Part 57

483 68 23
                                    

Ini pertama kalinya Altair memasuki rumah beberapa penduduk dusun keseseh.  Rumah-rumah di dusun keseseh ini jauh berbeda dari rumah di dusun tempat Mio dan neneknya tinggal. Dusun ini jauh lebih terbelakang. Lebih gelap dan lebih kumuh.

Disini lebih banyak rumah berdiri doyong miring kanan kiri. Rumah khas kampung nelayan. Kebanyakan bangunan terbuat dari anyaman dan kayu. Perabotan didalamnya pun tidak matching dari ujung ke ujung seakan di jejalkan begitu saja seadanya tanpa memperhitungkan estetika. Lantai rumah kebanyakan masih tanah, batu atau hanya adukan semen. Belum termasuk rumah-rumah penduduk dengan fungsi ganda; sebagai rumah sekaligus kandang.

Rumah pertama yang di datangi Altair; tempat Altair harus beramah tamah dengan seorang bapak-bapak tua beserta ayam-ayam peliharaannya yang tidur cantik di atas sofa ruang tamu berbau busuk tepat di samping Altair duduk.

Rumah kedua, ruang tamu yang disulap multifungsi sebagai kandang kambing. Baunya luar biasa dan sungguh alami dengan suara mbeek bersahutan. Lagi-lagi Altair dengan besar hati meminum teh yang disuguhkan walaupun Altair yakin betul itu pasti air yang sama yang di minum kambing peliharaan sang tuan rumah.

Altair tidak banyak bicara sepanjang plesirannya dari rumah ke rumah. Ia hanya duduk diam manis mengamati. Karena setiap ia buka mulut, perutnya terasa semakin di aduk-aduk. Bau setiap rumah dusun ini nggak enak dan Mio dengan jujurnya menambahkan info; jaringan Pam air di dusun ini berantakan. Air sering mati. Jadi warga berinisiatif sepakat mufakat untuk mandi minimal tiga hari sekali, kalaupun ingat.

"Ini rumah terakhir kan?" Ucap Altair ketika langkah kakinya dan Mio sampai di sebuah rumah paling bagus di antara beberapa rumah lain. Setidaknya rumah yang ini tidak hampir roboh.

"Iya."

"Kenapa?" Altair melirik Mio. Mengamati perubahan suasana hatinya yang terpampang jelas di wajah. Sedari tadi Mio tampak gembira. Senyumnya tulus dan jalannya bersemangat, tapi didepan rumah ini rautnya seketika berubah muram, "Ada masalah? Ini rumah siapa?"

"Mbah subur." Ujar Mio singkat, "Kepala dusun. Orang yang paling di tetuakan di pulau Serasan."

Altair tersentak, ingatannya tumpah, "Tunggu sebentar." Ujar Altair tegas, menghalangi jalan Mio, "Apa beliau juga salah satu orang yang menawarkan uang panai ke kamu?"

Wajah Mio langsung berubah lebih pucat, "Mas tau darimana?"

"Jadi betul?"

Mio mengangguk singkat. Canggung, tidak nyaman. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi ia berjalan mendekati pintu kayu dan mengetuknya.

"Biar saya yang berdiri di depan." Ujar Altair sembari memposisikan dirinya di depan Mio tepat di saat yang sama seorang perempuan tua membuka kan pintu.

Perempuan itu tampak kaget karena dihadapannya langsung berdiri Altair yang tinggi badannya hampir memenuhi semua bagian atas pintu. Sebelum tatapannya jatuh pada Mio dan senyum beliau mulai sedikit merekah. Mereka berdua langsung berbasa-basi sebentar dalam bahasa Melayu yang Altair tidak pahami. Tak berapa lama dengan ramah ibu itu mempersilahkan Altair dan Mio masuk ke dalam rumah.

Bagian dalam rumah Mbah subur ternyata memang jauh lebih bagus dari rumah yang lain dan juga lebih ramai. Begitu Altair dipersilahkan duduk, dirinya langsung disambut oleh beberapa perempuan di ruang tamu. Ada tiga orang. Dua di antaranya membawa bayi dan ibu yang tadi membuka pintu saat ini juga menggendong seorang anak perempuan masih balita. Mereka pun kompak memperkenalkan diri sebagai istri dari Mbah subur.

Altair meringis ngeri. Imajinasinya membuncahkan gambaran immoral yang tidak sepantasnya. Untungnya Mbah subur sedang tidak berada di rumah sekarang. Kalau tidak, sudah pasti Altair mustahil bisa mengontrol raut wajah jijiknya.

Altair baru bisa berbicara dengan nada normal ketika dirinya dan Mio sudah keluar dan berjalan menjauh dari rumah Mbah subur, "Mio?" Panggil Altair pada Mio yang sedari tadi hanya berjalan terdiam menatap langit.

"Ya mas?" Mio menoleh menatap Altair.

"Kalau boleh saya tau, seberapa banyak orang yang sudah melamar kamu sampai detik ini?"

"Tidak tau. Saya tidak hitung."

Altair mengerutkan kening tak puas namun memutuskan untuk melanjutkan bertanya, "usiamu sekarang berapa?"

"24, tahun ini."

"Kamu masih terlalu muda untuk menikah."

"Kalau disini; saya sudah terlalu tua untuk menikah."

"Tapi diantara semuanya yang melamar kamu, apa ada satu orang yang benar-benar kamu mau?" Tanya Altair tanpa basa-basi.

"Nggak ada." Jawab Mio pendek dan matanya kembali menatap langit.

Mau tidak mau Altair ikut menatap langit. Pemandangan langit Serasan masih se spektakuler biasanya. Langit disini memang berbeda. Tidak ada polusi udara atau polusi cahaya. Galaksi Bimasakti terpampang jelas. Seperti aliran sungai di langit. Salah sedikit dari hal yang di sukai Altair dari pulau Serasan.

"Kamu suka bintang? Kadang saya motret bintang-bintang dari rig tengah laut. Kapan-kapan saya tunjukan foto-foto milik saya."

"Mas Altair bisa foto bintang? Setiap saya motret bintang. Bintangnya tidak kelihatan!" Seru Mio, mendadak matanya berbinar. Terang sekali. Serupa bintang pula, membuat Altair bangga ia sukses memancing seluruh perhatian Mio kali ini.

"Saya pakai kamera DSLR view finder dan auto fokus."

"Apa itu?"

"Besok saya ajarkan kamu caranya."

"Jadi besok mas Altair datang lagi ke penginapan saya?"

"Ya." Altair mengangguk, "Kalau kamu berkenan."

"Ya! Ya! Saya mau belajar!" Seru Mio semangat. Wajah gelisah layu nya mekar sumringah. Ia mendongak menatap Altair. Mata Hazel Mio bulat besar, bibirnya tersenyum lucu, sementara tangannya bergerak terkepal di depan dada seperti anak kecil.

Altair tersenyum sebelum bergumam dengan nada tegas namun tenang, "Saya janji bakal ngajarin kamu sampai kamu bisa. Tapi sebagai syaratnya; saya minta kamu jangan terima uang panai dari siapapun selama saya masih ada mengajar kamu."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang