Part 45

917 102 11
                                    

Harvey memasuki ruang apartemen dengan suara yang agak berisik. Berharap suara itu menjadi pertanda kedatangannya tanpa membuat Mio kaget.

Harvey memasuki unitnya hampir pukul sembilan malam. Hari Senin. Pasien penuh membeludak dan Harvey benar-benar sudah lelah setengah mati.

Sebetulnya Harvey berharap. Mio menyambut kedatangannya. Tersenyum. Memeluk Harvey di depan pintu. Namun kosong. Suasana sunyi dan lampu di nyalakan temaram.

Dengan nafas mulai memburu khawatir. Harvey berjalan lebih cepat. Mencari Mio. Tak lebih dari tiga puluh detik. Harvey telah menemukannya. Duduk di depan jendela besar. Termenung menatap cahaya lampu-lampu gedung menjulang. Dingin, sepi, sunyi.

"Mio?" Panggil Harvey.

Mio menoleh tersenyum, "Mas Harvey."

Mio telah mengganti bajunya tadi pagi menjadi sweeter merah yang memberi aksen pada rambutnya yang panjang kecoklatan dan bibir penuh merahnya. Bahkan tanpa make up, Mio cantik.

Secantik itu.

"Tadi saya memesan makanan online untuk Harvey juga. Mie. Mas Harvey suka mie kan?"

"Ya. Saya suka." Harvey balas tersenyum.

"Maaf ya mas. Saya nggak bisa masakin mas. Nggak ada bahan makanan."

"Mau belanja bahan makanan dengan saya sekarang?"

Mio menggeleng. Memeluk bantal sofa Harvey yang berwarna onyx, "Nggak mas. Toh saya nggak akan lama tinggal disini. Mas juga nggak akan tidur disini kan?"

"Saya tidur disini. Menemani kamu, mulai sekarang."

Mata Mio membulat. Wajahnya langsung merah dan bibirnya bergerak gugup, "Jangan mas. Kamarnya cuma satu."

"Saya tidur di sofa dan kamu di kamar."

"Nggak." Mio menggeleng keras-keras, "Nggak. Nggak. Jangan."

"Lalu siapa yang bakal jagain kamu? Apa jaminannya kamu nggak akan kemana-mana?"

"Kasihan Tante sendirian di rumah."

"Sendirian? Rumah saya ramai. Kamu sendiri tau."

"Tapi.." Mio memejamkan mata rapat-rapat dalam usahanya menyembunyikan rasa gugup yang mematikan segala indranya, "saya benar-benar nggak akan lama tinggal disini."

"Tetap disini. Jangan pergi." Gumam Harvey. Ia menjatuhkan diri di sofa di samping Mio yang langsung mengkerut malu.

Memang kondisi ini membuat malu untuk perempuan seperti Mio. Hanya berdua dengan Harvey dalam satu ruangan tertutup dengan cahaya remang dan lampu kota yang memabukkan.

Setelah agak lama diam, Mio mulai berkata, "Saya sudah bicara dengan mas Altair."

"Ah." Harvey mengerutkan kening. Tak menyangka. Harvey pikir, sampai detik ini Altair masih belum tau apa-apa. Karena handphone Harvey ternyata hanya penuh pesan dan telepon dari ibunya, bukan dari Altair. Dan seandainya Altair tau, sudah pasti ia akan memborbardir handphone Harvey juga, "Kamu sudah cerita semuanya?"

Mio menggeleng, "Nggak."

"Sama sekali? Jadi kalian bicarakan apa?"

Mio menelan ludah, "Mas Altair cerita, beliau sudah membiayai seluruh pengobatan nenek saya. Sekarang nenek saya sudah di pindah ke pulau seberang. Ke rumah sakit paling besar di sana di bawah pengawasan bawahannya mas Altair."

"Lalu?"

"Om Tante saya juga sudah menyiapkan seluruh acara pernikahan termasuk menyebar undangan."

Hati Harvey seketika membeku. Menghisap. Menyakitkan namun Harvey masih berusaha tersenyum, "Dengan persetujuan mu atau tidak?"

"Tidak."

"FUCK." Harvey menyumpah dengan bibir mengejang kaku hingga membentuk seringai menakutkan, "Jadi kamu mau kembali ke Serasan?"

"Tiga hari lagi mas Altair akan jemput  saya. Saya banyak hutang budi dengan beliau. Nenek saya di obati beliau. Hutang om dan Tante saya di tanggung beliau. Jadi saya bisa apa?"

Rahang Harvey mengeras, "Hutang budi itu memang lebih menakutkan daripada hutang uang."

"Maaf mas Harvey. Maaf. Saya nggak pernah punya pilihan. Saya salah. Tapi saya bisa apa lagi? Maaf." Kini suara Mio berubah menjadi bisikan. Seakan sama seperti Harvey. Menahan air mata yang seharusnya tidak perluh di keluarkan dalam situasi ini. Sekalipun hatinya remuk redam. Sehancur Harvey.

Harvey mencengkram jemarinya, hingga urat nadinya bertonjolan sebagai katalisator suasana hatinya yang sesungguhnya, menjaga raut wajahnya tetap tenang supaya tidak menakuti Mio, "Setidaknya saya masih punya waktu tiga hari untuk mempertahankan kamu. Supaya kamu berubah pikiran untuk memilih bersama dengan saya."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang