapun yang di lakukan Mio sekarang, sekalipun cuma nyabutin bunga bisa di kira itu nyarat ilmu pelet oleh ibunya, "Juga jangan keluar malam-malam. Kalau butuh obat nggak usah ngeracik sendiri. Kamu tinggal minta saya."

"Tapi saya bisa membuat obat saya sendiri. Nenek saya yang mengajari. Beliau tabib."

Tabib, Harvey mengangguk lempeng tapi tertawa terbahak-bahak dalam hati. Ia sudah lama sekali tidak mendengar kata tabib. Terakhir ia dengar sekitar tiga puluh tahun lalu dalam film kungfu yang ia tonton saat kecil.

Bibir Harvey bergerak susah payah dalam usahanya meredam tawanya demi kesopanan saat berkata, "Saya sudah sangat lama tidak dengar kata tabib."

"Iya tabib." Mio mengangguk angguk. Mukanya serius. Membuat Harvey buru-buru menutupi wajahnya dengan telapak tangan supaya ia nggak kelihatan nahan ketawa.

"Hmm." Harvey berdehem. Perutnya sampai keram dalam usahanya menahan tawa, "Jadi kamu suka belajar ilmu pengobatan tradisional?"

"Saya suka ilmu kedokteran."

Harvey mengulum senyum, "Kamu ingin jadi dokter? Kenapa?"

"Karena dokter itu hebat." Jawab Mio.

"Apa bagi kamu semua dokter itu hebat? Berwibawa? Baik? Gimana dengan Melanie atau ibu saya?" Pancing Harvey.

"Saya belum pernah nyelamatkan nyawa satu orang pun. Sementara Tante, mas Harvey dan mbak Melanie sudah pasti pernah. Artinya, mereka jauh lebih hebat dari saya kan?"

Catatan Mio Where stories live. Discover now