Part 64

377 65 17
                                    

Mio menatap terpukau keluar jendela mobil. Baru menyadari bahwa dunianya selama ini memang terlalu sempit. Bahkan pulau Cemara kecil yang hanya terpisahkan oleh selat saja dari pulau Serasan, Mio hampir tidak pernah kesini. 

Pulau Cemara kecil sedikit lebih berbeda dari pulau Serasan. Penduduk pulau ini lebih banyak.  Mobil, bus , kendaraan umum berlalu lalang lebih ramai sekalipun sudah malam. Disini juga ada minimarket seperti di pulau Jawa, toko-toko kecil dan penerangan jalan ada dimana-mana. Tidak seramai pulau Jawa tapi jelas lebih hidup daripada pulau Serasan. 

"Kau suka jalan-jalan dengan mobil?"

Mio menolehkan kepala, Altair mengalihkan pandangannya sedikit dari jalan untuk tersenyum menatap Mio. Senyum tulus yang tidak pantas untuknya, membuat Mio merasa semakin bersalah. 

"Iya."

"Kalau kamu suka, secepatnya saya akan ajak kamu traveling di pulau Jawa atau Bali."

"Tapi saya tunggu sampai kamu siap." Tambahnya kalem, entah bagaimana Altair mungkin menyadari perubahan tipis ekspresi Mio, sembari membelokan mobilnya kejalan panjang berkelok dengan hutan disisi kanannya, "Kamu,- kita nggak perluh terburu-buru. Saya tunggu sampai kamu menerima saya. Nyaman dengan keberadaan saya. Setelah menikah kamu juga boleh tinggal pisah rumah dengan saya sampai kamu siap. Saya nggak mau sampai kamu merasa saya membeli kamu lewat uang Panai untuk menikah."

"Sebelum itu saya juga minta maaf, kalau saya terpaksa memutuskan tanggal pernikahan dengan pamanmu terlalu cepat. Tanpa konfirmasi. Saya sudah diskusikan ini dengan nenekmu. Beberapa hal disini, akhir-akhir ini, memang di luar kendali saya. Maaf."

Mio mengerutkan kening,  perasaannya semakin kacau, "Kondisi kesehatan nenek pasti sedang nggak baik kan...."

Rahang Altair mengeras, beliau menarik nafas pendek sebelum menjawab, "Ya."

"Mas Altair?" Mio berusaha tersenyum, sekalipun hatinya sakit, "Saya nggak merasa di beli. Mas Altair jangan merasa begitu." Ucap Mio dan dalam satu tarikan nafas; Mio melanjutkan kalimat yang memang sudah seharusnya ia katakan sejak dulu, "Terimakasih sudah merawat nenek saya. Terimakasih sudah menolong saya. Terimakasih untuk semuanya."

Altair tiba-tiba tertawa pelan, memecah suasana yang tadinya kaku.  Membuat senyum tegang Mio mencair, "Sebetulnya yang paling penting sekarang bukan membahas soal ini."

"Apa yang lebih penting dari ini?"

Mendadak, Altair meminggirkan mobilnya ke sisi jalan raya, tepat di bawah pohon trembesi.  Untuk sesaat Altair hanya diam menatap Mio yang terpaku sebelum akhirnya beliau berkata, "Apa kamu bahagia, Mio?"

Mata Mio terbelalak, terkejut. Pipinya merona, jantungnya mulai berdetak lebih kencang. Bukan lagi oleh perasaan gelisah, tapi perasaan aneh yang menggelitik, ditambah bau parfum mobil Altair yang asing untuk Mio, aroma lembut, membuatnya melayang. Sesuatu yang tidak pernah Mio rasakan sebelumnya. 

"Seumur hidup belum pernah ada yang bertanya, saya bahagia atau tidak." Ucap Mio, ada perasaan getir di setiap kata yang ia ucapkan, "Kenapa mas Altair tiba-tiba tanya begitu?"

"Karena bahagia mu itu penting untuk saya."

"Buat apa?"

"Dulu kamu tidak begitu mengenal saya seperti saya mengenal kamu. Tapi sekarang kamu sudah bertemu dengan keluarga saya, adik saya.  Mengenal mereka. Tau tentang sebagian hidup saya, Jadi penting untuk saya tau, apa kamu bahagia?"

"Ibu Altair baik, adik mas Altair juga baik. Semua orang yang tinggal di rumah mas Altair baik."

"Baik?" Altair mendengus, "Saya kenal mereka Mio dan kalau mereka memang memperlakukan kamu dengan baik, seharusnya kamu tidak akan pulang sebelum tiga bulan,- syarat dari ibu saya."

"Semua yang di lakukan ibu mas Altair itu wajar, karena beliau seorang ibu." Potong Mio, "Mas Altair memang seharusnya menikah dengan  orang yang lebih baik. Bukan saya."

"Yang terbaik untuk ibu saya, bukan berarti yang terbaik untuk saya."

"Tapi." Mio menelan ludah, nafasnya tercekat, "Apa mas benar-benar menikah dengan saya karena sayang bukan karena kasihan?"

Sesaat Altair terdiam namun pandangan matanya tetap terkunci rapat pada Mio, hingga suaranya yang dalam seakan bergema dalam ruang mobil yang sempit saat ia berkata, "Saya nggak mungkin memutuskan menikah dengan orang yang nggak saya sayangi."

Mio menggigit bibir. Perasannya sudah sampai batasnya. Tanpa sadar dirinya mulai menangis tanpa suara, Disaat yang sama laki-laki di sampingnya masih menatapnya lekat- lekat, lagi-lagi dengan sorot hangat yang sama, tanpa tuntutan atau kemarahan. Seperti mimpi. Sampai Mio tidak yakin, apa tuhan memang sebaik itu memberinya seseorang yang dari fisik, kehadiran dan kesabaran nya hampir terasa tidak nyata.

Perlahan Mio memberanikan diri bercerita semuanya. Sesuai dengan tekadnya sepanjang jalan, selama berbulan-bulan. Mio tidak suka menutupi apapun sekalipun artinya ia mungkin kehilangan sorot hangat itu. Rasa nyaman seperti berada di rumah yang ia impikan. Bisa jadi malah,- kehilangan segalanya. 

Setelah bercerita, Mio merasa seperti mengkerut, makhluk kecil jelek yang memanfaatkan kebaikan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Tidak tau diri.  Culas. Menjijikan. 

Keheningan berlalu entah berapa lama, sampai akhirnya suara berat Altair memecah kesunyian, "Mio?" Panggilnya.

Mio mendongak, pipinya pucat. Dingin. Darahnya seakan menghilang dari tubuh.

"Kalau saya jadi Harvey, saya mungkin mencium kamu lebih dari itu."

"Eh?" Mio mengerjapkan mata, bingung sendiri dengan kalimat yang baru saja dirinya dengar, "Apa?"

"Dua kali?" Lanjut Altair kecut. 

Detik selanjutnya, jemari Altair merengkuh pipi Mio, dengan cepat mendekatkan tubuhnya. Mengecup bibir Mio berkali-kali, dalam waktu yang cukup lama, disaat Mio masih mematung dalam usahanya mencerna situasi. 

"Kamu juga tidak menghindari ciuman saya." Bisik Altair sebelum kembali mengecup bibir Mio dan memeluknya, "Artinya, saya masih punya kesempatan."

Catatan Mio Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα