Part 51

426 87 9
                                    

Altair menghela nafas. Adakalanya ia benci ikut campur dalam urusan orang lain. Tapi ada kalanya pula, ia tidak bisa diam saja jika ia melihat secara langsung orang yang di lukai secara fisik. Bisa jadi karena ia tumbuh dalam keluarga dokter. Orang-orang yang peduli pada eksistensi fisik seseorang.

Altair mengayuh sepedanya, dengan sengaja perlahan memangkas jarak antara dirinya dan perempuan itu yang kini di tinggalkan begitu saja oleh pelakunya, perempuan itu berdiri terdiam sesaat dengan kepala tertunduk sebelum berjalan menyusuri teras penginapan. Seakan dia tidak baru saja di pukul sekeras itu. Seakan tidak terjadi apa-apa, masih dalam hamburan kapas dan sinar matahari senja.

Lalu perempuan itu mendadak berbelok, menuju sebuah toko tepat di samping bangunan penginapan. Toko itu berbentuk bangunan tua. Cat putihnya sudah berubah menjadi kekuningan, sedikit berjamur hitam di bagian bawahnya. Dengan banyak macam barang jualan bergelantungan dari atas. Sesuatu yang Altair harus perhatikan dengan memperhitungkan tinggi badannya yang sekitar 186 cm kalau ia tidak mau kepalanya membentur pantat panci secara beruntun.

Altair berhenti. Turun dari sepeda. Menarik nafas satu kali lagi. Berusaha sedatar mungkin saat berjalan masuk ke dalam toko. Bagaimanapun ia tidak akan pernah lupa daftar panjang SOP perusahaan termasuk yang berhubungan dengan warga lokal.

Hal kedua yang menyergap Altair adalah bau menusuk campur aduk tidak enak yang menguar dari dalam toko. Wajar. Dengan barang tua sebegitu banyak. Antara minyak tanah, terasi, ikan asin, sembako, lembab dan bau udara pantai jadi satu.

Anehnya, bau itu mendadak menghilang. Lenyap dalam sekejap ketika tatapan mata Altair jatuh pada perempuan yang memang ia kejar. Waktu berhenti. Sepersekian detik yang aneh. Perempuan itu berdiri di dekat meja counter yang usang jelek. Jelas dia bukan pembeli tapi penjaganya. Matanya tanpa ampun bertubrukan pada mata Altair. Ia menatap Altair hampa sebelum perlahan tersenyum kecil, hanya formalitas, seperlunya.

"Bapak cari apa?" Tanyanya pelan.

Beku di wajah Altair mencair. Perlahan ia berjalan mendekati perempuan itu. Menelitinya dalam jarak sopan. Mencari sesuatu yang ia khawatirkan.

Gadis itu kini mendongak. Matanya bulat besar. Berwajah oriental, berponi rata seperti boneka dengan rambut panjang sepinggang, pipinya merona merah lembut dengan wajah seputih kapas yang tadi berhamburan.

Ini semua agak di luar kendali Altair. Sebelumnya, dari jauh Altair tidak begitu bisa melihat dengan jelas wajah perempuan ini. Sialnya dari dekat, ternyata dia agak keterlaluan cantik. Terlalu di luar prediksi.

Altair menelan ludah. Mengumpat dalam hati, "Saya mau beli obat flu."

Perempuan itu mengangguk, tidak seperti menahan tangis namun sehampa sebelumnya, berjalan ke lemari kaca berdebu, mengambil obat dari dalam sana, menyerahkan obat itu kepada Altair seraya menyebut harga. Gerakan mekanis, autopilot, tanpa nyawa.

Sepelan mungkin Altair mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Memanfaatkan waktu sesingkat mungkin untuk menyusun kalimat. Altair cukup berani untuk berkata secara terus terang, tapi ia sadar ia harus cukup bijak dan hati-hati; karena yang ada di hadapannya bukan gadis ingusan perkotaan umumnya. Tapi warga lokal yang kalau ke senggol sedikit, privasi, lingkungan sosial dan budayanya bisa balik menjadi bumerang untuk semuanya.

"Kalau betadine dan antiseptik, ada?"

Gadis itu menggeleng pelan.

"Lalu kalau ada luka, saya harus beli obat dimana?"

"Ada lidah buaya di samping toko. Kalau bapak berkenan bisa saya ambilkan."

"Ah." Altair menggeleng singkat, " Jadi obat apa saja di jual disini selain obat flu?"

"Ada plester luka."

"Ya itu juga tidak apa-apa." Altair mengangguk, "Saya beli semua plester yang di jual disini."

Gadis itu membulatkan mata sedetik sebelum mengangguk. Bahkan gerakan sekecil itu membuat wajahnya lebih cantik, mata coklat Hazel, yang membuat Altair mengumpat lebih kasar dalam hati.

Gadis itu kembali lagi ke lemari kaca mengambil plester dari dalamnya. Padahal didalam sana ada bertumpuk-tumpuk barang yang kalau Altair harus cari sendiri sudah pasti ia baru akan menemukan plester itu nanti malam.

"Ini..." Ucapnya sambil menyodorkan sekotak plester.

"Tunggu sebentar. Ini bukan untuk saya." Ucap Altair tanpa senyum, balik menyodorkan kotak plester luka, "itu untuk kamu semua."

"Huh?" Gadis itu menelengkan kepala. Suara terkejutnya terdengar lucu. Terkadang tuhan memang bisa tidak adil secara fisik. Karena jelas tuhan menghadiahinya suara dan rupa semanis gulali lebih dari semua orang yang Altair pernah kenal, "Kenapa?"

"Saya tadi tidak sengaja lihat kamu di pukul. Saya tau orang-orang di sekitar tadi juga melihat hal yang sama. Walaupun mereka diam saja. Saya tidak tau apa pukulan itu membuat kepalamu luka. Atau ada masalah apa sampai kamu di pukul seperti itu. Tapi menurut saya kekerasan fisik tetap salah. Saya tau, plester luka ini mungkin tidak begitu bermanfaat untuk kamu sekarang, tapi setidaknya kamu harus tau masih ada yang peduli."

Mendengar Altair, mata gadis itu kini bukan hanya membulat namun juga terbelalak. Untuk sesaat bibirnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu sebelum pada akhirnya gadis itu mengatupkan bibirnya dan melangkah mundur satu langkah kebelakang dengan raut defensif.

Bukan berubah menjadi salah tingkah, gugup apalagi terpesona. Jauh dari itu. Tatapan matanya justru menjadi curiga. Membuat Altair ingin tertawa, menertawakan dirinya sendiri sekaligus ekspetasi di luar kendalinya yang tidak sesuai kenyataan.

Catatan Mio Where stories live. Discover now