Part 32

631 100 3
                                    

"Saya lihat, kalian sudah jarang ngobrol dan kumpul dengan Mio. Kenapa?" Tanya Harvey pada Bu Darsih setelah melihat Mio menyapu daun-daun kering di halaman, sendirian. Sementara para pengurus rumah Harvey yang lain kebanyakan sibuk duduk-duduk mengobrol di teras samping, pagi ini.

"Anu mas..." Bu Darsih melirik Harvey sekilas kemudian buru-buru menundukan kepala lagi begitu mata mereka bertatapan, "Ibu bilang, kita pembantu-pembantu ndak boleh ada yang terlalu ramah sama mbak Mio. Beliau juga minta kita ngobrol secukupnya aja. Nggak usah banyak ngajak ngomong."

Harvey menarik nafas pendek jengkel, "Ibu saya minta apa lagi?"

"Ya gitu..." Bisik Bu Darsih sambil tengok kanan kiri ruang keluarga Harvey seakan takut tembok bisa mendengar, "Saya pikir panjenengan ya di titipi pesan yang sama kalih ibu."

"Kenapa bu Darsih bisa mikir begitu?"

"Soalnya saya lihat mas Harvey juga sudah lama Ndak kelihatan ngobrol dengan mbak Mio tho..."  Bu Darsih menarik nafas gugup dan mulai celingukan lagi, "Niki ibu panjenengan nembe tidhak to mas? Tenan to mas? Kulo wedhi.."-ini ibu anda sedang pergi kan mas? Beneran kan? Saya takut.

"Ibu saya nggak ada di rumah dan saya akan bilang apapun ke ibu saya soal ini."

"Lah niku... Mas Harvey sudah hampir sebulan kelihatannya Ndak tau ngobrol kalih mba Mio..." Bu Darsih tiba-tiba berjalan mendekat, badannya yang hanya sebahu Harvey sampai berjinjit supaya bisa berbisik pelan sekali telinga Harvey, "Mas, tau Ndak. Saya di ceritani Pak Rohmat. Kemarin itu, Mbak Mio ndak sengaja ketemu pak Rohmat waktu pak Rohmat lagi nenteng sabuk..."

"Eee .. tau-tau Mbak Mio sujud mas, sambil mohon ampun ampun. Koyo uwong kewedhen-seperti orang ketakutan.  Padahal pak Rohmat Ndak ngapa-ngapain... Pak Rohmat niku tekan plongo-plongo- pak Rohmat sampai bengong."

"Tapi mas, Mbak Mio kenapa tho? Ibu Ndak tekan- tidak sampai,- mukul mbak Mio kalih sabuk to? Ora mungkin kan Yo?"

Rahang Harvey mengeras dan ekspresinya berubah kasar, "Ibu saya tidak akan ngelakuin hal sejauh itu, Bu."

"Njih mas." Bu Darsih manggut-manggut takut dan buru-buru mencari alasan melipir kabur begitu melihat perubahan raut wajah Harvey.

Setelah yakin Bu Darsih benar benar sudah pergi, Harvey menjatuhkan dirinya ke sofa. Menundukan punggungnya gelisah. Berpikir keras cukup lama. Kata-kata Bu Darsih benar, Harvey memang sudah berhari-hari tidak mengajak bicara Mio, apalagi datang mengobati luka nya atau bahkan duduk dalam satu ruangan yang sama. Yang di lakukan Harvey cuma menunggu. Menonton segala gerak-gerik Mio dari jauh seperti pengecut. Atau sekedar menguping kabar Mio dari obrolan para pengurus rumahnya.

Harvey sampai tidak paham lagi apa yang harus ia lakukan. Baginya, memaksa Mio untuk menceritakan semua masalahnya tanpa mempertimbangkan traumanya itu salah, tapi membiarkan Mio, mengabaikannya, pura-pura tidak tau terasa lebih salah lagi.

Sayang kenyataannya, Mio memang sulit di gapai. Seakan semua yang di lakukan Harvey tidak pernah ada artinya.

Catatan Mio Where stories live. Discover now