Part 42

598 94 2
                                    

"Menurut mas pekerjaan apa yang paling cocok untuk saya disini?" Tanya Mio mendadak, mengembalikan kesadaran Harvey kembali dari pesona mata Hazelnya.

"Ah." Harvey mengerutkan keningnya. Berpikir cukup keras untuk jawaban terbaik, "Kalau di Serasan, pekerjaan apa yang menurutmu paling baik?"

Mio berpikir sesaat, "Disana nggak begitu banyak lapangan kerja. Tapi pekerjaan tanpa ijazah kuliah masih bisa di cari."

"Contohnya?"

"Kerja di toko. Admin."

"Menarik." Harvey mengangguk, itu pekerjaan yang sedikit mengandung unsur prestige.

"Tukang ikan? Di Serasan ada pabrik ekspor ikan."

"Hmm...."

"Atau pengambil bola golf di kolam lubang galian tambang."

"Penyelam maksudmu?"

"Iya."

"Lebih menarik." Harvey mengangguk -angguk. Pekerjaan yang di sebut Mio sedikit asing untuk telinganya tapi memang menarik untuk di dengar.

"Tapi di lubang airnya ada buayanya." Mio menambahkan tanpa beban, "Segedhe gentong. Beranak Pinak. Berkeluarga."

"Oh." Harvey mengangguk-angguk berusaha biasa saja karena ini rasanya waktu yang paling nggak tepat untuk ketawa terbahak-bahak, "Ya kalau gitu jangan kerja disana. Bahaya."

"Tapi lebih bahaya kerja di badan pemerintahan, gaji baru dibayar pertiga bulan. Kadang nggak dibayar setengah tahun."

Harvey mendecakkan bibir. Lagi-lagi mati-matian menahan ketawa. Kata-kata Mio sebenarnya menyedihkan, tapi memang negeri ini selucu itu.

Dengan birokrasi pemerintah yang kacau balau apalagi menyangkut pulau-pulau kecil daerah perbatasan. Daerah yang di anak tirikan. Hasil bumi di keruk habis-habisan tapi anggaran belanja daerah yang kembali sekelas teri.

Disaat Harvey sedang berusaha menempatkan kembali kendali dirinya Mio mendadak berkata, "Oh ya, pengurus rumah mas Harvey bilang; Ada lowongan pekerjaan yang paling cocok untuk saya disini."

"Apa?"

"Pemandu karaoke."

Harvey tersedak. Nyaris saja ia keselek air ludahnya sendiri, "Siapa yang bilang?!"

"Saya hanya perluh daftar ke Mami." Ucap Mio mengabaikan seruan marah Harvey, lebih tepatnya mengabaikan semuanya.

"Mio! KAMU TAU MAMI ITU APA?"

"Mami... itu mama?" Jawab Mio lalu dengan polosnya memuji tempat karaoke sebagai perusahaan penuh rasa kekeluargaan.

Harvey menggelengkan kepala keras-keras, jengkel. "Tempat itu lebih berbahaya daripada nggak dibayar 6 bulan, Mio."

"Tapi katanya paling cepat menghasilkan uang."

Harvey meringis ngeri. Mio benar. Dia nggak salah. LC memang pekerjaan paling gampang menghasilkan uang. Apalagi untuk Mio. Dengan wajah oriental, mata bulat besar, kulit putih dan bibir merah, Mio bakal jadi jutawan dalam waktu sekejab.

Dengan tak sabar, Harvey menjelaskan semuanya pada Mio. Kalau kota besar itu jahat. Racun.  Manipulatif. Dan kalau di Serasan bertebaran buaya betulan, disini buaya berbentuk laki-laki parlente, pintar bicara, yang berkedok melobby perkerjaan dicampur kesenangan pribadi.

"Se terdesak apapun kondisi kamu sekarang. JANGAN PERNAH SAMPAI kamu terjun ke dunia itu. Saya nggak akan pernah biarkan kamu lakukan itu semua." Ancam Harvey, menekan dalam setiap kata.

Mio berdeham kecil, tak menjawab,  melirikkan matanya ke jendela tanpa kata. Membuat Harvey takut, Mio mulai mempertimbangkan banyak hal dalam diamnya di luar kendali Harvey. Kondisi kesehatan neneknya dan situasi sekarang benar-benar menjepit. Harvey takut Mio benar-benar berpikir bahwa ia memang tidak punya pilihan lain.

Harvey menghela nafas, "Oke. Untuk saat ini lebih baik kamu nggak perluh kerja dulu."

Mio menoleh dengan cepat. Menatap Harvey kembali. Wajahnya penuh rasa ketidaksetujuan tapi perhatiannya kembali teralih pada jalan raya dan sebelum Mio sempat berusaha Harvey berkata lebih dulu, "Saya nggak akan bawa kamu ke bandara hari ini. Untuk sementara kamu tinggal di salah satu unit apartemen saya. Hubungi Altair soal ini dan sisanya saya yang bereskan."

Catatan Mio Where stories live. Discover now