Part 26

641 104 3
                                    

"Kita mampir restauran dulu sebelum pulang, gimana?" Tanya Harvey sambil membuka pintu penumpang mobilnya.

Mio mengerutkan kening ragu, "Ini jam berapa? Apa Tante nggak nyariin saya?"

"Saya sudah menghubungi mama." Kata Harvey berusaha sekalem mungkin walaupun lagi-lagi ia tidak menambahkan info yang paling penting, misscall dan pesan marah-marah ibunya yang berkelontengan terus selama beberapa jam berturut-turut di handphone Harvey, "Lebih baik sebelum pulang, kita makan dulu karena saya lapar. "

Mio terdiam. Wajahnya masih juga tampak ragu. Akhirnya mau nggak mau Harvey mengeluarkan senjata terakhir. Senjata yang paling amat jarang ia keluarkan kecuali sangat amat terpaksa. Ia menundukkan tubuhnya di samping jok penumpang mobilnya untuk menatap langsung mata Mio.

Bagaimanapun Harvey tau, bukan cuma Mio yang bisa membuat siapapun terpesonanya hanya dalam satu kali pandang, Harvey pun juga bisa. Bahkan tanpa harus memandang intens, terkadang ia juga bisa membuat para perawat salah tingkah hanya dengan bertatapan sedetik dengan matanya.

"Please?" Gumam Harvey.

"Nggak." Mio menggeleng tegas.

Harvey mendengus. Gagal. Wajahnya ternyata nggak seampuh itu untuk mempengaruhi Mio.

"Saya belum menghubungi mas Altair daritadi. Beliau pasti panik karena tidak bisa menghubungi saya."

"Ah." Harvey mengangguk-angguk. Menyadari ketololannya. Bisa-bisa dia lupa Mio adalah calon istri kakaknya sendiri, "Oke."

"Maaf ya mas."

"Nggak masalah." Harvey segera bangkit dari posisi membungkukkan badannya untuk berjalan ke kursi pengemudi.

"Tapi seenggaknya, kamu harus temani saya untuk bungkus makanan dulu karena saya benar-benar lapar." Lanjut Harvey sambil menutup pintu mobilnya.

"Apa saya harus beliin Tante wedang tahu lagi?" Tanya Mio.

Harvey menyalakan mobilnya sambil tertawa, "Nggak perluh." Mau di beliin wedang tahu segentongpun, Harvey tau ibunya tetap bakal marah, "Nanti kamu langsung masuk ke kamar. Tapi jangan tidur dulu. Saya bakal ke lantai atas ngobatin luka mu begitu mama balik ke kamar nya. Kamu juga nggak perluh ngomong apa-apa ke mama. Kalau di tanya, biar saya yang menjelaskan."

"Tapi luka luka di lengan dan kaki saya sebetulnya sudah hampir sembuh. Mas Harvey nggak harus selalu ke kamar saya malam-malam. Mas Harvey pasti capek kan? Atau biar saya saja yang ngolesin obat-obatannya, gimana?"

"Nggak." Potong Harvey tegas, "Saya bakal pantau kamu sampai kamu benar-benar sembuh."

"Tapi..." Mio menggigit bibirnya, "Saya nggak suka hutang budi. Saya juga nggak punya uang untuk ganti obat yang di belikan mas Harvey.  Saya juga nggak punya apa-apa untuk balas budi."

"Kenapa nggak balas Budi dengan cepat sehat dan nurut apa kata dokter?"

"Tapi mas..."

Harvey menghela nafas, menjentikan jarinya untuk menyuruh Mio memakai sabuk pengamannya tanpa kata. Sayangnya Mio, seperti tidak paham arti bahasa tubuh Harvey. Hingga Harvey secara reflek sedikit bangkit dari tempat duduknya untuk memakaikan sendiri sabuk pengaman mobilnya pada Mio.

Disaat itulah, semesta seperti menakdirkan untuk semua ini terjadi. Mio dan Harvey sama-sama bergerak dalam tujuan mereka sendiri. Bergerak tanpa irama. Tanpa di sengaja hingga bibir Harvey tanpa sengaja menyentuh pipi Mio pelan di saat Mio bergerak terburu-buru karena kaget oleh gerakan Harvey.

Ciuman di pipi itu singkat. Tak berarti apa-apa. Hanya karena sesuatu yang sangat amat tidak di sengaja. Namun Harvey kini kalah. Insting dan naluri yang ia pendam setengah mati memuncak tak terkendali.

Tangan Harvey bergerak sangat cepat, melampaui akalnya. Membuatnya melupakan tempat dan waktu. Merengkuh wajah Mio. Mendekatkan bibirnya pada bibir Mio. Hingga bibir mereka bertemu.

Segalanya berlangsung tanpa terkendali. Deru nafas dan hasrat bergabung. Menjadi racun yang mengaburkan segalanya. Bibir Mio lembut hangat. Bibir penuh, merah yang mengalihkan perhatian Harvey dari awal pertama kali ia melihat Mio.  

Harvey baru menyadari kesalahannya tololnya begitu ia merasakan sesuatu basah menyentuh pipinya.

Air mata Mio.

Harvey melepaskan bibirnya dari bibir Mio. Membeku terpaku menatap Mio yang sama membekunya.

Catatan Mio Where stories live. Discover now