Part 74

848 73 21
                                    

"Mama salah apa sih sampai semua anak mama naksir Mio?! Tolong pikir lagi dengan logika Vey! Masih banyak perempuan lain di luar! Sejelek-jeleknya, perawat di rumah sakit mama juga banyak kan yang belum menikah!"

"Sejelek-jeleknya?" Ulang Harvey menahan tawa dan sedikit bersyukur ruang direktur di sekat kaca dengan dinding kedap suara, "Ini bukan tahun seribu delapan ratus ma. Bukan zaman pekerjaan perawat di anggap hina."

"Maksud mama, di Jawa ada jutaan perempuan.  Kenapa malah milih anak perempuan dari ujung Indonesia begitu! Masih banyak yang lain dan dia calon istri kakakmu lagi."

"Oh, jadi Mio sudah di akui nih calon istri Altair." Ledek Harvey. 

"Nggak! Nggak! Kenapa susah banget sih jelasin kamu?!"

"Bagi mama mending mana Mio menikah dengan Harvey atau Altair ?" Tanya Harvey santai sambil menyenderkan punggungnya di sofa ruang direktur. 

Ibu Harvey terhenyak dan tampaknya beliau sekuat tenaga berusaha supaya tidak melempar kotak dokumen di hadapannya, "Pertanyaan macam apa itu? Nggak mending semuanya! Nggak boleh! Pokoknya nggak boleh ada satupun anak mama yang menikah dengan Mio!"

"Sebetulnya kenapa?" Harvey menghela nafas, "Apa yang salah dari Mio?"

"Dia nggak kuliah. Keluarganya nggak jelas. Masa depannya nggak jelas.  Pekerjaan nya juga nggak jelas.  Mana mungkin mama nyerahin anak yang mama rawat sepenuh hati dari kecil ke orang kayak begitu."

"Sepenuh hati ? Seingat Harvey mama  jarang ada di rumah dan yang ngerawat Harvey dari kecil Bu Darsih."

"Bu Darsih juga yang bayar kan mama!" Gertak ibu Harvey marah hingga wajahnya merah padam, "Pokoknya Mama nggak akan ngasih kamu jadwal cuti.  Udah gila kamu naksir cewek yang sama kayak kakakmu."

Harvey nyengir, perlahan bangkit dari kursinya mendekati mama nya sambil berbisik pelan, "Mah, bukan cuma sekali Harvey dengar soal amplop uang pelicin pengadaan obat-obatan. Kayaknya info itu betul ya. Ada beberapa dokter yang sudah tau loh walaupun mereka tutup mulut."

Mata ibu Harvey mendelik dan nafas nya berubah macet, "Kenapa tiba-tiba kamu bahas itu?"

"Gimana kalau berita itu sampai di gubernur? BPK pasti seneng dengar nya ya mah. Tapi mama pasti nggak suka kan kalau sampai di transfer ke rumah sakit daerah? Apalagi turun jabatan."  Ucap Harvey lembut. 

Ibu Harvey meradang. Jemarinya menggebrak meja sangat keras hingga beberapa benda terjatuh, "Kamu nggak akan tau seberapa keras mama berjuang untuk rumah sakit ini!"

"Iya. Aku tau. Ngomong-ngomong jadi boleh aku ambil cuti?"

"POKOKNYA MAMA BAKAL BILANG SEMUANYA KE ALTAIR, KALAU CALON ISTRINYA GODAIN KAMU JUGA!!!"

"Lebih tepatnya aku yang godain Mio sih mah."

                                 ........

Altair menegak kopinya sambil menatap Mio yang tertidur sambil duduk di samping ranjang neneknya.

Nenek Mio jarang terbangun dari tidur. Dokter memang sengaja meresepkan obat penghilang nyeri yang juga menyebabkan mengantuk. Sudah tidak ada obat lain. Tidak ada harapan lagi.  Benar-benar menunggu waktu dan Altair sudah berdiskusi dengan Mio untuk membawa nenek kembali pulang ke pulau Serasan esok. 

Lebih baik meninggal di rumah di tempat nenek pasti merasa jauh lebih nyaman. 

Altair sudah menyewa kapal boat perusahaan sekaligus satu perawat, Bu Harto dan beberapa peralatan penunjang kesehatan lain untuk di bawa ke pulau Serasan.  Karena hanya itu usaha terbesar yang bisa Altair lakukan saat ini. 

Altair kembali meneguk kopinya sebelum ia mendengar pintu ruang pasien di ketuk pelan.  Saat Altair membuka, Bu Harto berdiri di hadapannya sedikit canggung sambil membawa selembar selimut.

"Uhm, maaf pak Altair. Itu pak Harvey bilang, beliau nggak mau pakai selimut ini."

"Sekarang Harvey dimana?"

"Itu pak, duduk kursi panjang dekat taman."

Altair mengangguk, mengabaikan pertanyaan Bu Harto yang walaupun takut tapi tetap nekat bertanya bermodalkan rasa penasaran luar biasa khas warga Serasan yang serupa sepeleton intel terlatih, "Suami saya, uhm Pak Harto tadi cerita, beliau sempat lihat wajah pak Harvey di dalam mobil langsung pucet pasi begitu lihat kembang api yang di ledakin pak Harto.  Apa pak Harvey takut kembang api? Sekarang juga saya lihat beliau wajahnya masih pucat, apa perluh saya bawain minyak angin ke pak Harvey?"

"Nggak perluh." Altair menggeleng, meneguk sisa kopinya lalu berjalan menuju ke depan pintu, "Saya saja yang bawa selimut ini lagi ke Harvey.  Tolong titip nenek dan Mio."

Bu Harto mengangguk gugup campur kecewa karena jelas jawaban Altair tidak semenarik yang ingin ia dengar.  Sayangnya juga, sedikitpun Altair tidak tertarik untuk berbagi isi pikirannya.

Altair melangkahkan kaki. Sekarang ia sudah sangat hafal denah rumah sakit ini. Bukan rumah sakit besar.  Desainnya kuno dan masih banyak dinding batu khas zaman penjajahan. 

Tak sulit untuk menemukan Harvey.  Ia duduk di salah satu kursi panjang sendirian dekat pohon Cemara. 

"Harvey." Altair duduk di sampingnya sembari menyodorkan selimut yang barusan ia ambil dari Bu Harto, "Pakai selimut.  Malam disini jauh lebih dingin dari Jawa."

Harvey menunjuk jaketnya, tampak setengah mati berusaha untuk tersenyum, "Jaket cukup."

Disaat yang sama, handphone di tangan Harvey terus menerus bergetar dari nomor yang Altair hafal betul sebagai ibunya. 

Altair tersenyum singkat, "Kadang kamu mirip sekali dengan papa."

"Itu kamu, bukan aku." Sela Harvey.  Ia mengacak rambut hitamnya kasar. 

"Nggak.  Kamu lebih mirip papa.  Cuma papa sedunia yang bisa menang setiap berdebat dengan mama."

"Kamu juga bisa menang. Kamu aja yang jarang mau bantah mama. Kebanyakan cuma diam. Tapi tau-tau kabur kuliah ke Jerman. Kerja kelilingi Indonesia. Jarang pulang."

"Kalau aku ada jatah cuti.  Aku pasti pulang Vey." Jawab Altair santai, "Tapi yang lainnya memang bener. Cuma kamu yang bisa bantah mama, tapi pada akhirnya kamu selalu kembali ke mama.  Nemenin beliau."

"Iya ya, kenapa aku nggak milih kerja di rumah sakit yang jauh aja ya?" Balas Harvey. 

"Karena kamu yang sebetulnya paling sabar menghadapi mama. Paling peduli dengan rumah peninggalan papa dan hidup seluruh pengurus rumah yang ada di sana.Jadi tolong aku titip mama ya.  Aku nggak akan bisa selalu di samping mama.  Tapi beliau tetap satu-satunya orangtua kita. Mama pasti bakal marah besar setelah ini.  Tapi aku yakin nggak akan sangat lama."

Gigi Harvey bergeretak, "Apa aku harus bilang untuk titip Mio juga?"

Altair tersenyum, "Aku bener-bener sayang Mio,Vey.  Aku bakal jagain Mio sampai tua dan terimakasih karena sudah menerima keputusan Mio."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang