Part 20

712 102 0
                                    

Harvey melempar pandangan ke sekeliling. Tepat seperti yang Harvey kira. Ibunya adalah sejenis orang yang bakal memesan reservasi makan di tempat seperti ini. Di restauran yang biasa di gunakan oleh para pejabat kantor untuk makan sekalian membahas pekerjaan. Tempat yang terkesan dingin, kaku, tidak ada rasa kekeluargaannya sama sekali.

Tempat Harvey makan saat ini ada di dalam ruang makan kaca kedap udara di pesan khusus pribadi di kelilingi kolam ikan. Meja makannya terbuat dari kayu jati. Berjumlah hanya satu, panjang membentang dua setengah meter seperti meja rapat tanpa pengunjung lain. Hanya Harvey,  Mio, ibu Harvey dan satu laki-laki berumur sekitar enam puluh tahun yang belum pernah Harvey lihat sebelumnya.

"Wah... Ini anak perempuan baik. Pembawa rezeki." Kata laki-laki tua itu yang mengenalkan diri sebagai pak Yahya. Sambil memandangi Mio yang cuma bisa menunduk kikuk sambil menguyah daging kerang simping.

Harvey menggenggam kedua tangannya di atas meja. Bersikap profesional layaknya sedang menghadiri rapat konferensi dokter sambil menatap pak Yahya bicara merempet kesana kemari. Harvey tidak menyentuh makanannya sama sekali. Toh Harvey sudah tidak nafsu makan sama sekali. Justru Mio yang hebat karena ia masih bisa bersikap sopan santun dengan berusaha tetap makan sajian yang tersedia.

"Dia juga bawa keberuntungan." Lanjut pak Yahya sambil cengar cengir menyesap kopi panas yang ia pesan, "Apalagi setelah saya baca weton tanggal lahirnya itu....."

Alis Harvey sontak bertaut. Seketika ia paham kenapa tadi di mobil ibunya tiba-tiba bertanya tanggal lahir, jam, hari lahir Mio beserta nama orangtuanya.

Sebetulnya sih, Harvey sudah mulai menyambung-nyambungkan gelagat ibu Harvey yang tidak biasa semenjak pak Yahya tiba-tiba muncul begitu saja semenit setelah mobil Harvey sampai di restoran. Apalagi dengan dandanan pak Yahya yang sedikit nyentrik, kemeja batik motif jadul, sepatu model om-om jin baru keluar dari teko dan blangkon. Nggak perluh mata batin yang canggih atau kuliah S2 untuk menebak profesi pak Yahya.

"Wah besok kalau jadi menikah yah. Mas Altair bakal punya anak banyak dengan mbak Mio." Kata pak Yahya sebelum melanjutkan kalimatnya dengan pertanyaan yang paling mantab, "Atau kalau mbak mau, saya bisa pasangin susuk sekalian supaya mas Altair tambah sayang?"

Mio sontak terbatuk-batuk. Harvey dengan segera menepuk punggung Mio dan menyodorkan air putih milik Harvey yang sama sekali tidak tersentuh.

"Pak Yahya kenapa nggak terawang saya sekalian?" Tantang Harvey.

"Oh... Mas mau sekalian? Mas sudah punya calon belum?"

Harvey mendengus, "Belum."

"Kalau gitu mau saya terawang tentang hubungan mas dengan rekan kerja saja mas?" Pak Yahya nyengir.

Harvey sontak merinding geli dengan cengiran pak Yahya sambil mengumpat dalam hati, mengutuki dari mana ibunya menemukan dukun tengil model kayak pak Yahya.

"Terawang saya dengan Mio juga."

Pak Yahya terdiam sesaat sementara ibu Harvey langsung meletakan sendoknya di atas meja, berhenti makan, "Buat apa?"

"Saya mau tau saja." Ledek Harvey, sambil menyeringaikan bibirnya. Supaya kelihatan seimbang tengilnya dengan pak Yahya. Antara menghina campur mengancam halus.

Pak Yahya balas menyeringai dan kemudian menjawab, "Sama seperti kalau mbak Mio dengan mas Altair. Mas Harvey juga akan di berkahi rezeki yang banyak...."

"Ya ya pak. Stop stop berhenti." Gertak ibu Harvey kali ini tidak tanggung-tanggung. Beliau sampai meletakan gelasnya cukup keras ke atas meja hingga beberapa kentang goreng jatuh dari piring ke meja.

Harvey melirik ibunya. Menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Sayang sekali, senjata makan tuan. Kalau memang jawaban pak Yahya tidak sesuai dengan harapan ibunya, seharusnya sedari awal pak Yahya di briefing dulu untuk mengatakan hal yang memang ibunya suka.

"Jangan marah-marah di tempat umum." Ucap Harvey sambil tersenyum kecut menatap ibunya.

"MAMA NGGAK MARAH-MARAH." Bentak ibu Harvey kesal sementara mata beliau mendelik jengkel pada Harvey.

Pak Yahya berdeham canggung, "Uhm... Saya ijin ke kamar mandi sebentar." Sela pak Yahya, dengan sengaja kabur begitu sadar suasana meja sangat-sangat tidak kondusif.

"Ya." Jawab Harvey tanpa memandang pak Yahya namun mengunci pandangannya pada ibunya.

Wajah ibu Harvey kini merah kuning hijau hampir abu-abu. Wajah malu. Kalah telak. Jengkel.

"Mama dapat kenalan dukun kayak pak Yahya darimana?"

"Beliau bukan dukun, tapi praktisi spiritual."

"Oke. Terserah." Harvey mengibaskan tangannya, kehabisan kata-kata sementara di sebelahnya, Mio tanpa kata menguyah cha kangkung dengan muka menderita, "Tapi lain kali, kalau memang mau bawa Mio ke praktisi spiritual. Bawa Mio ke praktisi spiritual yang jawabannya bakal sesuai dengan yang mama mau, daripada mama kecewa kayak hari ini."

Catatan Mio Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt