Part 34

635 96 2
                                    

Harvey tidak pernah ingat, kapan ia pernah berlari secepat ini dalam rumahnya. Selama ini Harvey selalu berolahraga lari di luar, karena mustahil baginya untuk melakukan semua itu di dalam rumah dengan segala tetek bengek peraturannya.

Yang Harvey ingat, sewaktu kecil ia tidak pernah paham kenapa orang-orang bercerita mereka bisa bangun kesiangan, makan kentang goreng sambil menonton TV di hari minggu, lari-lari di bawah hujan atau sekedar naik sepeda saat sore hari untuk beli jajan.

Bagi Harvey dulu, cerita yang ia dengar tidak masuk akal. Ternyata ada hidup yang seperti itu. Padahal selama ini ia kira, semua anak seumurannya pasti bangun jam empat pagi. Mandi, tidur, makan harus sesuai jam. Makan harus di meja makan. Tidak ada snack sembarangan apalagi mie instan. Belum termasuk jam malam yang ketat. Tidak boleh ada suara saat memindahkan kursi atau meja. Suara TV tidak boleh sampai keluar dari dalam ruangan dan tidak boleh berjalan terlalu cepat apalagi kejar-kejaran bercanda di dalam lingkungan rumah.

Rumah bagi Harvey, bukan tempatnya merasa bahagia. Lebih seperti penjara dengan segala peraturan dan rutinitas yang sama. Begitu terus, konstan. Bahkan menurut Harvey, lingkungan kerjanya sekarang terasa lebih fleksibel dibanding rumahnya sendiri.

Detik ini, Harvey sendiri tidak paham kenapa ia bisa berlari sekencang ini. Dengan semua perasaan takut, khawatir, sedih berkecamuk bercampur aduk menjadi satu. Yang ia tau. Ini puncaknya.  Harvey telah mengambil keputusan dengan segala resikonya.

"Mas Harvey?!" Pekik pak Rohmat kaget begitu Harvey berlari nyaris melompati batu-batu hias yang sedang di tata oleh Pak Rohmat di taman.

"Mas? Mas?!" Panggil Bu Tina entah darimana.

Harvey mengabaikan mereka. Ia hanya fokus pada satu tujuan. Gudang tua dengan pintu tua jelek di pojok halaman terjauh dari segala tempat di rumahnya. Gudang itu selalu Harvey hindari. Disana, tempat Pak Rohmat meletakan berbagai jenis pupuk, tanah, peralatan berkebun. Tempat itu gelap, sempit,panas, lembab, tanpa jendela. Membawa perasaan tidak enak untuk siapapun yang masuk. Bahkan lampu yang di pasang disana, sekalipun baru di ganti pasti selalu rusak dalam hitungan hari.

"Mio?" Harvey dengan cepat membuka pintu.

Seketika, pemandangan itu mengusik Harvey. Mio sedang duduk di lantai keramik tua yang sudah pecah memeluk kakinya yang ia tekuk hingga ke dada. Bersederan lemari besi karatan tempat Pak Rohmat meletakan pisau, celurit, pacul dan segala benda berkebun yang tajam. Wajahnya pucat dan basah air mata. Mio menangis tanpa suara.

"Mas Harvey." Bisiknya.

Harvey terpaku. Matanya membelalak lebar dan bibirnya hanya terbuka tanpa suara.

"Maaf mas, pintunya nggak bisa di buka. Saya sudah teriak daritadi. Tapi nggak ada yang dengar. Cuma mas Harvey..."

Harvey berjalan mendekat. Perasaan bersalah menghantamnya, "Sudah berapa lama kamu disini?"

"Maaf." Mio menggeleng, "Saya tidak tau."

Harvey memincingkan mata, "Kenapa? Kenapa kamu terus-terusan minta maaf?!" 

Mio terisak, "Karena saya nggak tau kenapa saya bisa kekunci didalam. Saya pikir nggak ada yang sadar saya kekunci. Saya kira, nggak akan ada yang bakal nemuin saya. Sampai malam. Maaf..."

"Jangan minta maaf lagi." Harvey beranjak maju. Ia sudah tidak tahan lagi. Dengan cepat lengannya merengkuh Mio. Melindunginya dalam dekapannya.

Catatan Mio Where stories live. Discover now