Part 19

633 103 3
                                    

"Kamu nggak ada baju lain selain celana Baggy dan baju lengan panjang?" Tanya Harvey saat melihat Mio turun dari tangga masih dengan style yang sama hanya beda warna.

Mio menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Saya pakai ini saja, mas."

Harvey mengerutkan kening. Dengan segala kejadian daritadi pagi hingga sore, Harvey yakin baju Mio yang nggak salah apa-apa itu bisa saja juga menyulut emosi ibu Harvey yang biasa berpenampilan elegan. Masalahnya lagi, baju Mio juga sudah pasti tidak akan cocok dengan restauran manapun yang kemungkinan besar akan di pilih oleh ibu Harvey.

"Sebentar, saya tanya Bu Darsih dulu apa ada pengurus rumah yang ukuran bajunya sama dengan kamu." Gumam Harvey namun sayangnya baru sedetik Harvey membalikkan badan, Mio sudah menarik lengannya lebih dulu.

"Kenapa?" Tanya Harvey, ia menolehkan wajah dan mendapati wajah ceria Mio sudah berubah pucat.

"Saya bener-bener nggak apa-apa mas. Saya pakai baju ini aja."

"Kenapa kamu sebegitunya selalu pakai baju model begini?" Mata Harvey memincing curiga dan tanpa sadar memperhatikan Mio lebih detail lagi. Mio bisa di bilang, sedikit kurus dan ia selalu menutupi seluruh badannya dengan baju-baju lengan panjang kebesaran. Ibu Harvey memang menegaskan supaya Mio tidak memakai daster di rumah, tapi bukan berarti Mio tidak boleh pakai kaus lengan pendek juga.

"Karena dingin." Jawab Mio dengan cepat.

Harvey tertawa, "Mananya? Disini panas tau."

"Pokoknya dingin." Potong Mio keras kepala dan ia tau-tau berjalan kabur.

Harvey geleng-geleng kepala. Karena Mio sudah hilang entah kemana akhirnya Harvey memutuskan untuk berjalan kembali ke kamar, mengambil Handphonenya.

Begitu sampai di kamar, Harvey tanpa sengaja menatap pantulan dirinya di kaca. Rambut hitam legam di potong pendek rapih, kaus polo putih dan celana jeans. Penampilannya sekarang agak mirip dengan Altair. Dandanan sehari-hari Altair. Sejujurnya malah, bisa di bilang hampir seluruh fisik Harvey mirip dengan Altair. Mulai dari tinggi badan mereka yang sama-sama menjulang dan postur tubuh yang besar tegap.

Harvey menjatuhkan tubuhnya di kasur, mulai membuka-buka handphonenya sambil menunggu ibunya mengetuk pintu untuk bersiap berangkat makan malam bersama.

Untuk sesaat, Harvey sedikit senang karena kakaknya Altair sudah seharian ini sama sekali tidak memborbardir nya dengan pesan atau telepon. Itu artinya misinya membelikan batu beterai handphone untuk Mio sukses besar. Sayang, kegembiraan Harvey tidak berlangsung lama, karena beberapa menit kemudian dentingan nada dering telepon dari kakaknya mendadak masuk.

Harvey mengumpat, "Kenapa?"

"Mio. Gimana?"

"Apanya?" Gerutu Harvey, "Pohon mangga?"

Sunyi sepersekian detik sebelum Altair berkata, "Pohon mangga apa?"

Kini gantian Harvey yang terdiam, "Mio nggak cerita soal pohon mangga pagi ini?" Tanya Harvey hati-hati.

"POHON MANGGA GIMANA?" kali ini suara Altair berseru cukup keras dan cukup panik, "MIO KENAPA?!"

"Dia nggak kenapa-napa."kata Harvey buru-buru, " Apa Mio memang sama sekali nggak cerita?"

"Dia nggak cerita. Selalu bilang dia baik-baik aja dirumah. Makanya aku telepon kamu sekarang. Karena Mio nggak bakal mungkin cerita yang jelek-jelek soal mama."

"Terus kalian kalau ngobrol ngomongin apaan?"

"Ya Mio cerita yang bagus-bagus aja."

"Aneh."

"Jangan bilang Mio aneh." Gertak Altair sebelum merempet menanyakan apa maksud Harvey soal pohon mangganya barusan.

Akhirnya, karena sudah kepalang basah, Harvey mulai bercerita sesingkat-singkatnya dan tentu saja reaksi akhir kakaknya cukup bisa di tebak. Altair mengumpat emosi.

"JANGAN protes atau telepon mama buat marah-marah sekarang kalau kamu nggak mau ada panjat pohon mangga jilid dua besok pagi."

Altair menggeram jengkel di ujung telepon, "TAPI MAMA SUDAH KETERLALUAN."

"Makanya cepet pulang, jemput Mio." Gerutu Harvey.

"Iya." Geram Altair jengkel, "Tolong vey,  jagain Mio sampai aku pulang. Tolong juga obati luka-lukanya. Tolong di awasi. Jangan sampai Mio sedih apalagi kesakitan lagi."

"Luka apa?" Pancing Harvey walaupun sebetulnya Harvey sudah pernah melihat luka di lengan Mio sekilas.

Altair menarik nafas sebelum ia berkata dengan nada sedih, "Lebam di tangan, kaki, badannya. Bekas luka bakar yang belum sembuh juga."

Jawaban Altair seketika memacu jantung Harvey bergerak dalam ritme yang tak beraturan. Membangkitkan sensasi perasaan tidak menyenangkan yang jarang Harvey rasakan, "Kenapa kamu baru bilang sekarang kalau Mio punya luka sebanyak itu?"

"Karena aku nggak mungkin bisa jelasin alasan kenapa dia dapat luka sebanyak itu."

"Jadi kamu lebih milih biarin orang yang luka-luka daripada ngasih alasannya?"

"Aku sudah bawa Mio berobat di Serasan dan bawain dia banyak obat sebelum dia terbang ke Jawa." Altair menghela nafas berat, " Sebetulnya aku nggak mau ngelibatin kamu dalam masalah Mio dan Mio juga pasti nggak suka karena aku ngasih tau kamu soal ini, Vey. Tapi kalau begitu keadaan disana. Aku nggak mungkin diam aja kan?"

Catatan Mio Donde viven las historias. Descúbrelo ahora