Part 46

529 88 0
                                    

"Bisa tolong buka sweater mu?" Tanya Harvey sopan, memecah keheningan yang mengambang cukup lama.

"Eh?" Mio terperanjat mundur. Memeluk tubuhnya sendiri. Menjauhi Harvey dengan raut panik lucu.

"Kamu pakai kaos kan di balik Sweeter?"

Mio mengangguk-anggukkan kepala. Gugup tapi takut, "Kenapa? Buat apa?"

"Saya mau periksa lukamu. Susah kalau kamu masih pakai sweater."

"Saya benar-benar sudah sembuh kok."

"Ya." Harvey menatap Mio dengan tak sabar, "Tapi saya periksa dulu."

"Nggg..."Mio menggigit bibirnya dan wajahnya merona semakin merah, "Tapi saya belum pernah hanya pakai kaus di depan mas Harvey."

"Ya, yang penting kamu tetap pakai baju." Jawab Harvey. Perlahan Harvey bergerak mendekati Mio. Mengabaikan desiran yang mulai muncul ketika Harvey menatap mata Hazel Mio dari dekat, "Apa perluh harus saya yang melepas?" Ancam Harvey dengan nada sesopan mungkin.

"Nggak. Nggak. Nggak." Mio menggelengkan kepala panik lalu dengan berat hati melepas sweaternya.

Mio memakai kaus putih di balik Sweater. Masih secantik tadi. Lebih cantik sebetulnya. Bisa jadi langkah berbahaya untuk Harvey. Faktanya, Mio pasien tercantik yang pernah Harvey hadapi.

Harvey menarik nafas. Memusatkan pikiran. Melihat seluruh luka Mio di lengan dan kakinya. Hanya sebatas itu. Walau Harvey curiga Mio masih punya banyak luka lain di punggung dan badannya.

Jemari Harvey meneliti. Hasrat, pesona yang campur aduk menggebu terselubung gerakan pemeriksaan yang profesional. Mengambang di udara. Menjadi pekat. Helaan nafas yang mulai memburu dan jantung yang berpacu. Harvey bisa melihat semua. Gerakan kecil, perubahan emosi, rona pipi yang berubah.

Mio duluan lah yang kalah. Mio mengerang kecil karena ujung bibir nya terluka saking kuatnya ia menggigit bibir. Perlombaan ini berakhir. Harvey menunduk menarik pipi Mio supaya Mio menatap matanya lebih dekat dari sebelumnya.

Godaan ini terlalu besar. Hanya berdua bersama seseorang yang segala hal dalam dirinya sangat menarik itu berbahaya. Menjebolkan seluruh akal sehat dan pertahanan.

Di depan Harvey. Mio memejamkan matanya rapat-rapat, memeluk bantal. Defensif, panik. Serupa anak kecil yang akan Harvey suntik saat imuniasi. Gerakan kecil menggemaskan, takut, khawatir was-was bercampur aduk menjadi satu. Tingkahnya yang lucu. Menyenangkan. Perasaan kehilangan. Semuanya menari-nari bagai kabut dalam ruangan ini.

Detik itu Harvey tau; Ia tidak akan bisa melepaskan Mio selamanya. Terlepas dari perasaan yang sudah lama tidak Harvey rasakan. Candu yang mengingatkannya pada cinta pertama. Perempuan pertama setelah belasan tahun Harvey tidak lagi mengenal apa itu perasaan sayang.

Rasa kehilangan dan insting untuk menjaga seseorang yang jauh lebih lemah.

"Saya nggak akan mencium orang yang terang-terangan nutupin wajahnya dengan bantal dengan muka ketakutan. Kecuali kalau memang diberi ijin." Ledek Harvey, berusaha tertawa mengejek senatural mungkin walaupun harga dirinya sedikit berantakan, "Dan sekarang saya memang mau minta ijin mu, Mio. tapi untuk memfoto semua lukamu."

"Apa?" Mio buru-buru memundurkan tubuhnya kebelakang tapi dengan segera di tarik oleh Harvey.

"Atau kamu boleh datang ke rumah sakit saya. Saya bisa bantu kamu melakukan visum."

"Jangan! Saya nggak mau bawa-bawa polisi untuk masalah keluarga saya."

"Itu kenapa segalanya jadi lebih sulit." Ujar Harvey tak sabar, "Bekas lukamu masih tampak jelas. Ini semua masih bisa di foto sebagai bukti dan bisa saya bantu untuk bukti laporan."

"Lapor polisi nggak akan menyelesaikan masalah. Nenek saya pernah melaporkan. Tapi semua balik lagi ke jalan kekeluargaan."

Harvey menggertakan gigi marah. Apa nggak ada satu hal saja yang bisa di lakukan pemerintahan negara ini dengan becus? Nggak cuma kualitas bidang kesehatan dan tenaga kerja yang gembel, ternyata tenaga keamanannya juga nggak kalah banci.

"Yang mereka lakukan itu termasuk tindakan pidana, Mio." Harvey menarik nafas panjang. Berusaha mengatur nada suaranya setenang mungkin walau hatinya bergemuruh.

"Mereka nggak akan di penjara seumur hidupnya kan? Setelah mereka keluar apa yang bakal terjadi?"

"Tapi apa kamu nggak ingin ngelakuin sesuatu?  Untuk dirimu sendiri?"

Mio terdiam sejenak sebelum tersenyum lucu, "Saya pernah cerita ke mas Harvey kan soal bintang jatuh?"

"Ah." Harvey tersentak, kaget oleh pertanyaan Mio yang tak terduga, "Ya."

"Dari sekian juta orang. Tuhan pilih saya diwaktu itu untuk melihat itu semua. Di saat saya paling sedih. Paling marah. Saat itu saya sadar; hidup manusia paling hanya enam puluh, tujuh puluh tahun? Sementara sekarang usia saya sudah dua puluh tahun. Saya tinggal punya waktu mungkin dua puluh, tiga puluh tahun lagi, kalau beruntung; untuk hidup."

"Waktu kecil, saya balas mukul setiap saya di pukul. Berulang-ulang. Bertahun-tahun. Tapi makin lama saya sadar. Pemberontakan saya nggak ada artinya dan saya nggak suka ngelakuin itu."

"Selama ini saya juga selalu berubah-ubah pikiran. Bingung dengan pilihan yang harus saya ambil. Tapi sekarang saya sadar; Sudah seharusnya, hutang Budi itu tetaplah hutang yang harus di bayar."

"Walaupun om Tante saya berbuat begitu saya tetap punya hutang budi pada mereka; bagaimanapun mereka memenuhi kebutuhan saya dari kecil. Saya tidak pernah kelaparan dan saya juga punya rumah untuk pulang. Kalau saya selalu melihat mereka dari sisi yang buruk. Kebaikan mereka nggak akan pernah saya lihat."

"Saya juga tidak begitu kenal mas Altair, tapi hutang Budi saya berkali-kali lipat pada beliau. Juga semua yang beliau lakukan ke saya itu yang terbaik yang bisa saya terima sekarang. Beliau hampir mengorbankan semuanya juga untuk saya; orang yang beliau tidak begitu kenal baik juga."

"Mio." Potong Harvey geram, kini ia tidak lagi berusaha menyembunyikan emosi nya dalam nada suara, "Orang dengan pikiran seperti kamu; alasan kenapa domestik violence tidak pernah hilang."

Mio menelengkan kepalanya tersenyum dengan gaya lucu kekanakan, "Bisa jadi." Jawabnya ringan.

Sorotan mata Harvey berubah semakin dingin, "Ini bukan saatnya kamu senyum. Sebelum kamu bisa jawab; lalu bagaimana kamu bayar hutang budi mu ke saya?"

Mata Mio mengerjap sesaat sebelum ia berkata perlahan, "Saya bakal pergi dan nggak akan pernah kembali lagi didepan mas Harvey, selamanya."

Catatan Mio Where stories live. Discover now