Part 58

325 60 1
                                    

Altair memejamkan mata, ekspresi wajah Mio kembali terbayang jelas. Ekspresi wajahnya sewaktu itu; saat mendengar Altair memintanya untuk tidak menerima uang Panai dari siapapun. 

Senyum mekar nya langsung berubah layu, mata berbinarnya meredup.   Ekspresinya gelisah. Mio tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menatap langit seakan berpamitan untuk menyerah.

Malam itu berakhir tanpa solusi dalam kesunyian yang di sengaja. Langkah yang di percepat. Tergesa-gesa. Altair sadar, untuk Mio segalanya pasti tidak semudah itu. Dengan segala fakta yang ada. Mio memang tidak punya banyak pilihan. Lebih tepatnya malah; hampir tidak ada pilihan. 

Malam itu juga, setelah mengantar Mio. Altair bergegas kembali mess, lalu kembali lagi membawa kamera termahal yang Altair punya dan menitipkan benda itu pada nenek Mio. 

Tiga hari kemudian, Altair dengar, Mio sudah menerima kamera itu, meletakkannya di atas rak neneknya dan mengabaikannya.

Kabar itu membuat Altair mentertawakan diri sendiri.   Mempertanyakan logikanya. Altair masih belum bisa jelas menyimpulkan sebetulnya kenapa ia menjadi sebegitu pedulinya pada Mio. Yang Altair tau, setiap ia memejamkan mata, bayangan Mio yang selalu ada. Menjadi sebuah enigma bahwa seringkali hal paling misterius itu memang berasal dari diri sendiri.

Sayangnya, waktu Altair tidak banyak. Dalam hitungan hari ia harus berdinas di rig tengah laut dan tak akan kembali selama berbulan-bulan. Berkejaran dengan waktu, Altair kembali menyempatkan datang. Berharap orang yang paling ingin Altair lihat, ada.  Berharap sesuatu terjadi hingga Altair bisa dengan yakin memutuskan; harus diapakan perasaannya. 

Kenyataan, semesta memang berkehendak. Sejalan dengan hamburan kapuk kapas berbulan-bulan lalu.  Malam ini, Altair kembali membuka mata. Menatap kembali seseorang yang selalu mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. 

Mio tertidur di atas meja kayu tua lapuk di ruang praktek neneknya. Tangannya terlipat di depan wajah sambil memeluk kamera Altair.

Biasanya Mio selalu memakai pakaian berlapis. Celana dan baju kebesaran di balut jaket tapi sekarang ia hanya memakai baju putih tipis kusam terusan selutut. Rambutnya yang biasanya selalu ia sanggul berantakan juga ia biarkan tergerai. 

Bukan dari perubahan penampilan Mio yang mengganggu Altair. Bukan karena disamping Mio duduk neneknya yang mendongak terkejut bercampur takut namun langsung tersenyum ketika tau Altair lah yang berdiri di depan pintu.

Bukan karena tempat itu berantakan.  Luluh lantak seperti sehabis diterpa gempa. Beberapa kursi tergeletak miring, beberapa ada yang patah. Lemari jatuh di lantai. Isi kotak obat tradisional milik nenek Mio berserakan berantakan. Salah satu lemari terbuka, isinya berhamburan.  

Tapi karena; Mio terlihat lebih parah  dari itu semua. Ia seperti korban gempa sungguhan. Baju tipisnya tak bisa menutupi sebaik pakaian panjang yang selalu ia pakai. Sekujur tubuh Mio penuh bekas luka lebam. Bukan luka jatuh. Tapi pukulan benda tumpul. Merata dengan usia luka berbeda-beda, kecuali di bagian wajah.

"Mio. " Bibir Altair bergerak pelan tanpa bisa di cegah. Hatinya ngilu, sakit sekali.

Mendengar nada suara Altair, nenek Mio membalas tersenyum muram dengan jemari tidak berhenti mengelus rambut Mio yang masih tertidur. 

"Nak Altair datang sewaktu nenek berdoa." Ucap nenek pelan, lembut. 

"Apa saya menganggu?" Tanya Altair. Nafasnya sedikit memburu, jantungnya berdenyut nyeri dengan sejuta perasaan yang menghantamnya dalam sekejap. 

Nenek menggeleng, "Justru nenek bahagia, karena artinya kamu jawaban dari doa nenek selama ini."

Catatan Mio Where stories live. Discover now