Part 6

970 102 1
                                    

Harvey menghela nafas berat, ternyata mengurung diri di kamar itu nggak lebih baik. Biasanya kamarnya selalu sunyi, karena dasarnya rumahnya selalu sunyi. Tapi sekarang kamar tamu yang letaknya tepat di atas kamar Harvey berpenghuni. Harvey tidak memperhitungkan hal ini. Dari kamarnya Harvey bisa mendengar suara langkah kaki Mio. Berkeretak melewati lantai kayu di kamarnya. Bolak balik seperti orang bingung.

Awalnya, Harvey berusaha cuek sayangnya suara itu terlalu amat mengganggu. Bikin perasaan nggak enak seperti pensil yang di gores ke papan kayu dan sejak sepuluh menit lalu, suara menyiksa itu bertambah lagi. Kini di tambah suara pemanas air gas mati nyala berkali-kali dengan suara dengungan khas.

Suka nggak suka akhirnya Harvey menuju ke lantai dua. Mengetok kamar Mio. Mio langsung membuka pintunya, raut wajahnya terkejut ketika melihat Harvey berdiri di depan kamarnya jam 10 malam.

"Maaf ya mas Harvey. Sebentar." Ucap Mio, buru-buru menutup pintu kamarnya tepat di depan muka Harvey kemudian membukanya lagi semenit kemudian. Tadinya Harvey lihat Mio memakai daster pendek selutut. Tapi begitu pintu membuka lagi, Mio sudah memakai baju lengan panjang, celana training, jaket dan selendang lusuh menutupi badannya.

Mata Harvey memincing, "Kamu mau kemana pakai pakaian begitu?"

"Nggak kemana-mana."

"Ngapain ganti?"

"Kata ibu, nggak boleh pakai daster di rumah. Apalagi di depan mas Harvey."

Harvey menahan diri untuk menepok jidatnya gemas dan langsung ke intinya, "Saya kesini karena daritadi kamu nyalain pemanas air berkali-kali. Jalan mondar mandir dan ada suara kayu kriak-kriek!"

"Maaf. Ganggu ya mas?"

"Iya." Jawab Harvey.

"Pemanas gas nya kok bisa nyala bagaimana ya mas?"

"Itu di kamar mandi kamar kamu ada pemanas gas. Kamu nggak di kasih tau? Apa nggak ada yang ngasih tau kamu?" Harvey berjalan masuk ke dalam kamar Mio dan langsung menuju ke kamar mandi dalamnya, "Ini yang keran kanan. Kalau kamu putar otomatis langsung nyambung ke gas pemanas. Kalau yang kiri, air dingin PAM biasa. Kalau kamu buka dua-duanya jadi air hangat."

"Oh. Tadi saya dibilangin keran kiri nggak bisa. Nggak boleh di putar juga. Jadi saya nggak berani putar yang keran kiri."

"Makanya kamu pakai keran kanan sampai menuhin bak mandi pakai air mendidih?" Harvey melirik bak mandi kamar Mio yang memang mengepul sepanas sup, beruap panas membuat kamar mandi Mio mirip bunker merapi.

"Iya. Saya nggak tau kalau keran kanan itu pemanas."

"Lalu siapa yang ngasih tau kamu kalau keran kiri nggak bisa?!"

"Itu mas, Bu Darsih."

Harvey mengerutkan kening.

"Tapi, mungkin saya yang salah. Mungkin saya salah dengar kata-kata Bu Darsih." Tambah Mio buru-buru ketika melihat ekspresi marah Harvey.

"Terus kenapa juga kamu buka jendela kamarmu lebar -lebar malam-malam?" Selidik Harvey. Kini setelah keluar dari kamar mandi Mio yang sepanas merapi ia langsung di serbu sepeleton nyamuk kebon.

"Saya mau lihat bintang mas." Ucap Mio, pipinya mulai merona, "Tapi disini, bintang nggak kelihatan."

"Ini kota Mio. Yang kelihatan Asep kendaraan. Polusi. Nyamuk sama kebon. Kamu kalau beruntung, yang kelihatan juga paling setan. Sekarang kamu tutup jendelanya. Nyalain AC. Tidur. Bisa nyalain AC nggak? Sini, cara nyalain AC begini."

"Oh. Begitu ya mas." Mio ngangguk-ngangguk melihat Harvey memencet tombol remote AC.

"Apa kamu baru tau juga cara nyalain AC?"

"Nggak mas. Di Serasan juga ada AC kok mas." Jawab Mio lembut. Jawaban tanpa maksud apa-apa tapi berhasil menohok rasa bersalah di hati Harvey.

"Ya udah pokoknya kamu tidur. Jangan banyak suara. Jangan sampai mama saya tau. Saya nggak mau kamu di marahin mama lagi, malam-malam." Ucap Harvey sebelum menutup pintu kamar Mio.

Catatan Mio Where stories live. Discover now