Part 31

662 104 4
                                    

Harvey tersenyum, "Kalau gitu, kenapa kamu nggak jelaskan ke saya tentang jenis-jenis tanaman yang kamu temui dihalaman ini dan kegunaannya?"

Kalimat Harvey membuat mata Mio berbinar, seperti saat ia membicarakan tentang bintang, "Mas Harvey beneran mau tau?" Tanyanya heran.

Harvey tergelak, "Ilmu itu bisa dari mana saja kan?"

Harvey mulai berjalan mengelilingi halaman rumahnya mengikuti Mio yang berbicara sambil menunjuk tanaman-tanaman disekitarnya. Menyebut semua namanya dengan fasih. Juga kegunaannya mulai dari akar, bunga hingga daun. Pengetahuan Mio membuat Harvey tercengang. Tersihir oleh cara berbicara Mio. Mio bukan anak perempuan yang selama ini pernah Harvey temui. Ia punya pengalaman dan cerita yang tidak banyak orang tau. Sesuatu yang asing, yang tak terduga.

"Jadi selama ini kamu tinggal dengan nenek kamu? Gimana dengan keluargamu yang lain?" Tanya Harvey  di tengah-tengah percakapan.

Binar mata Mio dengan cepat seketika meredup, "Ada tante dan om saya." Jawabnya gelisah.

"Gimana dengan orangtua kamu?"

"Orangtua saya sudah lama meninggal."

"Maaf." Gumam Harvey dengan cepat. Merasa bersalah. 

Mio mengangguk tanpa ekspresi, "Saya pindah dengan nenek saya dari Jawa ke pulau Serasan setelah papa saya meningal."

"Kapan?"

"Dari saya kecil."

"Tante dan om kamu punya usaha toko dan  penginapan di Serasan? Apa kamu tinggal dengan sepupumu juga?" Tanya Harvey. Berusaha tampak acuh tak acuh supaya ia tidak terlalu terlihat seperti sangat membutuhkan jawaban. Walaupun Harvey sangat penasaran dengan hidup Mio tapi ia juga takut; sedikit salah nada bicara akan membuat Mio kembali tutup mulut.

"Saya nggak punya sepupu."

"Jadi kamu pasti di anggap anak sendiri."

Mio terdiam, menundukkan kepala kemudian berkata ya singkat.

Kesunyian malam itu kembali bersamaan dengan anggukan terakhir dari Mio. Hanya terdengar suara binatang malam yang bahkan itu tidak bisa kembali mencairkan suasana.

"Apa mereka, Tante dan om kamu yang buat kamu luka-luka seperti ini? Sebanyak ini?"

Mata Mio terbelalak. Terkejut oleh pertanyaan tanpa basa-basi yang di lontarkan Harvey. Harvey sendiri terkejut dengan ucapannya. Tapi bagaimanapun ia sudah tidak tahan lagi. Ia sudah terlalu muak.

"Saya bahkan cuma baru melihat luka di lengan dan kakimu. Gimana dengan luka-luka di badanmu? Apa saya harus memaksa kamu nunjukin semuanya supaya saya bisa obati?" Tanya Harvey dingin.

"Nggak." Mio menggelengkan kepala, mendongak menatap Harvey dan berkata tergesa, "Mas Harvey jangan obati luka saya lagi. Saya bisa sendiri."

Tangan Harvey dengan cepat menggenggam pergelangan tangan Mio, "Saya nggak mungkin biarin kamu. Semua luka-lukamu. Saya nggak tau darisiapa sebenarnya semua lukamu. Tapi pasti ini ada hubungannya dengan kenapa tiba-tiba kakak saya buru-buru ingin menikahi kamu. Saya kenal baik Altair. Dari kecil dia memang selalu memaksakan diri ngelindungi orang yang lebih lemah."

"Kakak saya juga sampai sejauh ini ngelakuin ini semua, untuk kamu. Bahkan melibatkan semua keluarganya. Tapi kamu tetap keras kepala untuk menutupi semua. Apa ini adil untuk saya dan Altair?"

"Tapi....." Mio menggigit bibirnya. Wajahnya ketakutan saat berusaha melepaskan genggaman tangan Harvey dari pergelangan tangannya. Padahal usahanya itu percuma. Harvey terlatih berolahraga setiap hari sejak ia remaja. Usaha Mio tidak ada efeknya untuk standart Harvey, "Tolong lepas...."

Harvey menghela nafas. Suara sedih Mio menggelitik ingatannya. Teringat apa yang sudah di lakukan ibunya dan Melanie. Harvey tidak tau Melanie bicara apa dengan Mio di Gazebo. Walaupun sudah pasti bukan topik yang bagus tapi satu yang paling pasti, Mio sudah cukup tertekan hari ini.

"Kamu bilang, saya hebat karena saya menyelamatkan banyak nyawa. Tapi kenapa kamu tidak mau saya selamatkan?" Ucap Harvey pedih sambil melepaskan genggaman tangannya.

Catatan Mio Where stories live. Discover now