Part 60

337 56 0
                                    

Altair menatap kanan kiri. Deretan rumah mulai menghilang. Perjalanan yang menurut Mio menuju rumah pribadi dokter puskesmas pulau Serasan tidak jauh berbeda dengan pelesirannya ke dusun Keseseh. Sepi, gelap. Hanya ada cahaya bulan menerangi jalan kecil menanjak di keliling hutan.

Altair setuju ia memang tidak paham rute sekitar pulau, tapi ia mempelajari keadaan geografis pulau Serasan sebaik demografisnya. Altair tau, wilayah tempat Mio tinggal walau sederhana, tidak berseni, miskin tapi tempat itu bisa dibilang pusat desa, wilayah metropolitan. Sisanya, daerah sekitar; beberapa dusun, wilayah tertinggal. Jauh lebih miskin tapi masih bisa disebut peradaban kalau di bandingkan daerah selatan pulau.

Kini, Altair tetap mengayuh sepeda pelan menuju arah selatan. Menunggu Mio yang duduk di kursi belakang sepeda untuk bersuara; membongkar alasan kenapa tadi ia bersikeras tidak mau di periksa di fasilitas kesehatan kilang dan kenapa ia berbohong mengarahkan Altair kesini.  

Namun pada akhirnya, Altair sendiri yang terpaksa berhenti.  Memasang standard sepeda sebelum turun. Di depannya jalan aspal sudah berubah menjadi jalan berlubang kasar. Jalan yang berbahaya untuk Mio yang sedang cedera.

"Sekarang sudah jam setengah sembilan malam." Gumam Altair sambil mengecek Jam tangannya kemudian menatap Mio, "Kamu butuh istirahat, Mio."

Tapi Mio tidak balik menatap Altair,  pandangannya jatuh termenung pada Padang rumput luas di atas tebing menggantikan deretan hutan lebat antah berantah tak berpenghuni.  Di balik tebing, suara deburan ombak ganas khas pulau Serasan berkecamuk dihiasi langit gelap  berbintang serupa sungai.

"Kamu sudah pernah kesini sebelumnya?" Tanya Altair, dengan sopan sekarang ia memposisikan diri didepan Mio, meminta Mio turun dari sepeda. 

Pertanyaan Altair membuat Mio tersentak kaget, sesaat ia seperti disorientasi ruang dan waktu. Sampai akhirnya Mio menganggukkan kepala pelan canggung sambil bergumam maaf. 

"Kamu minta maaf karena bawa saya kesini bukannya ke rumah dokter, atau karena alasan lain?"

"Mas Altair tau?" Lagi-lagi Mio tersentak kaget.

"Mio, dokter manapun yang di tempatkan di daerah selalu di sediakan rumah dinas terdekat dengan puskesmas dan puskesmas manapun tidak mungkin ditempatkan di lokasi yang sulit di jangkau."

Mio bergerak gusar, "lalu kenapa mas Altair diam aja padahal dari awal tau?"

"Karena saya sebetulnya tidak tau alasan tepatnya kenapa kamu memilih untuk menunjuk ke arah sini." Ucap Altair sabar, "Saya ingin dengar sendiri jawaban mu. Apa alasannya; karena kamu mengulur waktu sampai sudah terlalu malam untuk bertamu kemanapun, atau kamu hanya asal menunjuk kearah jalan ini, satu-satunya jalan yang mungkin berlawan arah dengan puskesmas atau kamu sebetulnya ingin ajak saya bicara di tempat orang tidak bisa lihat? Banyak, banyak alasan yang saya pertimbangkan Mio."

Jawaban Altair membuat pipi Mio merona merah. Mio buru-buru menundukkan kepala dengan gaya kekanakan. Namun sayangnya, masih tetap tanpa jawaban.

"Kenapa kamu sebegitunya tidak mau ke dokter? Luka-luka mu itu butuh untuk di periksa. " Kali ini senyum Altair luntur dan nada suara Altair berubah lebih menuntut, tidak puas. 

Mio menggeleng, "Karena saya nggak mau. Saya benar-benar nggak mau."

Altair menghela nafas. Menarik tangan Mio, Dengan satu sentakan pelan, Altair sudah menggendong Mio di punggung. Mio benar-benar kecil dan kurus sampai Altair merasa seperti sedang menggendong anak-anak. 

"Mas Altair!" Seru Mio kaget bercampur panik.  Ia memukul punggung Altair dengan tenaga yang tidak ada artinya. 

"Tolong jangan banyak gerak." Altair tersenyum kecut, dalam satu langkah ia melompat dari jalan raya menuju ke padang rumput, "Pemandangan disini bagus, saya ingin jalan-jalan di sekitar sini dengan kamu."

"Tapi saya bisa jalan sendiri!" Suara Mio hampir seperti berteriak. Makin panik. 

"Untuk jalan normal saja kamu kesakitan dan kamu juga nggak mau ke dokter. Jadi saya bisa apa lagi?"

Sunyi senyap sekian detik hingga Mio menghela nafas putus asa, "Kenapa mas Altair sebegitu pedulinya saya ke dokter atau enggak?"

"Saya sendiri tidak tau kenapa saya sebegitu pedulinya dengan kamu." Altair semakin memperlambat jalannya, khawatir Mio terus memaksa melompat turun hingga akhirnya Altair terpaksa menurunkan Mio di atas rumput yang paling datar, paling aman didekat batu di atas tebing, "Tapi saat melihat kamu tidur sambil memeluk kamera saya sementara semua barang di ruang nenek kamu rusak... " Altair terdiam sesaat, hatinya kelu saat ia berlutut menatap mata hazel Mio, bibirnya yang merah pucat dan garis wajahnya yang seperti anak kecil polos tanpa dosa.

Altair belum pernah mengakui ini, malah ia sebetulnya tidak mempercayai ini sampai ia merasakan sendiri,- jatuh hati pada pandangan paling pertama, "Mungkin saya belum pernah bicara banyak dengan kamu, Mio. Tapi saya sering dengar tentang kamu.  Dari orang sekitar saya. Dari nenek mu. Dari manapun.  Dan pasti kamu lebih tidak
mengenal saya daripada saya mengenal kamu. Tapi tolong percaya dengan saya."

Catatan Mio Where stories live. Discover now